Pada laporan pendapatan kuartal pertama tahun fiskal 2026 yang ditutup pada 28 April, Nvidia mengungkapkan dampak besar dari pembatasan ekspor chip yang diterapkan oleh pemerintahan Trump terhadap bisnis mereka.
Dalam laporan tersebut, Nvidia melaporkan bahwa perusahaan harus menanggung biaya sebesar US$4,5 miliar. Biaya ini timbul karena persyaratan lisensi baru yang memengaruhi kemampuan Nvidia untuk menjual chip AI H20 ke perusahaan-perusahaan di China. Selain itu, pembatasan ini juga menyebabkan perusahaan gagal menghasilkan tambahan pendapatan sebesar US$2,5 miliar dari penjualan chip H20 selama kuartal pertama.
Dikutip dari Techcrunch, Jumat (30/5/2025), awalnya, ketika persyaratan perizinan AS diumumkan pada bulan April, Nvidia memproyeksikan bahwa biaya terkait akan mencapai US$5,5 miliar untuk kuartal pertama. Namun, dengan berjalannya waktu, dampak dari pembatasan ini ternyata jauh lebih besar daripada yang diperkirakan.
Nvidia bahkan menyatakan bahwa kebijakan perizinan untuk chip H20 akan mengakibatkan kerugian tambahan sebesar US$8 miliar pada kuartal kedua. Dengan perkiraan pendapatan kuartal kedua mencapai sekitar US$45 miliar, kerugian ini menjadi signifikan dan membawa tantangan tersendiri bagi strategi pertumbuhan perusahaan.
Dalam panggilan pendapatan Q1, CEO Nvidia, Jensen Huang, menjelaskan bahwa perusahaan sedang mencari cara agar tetap kompetitif di pasar AI China meskipun menghadapi berbagai kendala. Ia menekankan bahwa pasar China merupakan salah satu pasar AI terbesar di dunia.
“China adalah salah satu pasar AI terbesar di dunia dan merupakan batu loncatan menuju kesuksesan global, karena setengah dari peneliti AI dunia bermarkas di sana,” ujar Huang.
Menurutnya, larangan ekspor chip AI H20 secara efektif menutup akses Nvidia ke pasar China yang bernilai sekitar US$50 miliar. Kebijakan tersebut bahkan mengakhiri bisnis pusat data Hopper Nvidia di China, sehingga memaksa perusahaan untuk menyesuaikan portofolio produk mereka demi mematuhi regulasi yang ada.
Nvidia telah secara terbuka menentang upaya pemerintahan Trump untuk membatasi ekspor chip AI buatan Amerika ke berbagai negara, termasuk China. Meskipun aturan ekspor chip yang diajukan oleh Presiden Joe Biden tidak pernah diberlakukan, pembatasan dari pemerintahan Trump tetap memberikan dampak yang besar terhadap kinerja Nvidia.
Huang menegaskan bahwa mempertahankan akses pasar China sangat penting bagi keberlangsungan inovasi dan pertumbuhan teknologi AI pada skala global. Jika produsen chip Tiongkok dilindungi dari persaingan AS, hal itu justru akan memperkuat posisi mereka di pasar global dan melemahkan daya saing teknologi Amerika.
“Pertanyaannya bukanlah apakah China akan memiliki AI; China sudah memilikinya. Pertanyaannya adalah apakah salah satu pasar AI terbesar di dunia akan berjalan menggunakan platform Amerika,” jelasnya.
Laporan pendapatan Nvidia ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana kebijakan ekspor chip dapat memengaruhi pendapatan dan strategi investasi perusahaan teknologi besar. Dampak pembatasan ini tidak hanya berdampak pada keuangan Nvidia, tetapi juga menekan perusahaan untuk merombak portofolio produk mereka agar tetap relevan di pasar internasional yang sangat kompetitif, khususnya di sektor kecerdasan buatan.
Secara keseluruhan, situasi yang dihadapi Nvidia menunjukkan betapa kompleksnya interaksi antara kebijakan pemerintah dengan dinamika pasar teknologi global. Dalam era persaingan yang sangat ketat di bidang AI, perusahaan-perusahaan seperti Nvidia harus mampu beradaptasi dengan cepat dan mencari solusi inovatif untuk mengatasi hambatan regulasi.
Pengalaman Nvidia mengingatkan kita bahwa dukungan kebijakan yang kondusif sangat penting untuk mendorong pertumbuhan industri teknologi, sekaligus memastikan bahwa inovasi dan persaingan global dapat berlangsung secara sehat tanpa merugikan satu pihak saja.