Cristiano Ronaldo diberi jalan mulus menuju Piala Dunia 2026, tetapi harganya adalah keraguan tentang integritas FIFA dan kemungkinan gugatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Keputusan untuk menangguhkan sisa hukuman Cristiano Ronaldo bukan sekadar pengecualian langka dalam sejarah disiplin FIFA. Hal ini membuka perdebatan yang lebih besar: di Piala Dunia, apakah aturan diterapkan secara setara, atau apakah terkadang aturan tersebut cenderung memihak pada para superstar?
Ronaldo, 40, diusir keluar lapangan karena menyikut Dara O’Shea dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia melawan Irlandia. Tindakan ofensif semacam itu biasanya mengakibatkan larangan bermain minimal tiga pertandingan. CR7 hanya absen dalam satu pertandingan, yaitu saat Portugal menang telak 9-1 atas Armenia. Namun, dua pertandingan lainnya, yang merupakan bagian dari larangan bermain, diskors oleh FIFA selama satu tahun masa “percobaan”.
Dengan keputusan itu, Ronaldo dengan nyaman memasuki dua pertandingan pembuka Piala Dunia 2026. Dan itulah poin yang membuat banyak tim merasa tidak adil.
Masalahnya bukan hanya Ronaldo. Ini masalah prinsip. Jika pemain biasa melakukan pelanggaran serupa, sangat sulit bagi penalti untuk “ditangguhkan” dengan mudah.
Hal ini mendorong beberapa tim, terutama yang kemungkinan berada di grup yang sama dengan Portugal, untuk mempertimbangkan membawa kasus ini ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS). Jika mereka melakukannya, kasus ini bisa menjadi contoh kasus tindakan disipliner di turnamen terbesar di dunia tersebut.
Banding CAS harus membuktikan bahwa tim tersebut terdampak langsung. Artinya, mereka harus dapat berargumen bahwa kehadiran Ronaldo akan mengurangi peluang mereka untuk lolos.
Tidak sesederhana itu. Tapi juga bukan hal yang sepenuhnya tidak masuk akal. Ronaldo, di usia 40 tahun, mencetak lima gol di babak kualifikasi dan tetap menjadi ancaman nyata di setiap pertandingan.
Namun, tantangan terbesar terletak pada struktur disiplin FIFA sendiri. Prosesnya sangat diskresioner. Ketika FIFA menggunakan Pasal 27, yang memungkinkan penangguhan sebagian, hal itu membuka pintu yang sulit ditutup dengan justifikasi hukum. Jika FIFA dapat menunjukkan bahwa panel disiplinnya “sepenuhnya independen”, FIFA dapat mempertahankan keputusan tersebut tanpa harus menjelaskan motifnya terlalu dalam.
Namun, legitimasi tidak selalu sejalan dengan legitimasi. Dan di sinilah opini publik terguncang. Ronaldo baru-baru ini muncul di Gedung Putih sebagai tamu Presiden Donald Trump . Waktu dan situasi ini membuat banyak orang bertanya-tanya: Apakah FIFA dipengaruhi, meskipun tak kasat mata, oleh bobot politik atau daya tarik komersial salah satu bintang terbesar di era modern ini?
Perbandingannya langsung terlihat. Berapa banyak pemain yang telah diskors tiga pertandingan karena perilaku kekerasan? Berapa banyak dari mereka yang hukumannya dikurangi dengan cara ini? Dan berapa banyak tim lain yang dirugikan karena pemain mereka harus menjalani hukuman mereka dengan berat?
Piala Dunia bukan sekadar pertandingan tim-tim terkuat. Piala Dunia adalah panggung keadilan, di mana setiap tim diperlakukan setara. Setiap keputusan luar biasa akan menjadi preseden. Dan preseden itu, jika tidak dijelaskan dengan jelas, akan menjadi celah bagi kepercayaan terhadap integritas FIFA.
Ronaldo memang selalu memiliki pengaruh yang besar. Namun, ketika pengaruh seorang individu melampaui prinsip umum, sepak bola dengan mudah kehilangan keseimbangan yang menjadi fondasinya.
FIFA mungkin benar secara prosedural. Namun, ujian terberat bukanlah kode etik disiplin. Melainkan pertanyaan yang diajukan para penggemar: dalam Piala Dunia yang luas, kompleks, dan penuh perhitungan, apakah keadilan masih menjadi prioritas utama?
Jawabannya bukan dari Ronaldo, atau dari CAS. Jawabannya akan datang dari FIFA sendiri – dalam cara mereka menangani reaksi keras yang semakin meningkat terkait keputusan paling kontroversial mereka menjelang Piala Dunia 2026.
