Oman Fathurahman (Ketua Mustasyar Diniy PPIH Arab Saudi 2025, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Pengampu Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara)
Makkah (Kemenag) — Dulu, banyak juga dijumpai jemaah haji yang cara ibadahnya mempersulit diri sendiri, bahkan cenderung tidak manusiawi. Hamka, yang berhaji kedua kalinya pada tahun 1950, menyatakan keprihatinannya atas sempitnya pemahaman jemaah haji Indonesia, terkait masalah agama.
“Kesempitan-kesempitan faham seperti inilah kelak yang akan bertemu dalam perjalanan mengerjakan haji ini. Dalam perjalanan sudah dibolehkan mengqasar sembahyang, dan menjamakkan, menyatukan Lohor dengan Asar, dan Magrib dengan Isa. Masih terlalu banyak yang tidak mau menjalankan aturan itu,” kisahnya (HCL, Naik Haji di Masa Silam II, 2019: 778).
Hamka melanjutkan, “Dia masih tetap sembahyang setiap waktu dengan cukup rakaat. Katanya dengan begitu dia memenuhi agama, padahal dia sendiri yang mempersempit agama”.
Baca juga: Puncak Haji Armuzna
Kini, ketika jumlah jemaah haji semakin berlipat, dan pengembangan fasilitas di situs-situs haji seperti Arafah, Muzdalifah, dan Mina belum juga memadai, kesempitan wawasan fikih haji seharusnya tidak lagi terjadi.
Kejadian luar biasa saat haji seringkali tak terduga terjadi. Pada puncak wukuf di Arafah 9 Zulhijah lalu, sebagian jemaah tak kebagian tenda. Kementerian Haji Saudi menyelamatkan mereka dengan membawanya ke tenda cadangan milik kerajaan. Malamnya, mereka diperjalankan (tanazul) langsung ke hotel, tidak mabit di Muzdalifah dan Mina. “Harus bayar Dam”, sebagian jemaah ragu keabsahan hajinya sendiri.
Jemaah haji lain ada yang terpaksa berjalan kaki dari Muzdalifah ke Mina, akibat bus tak kunjung tiba. Kaki pun melepuh. Setelah melempar Aqabah, mereka memutuskan untuk istirahat di hotel, tidak mabit di Mina. “Bayar Dam”, kata pembimbing ibadahnya pula.
Lebih banyak lagi jemaah yang memaksakan melempar jumrah meski kesehatannya tidak prima, dan bahkan mengancam jiwa. “Hajinya tidak sempurna”, ada ustadz yang berkata. Padahal melempar jumrah bisa diwakilkan (badal).
Ini tugas para pemimpin agama, kyai, ustadz, untuk memahamkan jemaah agar tak ragu menjalani fikih haji yang memudahkan (taysir), meski bukan berarti menggampangkan (tasahhul). Dalam kasus di atas, jemaah tak perlu ragu bahwa ada ulama berpandangan, mabit di Muzdalifah dan/atau Mina sunnah, tak perlu bayar Dam.
Di tengah kompleksitas haji yang luar biasa (extraordinary), prinsip yang harus dikedepankan adalah kemanusiaan: menjaga jiwa (hifz al-nafs), mengurai kesulitan (taysir al-masyaqqah), dan menghilangkan ancaman (izalat al-darar).
Dalam manuskrip _Boekoe Woelang Haji_, Raden Muhamad Husen, seorang penghulu di Karawang tahun 1873 berpesan kepada para calon jemaah haji (Suryadi, dalam HCL, Naik Haji di Masa Silam I, h. 429):
Mengerti dahulu sebelum pergi
sungguh belajar sore dan pagi
karena syaratnya beberapa bagi
supaya diri janganlah rugi
Kita butuh segera menerapkan fikih haji yang manusiawi.
Semoga para jemaah haji Indonesia merasa aman, nyaman, dan mabrur sepanjang umur.
اللهم اجعله حجا مبرورا وسعيا مشكورا وذنبا مغفورا وعملا مقبولا وتجارة لن تبور
Oman Fathurahman (Ketua Mustasyar Diniy PPIH Arab Saudi 2025, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Pengampu Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara)