Jemaah calon haji Indonesia baru saja memasuki kawasan Mina, situs haji paling terkenal yang dikaitkan dengan keluarga Nabi Ibrahim-Hajar-Ismail alaihim salam. Rombongan hujjaj itu akan mabit selama beberapa hari di Mina meski energi mereka belum sepenuhnya pulih setelah pergerakan dari wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah yang menguras tenaga dan pikiran, serta perasaan. Waktu tak mau kompromi. Meski tengah malam hingga dinihari mereka lewatkan dengan sedikit istirahat (ada yang tidak tidur sama sekali karena bus yang mengangkut mereka telat datang gegara kemacetan luar biasa di alur Arafah-Muzdalifah), para dhuyufur-rahman tetap semangat. Mereka masih ada kewajiban melontar (jumrah) Aqabah di 10 Dzulhijjah sebagai bagian rangkaian haji yang harus diselesaikan satu persatu.
Setelah tahallul awal, ‘kafilah perang’ yang berarakan menyemuti jalur Mina-Jamarat itu kembali ke ‘pangkalan’ di Mina. Mereka beristirahat memulihkan tenaga, untuk bersiap kembali keesokan harinya berperang melawan setan dengan melempar senjata berupa batu kerikil ke tugu-tugu perkasa –yang sejatinya setan nafsu yang mengendap di jiwanya. Di antara keriuhan jemaah yang baru datang dari Jamarat (tempat lempar jumrah), angin berhembus semilir di Mina meski cuaca pagi mencapai 32 derajat celcius. Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi mengeluarkan seruan “Lontar Jumrah dengan cara Jama’ Ta’khir” (6/6/2025). “Kayak shalat saja bisa dijama’”, komentar seorang jemaah asal Pandeglang, Banten.
Seruan itu melegakan karena jemaah yang akan mengambil nafar awal dapat mengakhirkan lontaran tanggal 11 (tasyriq 11) pada tanggal 12 Dzulhijjah. Sedangkan jemaah yang mengambil nafar tsani boleh mengakhirkan lontaran tanggal 11 dan tanggal 12 pada tanggal 13 Dzulhijjah. Caranya, jemaah nafar awal melontarkan (kerikil) pada masing-masing jumrat al-ula, jumrat al-wustha, dan jumrat al-aqaba sebanyak 14 kali (7 kali lontaran diniatkan untuk tanggal 11 dan 7 kali lontaran untuk tanggal 12). Adapun jemaah nafar tsani melontarkan kerikil pada jumrat al-ula, jumrat al-wustha, dan jumrat al-aqaba sebanyak 21 kali (masing-masing 7 kali untuk tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Efektif dan hemat energi. Jemaah senang.
Ketika Urusan Teknis Bertemu Fikih
Lontar jumrah secara jama’ ta’khir menjadi contoh aktual dan kontekstual bahwa layanan teknis jemaah haji di Arab Saudi (meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah) mengubah pandangan fikih yang terkesan status quo menjadi lebih adaptable dengan realitas yang terjadi kekinian (waqi’iyah). Klausul seruan itu berbunyi, “Melihat cuaca yang sangat panas dan untuk menjaga keselamatan diri (hifz al-nafs) serta sejalan dengan pendapat madzhab Syafii dan Hambali diimbau agar pelaksanaan lontar jumrah hari Tasyriq dilakukan dengan jama’ ta’khir”. Jadi, suhu ekstrem (sampai 47°C siang hari) dan menjaga keselamatan jemaah menjadi illat, dibolehkannya tindakan yang biasanya tak lazim —melontar secara jama’ ta’khir—untuk menghindar dari bahaya. Kaidah fiqhiyahnya: al-ḍarūrāt tubīḥu al-maḥẓūrāt.
PPIH (melalui mustasyar diny –konsultan keagamaan yang dibentuk pada musim haji 2025) sebelumnya juga mengeluarkan panduan mabit bagi jemaah tanazul (kembali ke hotel setelah menyelesaikan jumrah Aqabah 10 Dzulhijjah). Karena kondisi tertentu, ada kondisi darurat dan kesulitan (masyaqqah) bagi jemaah tanazul saat mereka mabit di area Jamarat yang dijaga ketat polisi Arab Saudi dan dinyatakan steril. Menghadapi kebutuhan layanan-teknis (bagaimana mengatur pergerakan orang) tetapi tetap aman dan tidak membayakan jemaah (perlindungan dan keselamatan), PPIH memberikan beberapa opsi kemudahan yang didasarkan pada kaidah dan hukum fikih yang fleksibel. Pertama, mabit dengan cara mu’dhamul lail (separuh malam lebih) terhitung sejak Maghrib sampai subuh (sekitar 4,5 jam). Namun karena area Jamarat dijaga dan dikawal polisi, steril dari kerumunan dan jemaah dilarang berhenti, opsi kedua ditawarkan dengan mabit secara lahzhatan (sejenak), dilakukan dengan cara hadir sesaat di Jamarat sebelum subuh. Jemaah dapat melontar jumrah hari tasyriq, paling cepat lewat tengah malam atau ba’da Subuh. PPIH bahkan memberi kemudahan bagi jemaah uzur yang karena satu dan lain hal tak dapat mabit di Mina, dianjurkan untuk mengambil pendapat fikih bahwa hukum mabit di Mina adalah sunnah, dan lontar jumrahnya dapat diwakilkan kepada jemaah lain.
Penerapan hukum fikih yang mengedepankan prinsip ‘memudahkan’ ketika berhadapan dengan realitas riil dalam layanan haji inilah yang dinamakan fiqh al taysīr. Satu lagi contoh aktual adalah aturan dam tidak mabit di Mina pada malam hari tasyriq. Jika hanya mengacu pada pendapat (qaul) ulama madzhab tertentu misalnya Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad yang menyatakan “mabit di Mina hukumnya wajib”, maka jemaah yang tidak mabit di Mina dikenakan dam (denda). Berupa 1 ekor kambing jika tidak mabit seluruh hari tasyriq. Atau fidyah satu malam satu mud (3/4 kg beras/makanan pokok) jika tidak mabitnya satu malam.
Melihat tipologi jemaah calon haji Indonesia tahun 2025 yang masih didominasi lansia, penyandang disabilitas, obesitas, dan penderita penyakit dengan risiko tinggi (risti), tentu penerapan fikih seperti ini akan memberatkan. Beruntung karena dalam tradisi fikih ada banyak pendapat ulama (aqwal), PPIH yang mendapat mandat dari Amirul Haj memberi pilihan ‘pendapat yang meringankan’ dengan mengacu qaul Imam Abu Hanifah dan qaul jadid Imam Syafi’i yang menyatakan mabit di Mina hukumnya sunnah. Karena itu, bagi jemaah yang karena halangan tertentu (uzur syar’i) tidak mabit di Mina tidak dikenakan dam.
Fiqh al-Taysir Untuk Maslahah Jemaah
Fiqh al-taysir (فقه التيسير) adalah pendekatan dalam hukum Islam yang mengedepankan kemudahan, keringanan, dan fleksibilitas, tanpa keluar dari prinsip dan batasan syar’i. Dengan bahasa lain, fiqh al-taysir bukanlah bentuk pelonggaran hukum secara sembarangan (tasahhul), tapi merupakan pendekatan ijtihadi yang berakar dari prinsip-prinsip maqashid al-syari’ah: menjaga jiwa (hifz al-nafs), agama (hifz al-din), dan akal (hifz al-aql). Penerapan fiqh al-taysir tentu bukan meremehkan syariat, tetapi manifestasi dari rahmat dan kemaslahatan (maslahah) dalam Islam, khususnya dalam konteks ibadah yang bersifat massal dan penuh tantangan seperti penyelenggaraan haji.
Fiqh al-taysir juga berorientasi pada kemanusiaan. Karenanya, keselamatan dan keamanan jemaah calon haji Indonesia yang mencapai 221.000 menjadi taruhan. Dari jumlah itu ada 203.302 jemaah regular yang menjadi tanggung jawab PPIH Arab Saudi. Data Kementerian Agama menyebutkan, ada 47.384 (23,3%) jemaah lansia, dan 79% jemaah tergolong risiko tinggi (risti) dengan penyakit bawaan seperti hipertensi, diabetes, jantung, gangguan pernapasan, dan/atau gangguan mobilitas. Belum lagi penyandang disabilitas dan obesitas yang tahun 2025 masuk kategori dengan layanan ekstra. Dengan tipologi jemaah seperti itu, tuntunan fikih yang menuntut sempurna tidak selalu bisa dilaksanakan secara ideal. Praktik fiqh al-taysir kemudian menjadi kunci dan solusi: thawaf menggunakan kursi roda atau skuter listrik, shalat sambil duduk di kursi, murur (melintas di Muzdallifah dengan tetap berada di kendaraan), tanazul, dan safari wukuf. Wanita yang sedang haid di akhir masa haji dapat menggabungkan thawaf ifadhah dan wada’. Termasuk mabit bagi jemaah tanazul dan jumrah jama’ ta’khir seperti dijelaskan di atas. Melalui penerapan fiqh al-taysir yang tepat, dua sasaran mendapat kepastian (justifikasi) hukum. Satu sisi memudahkan panitia dan petugas haji memberikan layanan terbaik. Sisi lain, jemaah Indonesia dapat menjalankan ibadah haji dengan tenang, sah secara syariat, dan aman secara fisik.
Ayat al-Quran yang menyatakan “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah: 185), “Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama” (QS. Al-Hajj: 78), dan hadits Nabi SAW “Yassirū wa lā tu‘assirū” (permudahlah dan jangan mempersulit, HR. Bukhari dan Muslim) cukup kuat menjadi dalil mengapa penerapan ‘fikih yang memudahkan’ ini menjadi prioritas dalam layanan haji Indonesia. Belum lagi kaidah ushuliyah seperti al-masyaqqah tajlibu al-taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan); al-ḍarūrāt tubīḥu al-maḥẓūrāt (darurat membolehkan yang terlarang), dan lā ḍarar wa lā ḍirār (tidak boleh membahayakan diri maupun orang lain). Haji yang lekat dengan praktik ibadah, maka layanan petugas haji juga tak bisa lepas dari pertimbangan-pertimbangan syariah. Fiqh al-taysir menjadi jembatan antara kepatuhan pada aturan formal peribadatan (fikih haji) dengan pelayanan jemaah yang berorientasi pada jaminan keselamatan, melindungi nyawa, kesehatan, dan kehormatan jamaah haji Indonesia.
Kesiapan Petugas Haji
Arab Saudi kini mengedepankan pendekatan layanan berbasis manajemen dan teknologi, yang kadang atau bisa jadi bertabrakan dengan pemahaman fikih konvensional yang selama ini difahami oleh jemaah haji Indonesia. Pergeseran dari sistem muassasah (konsorsium) ke syarikah (perusahaan) dalam layanan haji di Arab Saudi juga menyisakan berbagai tantangan. Sistem baru ini menuntut kesiapan teknis yang tinggi dan pendekatan yang fleksibel, termasuk dalam urusan ibadah. Penting bagi pembimbing ibadah untuk memahami fiqh al-taysir agar bisa menjembatani kebutuhan jemaah dengan pelayanan yang tersedia. Di samping itu petugas haji harus membekali diri dengan pemahaman fiqh al-taysir agar dapat menjadi solusi, bukan justru menjadi beban tambahan bagi jemaah.
Kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan fiqh normatif. Petugas dan pembimbing haji perlu dibekali pemahaman fikih kontekstual dan fikih maslahat dengan segala problematika perhajian yang dinamis. Bukan selalu berdalih ‘harus sesuai dengan fikih manasik’, tapi juga mampu memberikan fatwa solusi di lapangan sesuai maqashid al-syariah. Ketegasan fikih tidak boleh mengalahkan kemaslahatan, dan fleksibilitas tidak boleh keluar dari koridor syar’i.
Fiqh al-taysir menyediakan ruang kemudahan itu. Bukan berarti longgar tanpa batas, tetapi mengedepankan maslahat dalam pengambilan hukum. Bukan meremehkan syariat, tetapi membumikan syariat agar tetap relevan, rahmah, dan manusiawi. Ulama dahulu seperti Imam al-Qarafi, Ibn ‘Abidin, dan al-Zuhayli telah mengajarkan bahwa “maslahat umat adalah jiwa fikih yang sesungguhnya”. Maka tidak berlebihan jika fikih ini dijadikan ruh pelayanan dan solusi manajerial penyelenggaraan haji Indonesia ke depan, mulai dari bimbingan manasik, pembinaan, dan perlindungan warga negara di tanah suci.
Mastuki (Kordinator Sekretariat Tim Monev Haji 2025)