Manchester City tersingkir dari Piala Dunia Antarklub 2025 setelah kalah 3-4 dari Al-Hilal dalam pertandingan yang dramatis di Orlando, Selasa 1 Juli 2025 pagi WIB, di mana pertahanan pasukan Pep Guardiola terkoyak oleh serangan balik kilat.
Bentrokan Manchester City dengan Al-Hilal di Babak 16 Besar Piala Dunia Antarklub FIFA™ 2025, menandai hari yang penuh kekacauan, di mana ketertiban menjadi kacau dan sepak bola mengingatkan kita bahwa reputasi bukanlah perisai. Tim City yang tampaknya tak tersentuh dilumpuhkan oleh serangan balik tajam Liga Pro Saudi – dan Pep Guardiola, yang selalu tenang, tidak akan tidur nyenyak malam ini.
Ketika Kontrol Menjadi Beban
Tidak ada yang terkejut bahwa Man City memiliki lebih banyak penguasaan bola, mengendalikan permainan, mengedarkan bola dengan gaya “guardiolismo” yang sesungguhnya. Namun, penguasaan bola tanpa penyelesaian akhir adalah bunuh diri di level ini. Man City menyia-nyiakan babak pertama yang seharusnya dapat mereka selesaikan, dengan Jeremy Doku, Ilkay Gundogan, dan Savinho kehilangan peluang emas.
Dan tragedi pun dimulai saat celah pertahanan terekspos – juga akibat rasa percaya diri yang berlebihan. Terutama Ruben Dias, bek tengah yang dulu dianggap “batu karang”, kini berubah menjadi kelemahan fatal saat tak mampu mengimbangi akselerasi Malcom atau Marcos Leonardo.
Guardiola memasukkan Rodri yang biasa ia gunakan untuk menyeimbangkan lini tengah, Foden untuk menyelamatkan keadaan, Haaland untuk mencetak gol seperti biasa. Namun kebuntuan itu bukan tentang nama – melainkan tentang struktur dan mentalitas. Man City yang telah kehilangan ketenangannya terus-menerus dieksploitasi oleh sepak bola Simone Inzaghi yang sederhana namun penuh perhitungan.
Simone Inzaghi pernah merasakan pahitnya Man City di final Liga Champions 2023 saat memimpin Inter Milan. Dan mungkin tak seorang pun mengenal Guardiola lebih baik daripada dia – orang yang pernah dicekik oleh Guardiola. Namun di Orlando, Inzaghi-lah yang memasang jebakan, dan Pep turun tangan.
Ia membiarkan Man City menguasai bola, lalu memfokuskan seluruh energinya pada serangan balik yang sangat cepat. Marcos Leonardo – 22 tahun, dari Santos – adalah penemuan terbesar. Malcom – pemain yang tampaknya kehabisan waktu – bermain seperti angin puyuh. Joao Cancelo – “mantan” Man City – membalas dengan assist yang patut dicontoh.
Taktik Inzaghi begitu tajam sehingga bahkan ketika Haaland dan Foden menyamakan kedudukan dua kali, Al-Hilal tidak gentar. Mereka terus melakukan serangan balik, terus mengandalkan kecepatan dan ruang, hingga Leonardo mengakhiri malam yang mengerikan bagi pertahanan Man City dengan penyelesaian yang tenang di perpanjangan waktu.
Bukan Hanya Sekadar Kerugian
Kekalahan 3-4 dari Al-Hilal tidak hanya membuat Man City tersingkir lebih awal dari Piala Dunia Antarklub, tetapi juga memperlihatkan rapuhnya skuad yang semakin kelebihan beban dan kurangnya kedalaman di lini belakang. Ruben Dias terus-menerus dioper, Ederson tidak lagi menjadi kiper andal, dan absennya Rodri di babak pertama menjadi bukti bahwa Man City tidak dapat bermain dengan baik tanpa pemain kunci.
Guardiola mungkin melihat ini sebagai kecelakaan – tetapi kenyataannya adalah, sejak akhir musim lalu, tanda-tanda peregangan berlebihan dan kurangnya ketajaman dalam pertahanan telah terlihat jelas. Ketika berhadapan dengan tim yang memainkan serangan balik cepat, Man City tidak lagi menjadi “benteng pengendali” – mereka adalah target yang mudah.
Di hari yang sama, Inter Milan disingkirkan Fluminense. Kini giliran Man City yang tumbang di tangan Al-Hilal. Kedua wakil elite Eropa itu kalah dari lawan dari Amerika Selatan dan Asia, bukan hanya dari segi skor, tetapi juga taktik dan temperamen. Piala Dunia Antarklub tahun ini bukan lagi ajang “turis” bagi raksasa Eropa. Ini adalah turnamen yang diikuti semua tim untuk berkompetisi, dan kelambanan apa pun harus dibayar dengan harga tertinggi.
Man City mengorbankan liburan musim panas mereka untuk bermimpi meraih gelar juara dunia, tetapi akhirnya keluar dari turnamen tanpa mencapai perempat final. Sementara itu, Al-Hilal tetap tegar saat memasuki pertandingan melawan Fluminense – di mana mereka tidak lagi menjadi tim yang dikesampingkan.
Sepak bola modern bukan lagi ranah eksklusif tim-tim bintang. Tim-tim seperti Al-Hilal telah menunjukkan bahwa jika mereka terorganisasi dengan baik, percaya pada taktik mereka, dan bermain dengan penuh semangat, mereka dapat mengalahkan siapa pun – bahkan tim-tim terbaik di dunia seperti Man City.
Dan bagi Guardiola, kekalahannya bukan hanya satu pertandingan. Ia kehilangan rasa tak terkalahkan yang pernah dimiliki Man City. Piala Dunia Antarklub 2025 adalah lonceng, bukan lonceng kiamat – tetapi pengingat bahwa setiap kekaisaran perlu takut… pada kecepatan.