Alfa (ASN Ditjen Bimas Katolik)
Apresiasi patut disampaikan kepada Kementerian Agama dengan program kebanggaan, Asta Protas. Inilah langkah konkret Kemenag mewujudkan Asta Cita serta 17 program prioritas Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming.
Kamis (6/3/2025) Menag Nasaruddin memperkenalkan Asta Protas yang berisi delapan program besar. Saya sungguh tergugah dengan salah satu Asta Protas di poin nomor dua yakni Penguatan Ekoteologi. (Ekologi, bahasa Yunani: “oikos” (rumah atau tempat tinggal) dan “logos” (ilmu). Teologi, bahasa Yunani “theos” (Tuhan) dan “logos” (ilmu).
Menurut saya, ada empat unsur penting yang terkandung dalam ekoteologi. Pertama, ekoteologi mencakup kesadaran akan hubungan yang saling terkait antara alam, manusia, dan Tuhan. Kedua, ekoteologi lahir dari kebutuhan untuk mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan isu-isu lingkungan, sehingga dapat menjadi kekuatan positif dalam menjaga bumi dan mengatasi krisis ekologis.
Ketiga, ekoteologi mendorong pemahaman tentang alam sebagai rumah bersama dan kewajiban manusia untuk memelihara serta menggunakan sumber daya secara bijaksana dan keempat, ekoteologi bangun kesadaran ekologis pada diri manusia bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bertanggung jawab atas kesejahteraannya. Semua ini sungguh terpikirkan oleh Kementerian Agama dalam salah satu Asta Protas.
Saya akhirnya boleh berkata seperti Archimedes (200 SM) saat menemukan rumus berat jenis guna menjawab tantangan raja Yunani. Eureka….eureka (sudah kutemukan). Ya..eureka! Sudah kutemukan bahwa Kementerian Agama tidak hanya berada dalam spirit membangun masyarakat yang saleh, moderat, cerdas, dan unggul semata, tapi jauh lebih dari itu Kementerian Agama membangun jembatan peradaban, dan membidani lahirnya kesadaran manusia dalam membangun relasi dengan alam, sesama, dan Tuhan. Kemenag siap meningkatkan pemahaman dan kesadaran keagamaan dalam perspektif lingkungan.
Di titik inilah spirit ekoteologi merasuk masuk ke jantung Kemenag dan menjadikannya sebagai kebijakan yang diharapkan berdampak pada bonum commune/the common good. Dalam konteks yang lebih spesifik bagi saya, ekoteologi itu hanya soal cinta dan pertobatan.
Ekoteologi Itu Soal Cinta
Ya, ekoteologi itu soal cinta. Jika Anda mencintai alam maka serentak pula Anda mencintai sesama dan memuliakan Tuhan. Makhluk apapun di dunia ini secara jasmani sangat menggantungkan hidupnya pada alam. Sekecil apapun yang Anda lakukan untuk mencinta alam, Anda telah berjasa menghidupkan generasi penghuni bumi ini. Tak perlu terlalu hebat untuk berpikir soal mencintai alam.Lakukan apa yang dapat Anda lakukan.
Kementerian Agama telah memberikan contoh dan teladan itu. Gerakan penanaman 1 juta pohon matoa adalah gerakan inspiratif menggugah kesadaran untuk mulai bergerak. Dalam ruang lingkup gerakan sosial Kemenag memberi inspirasi. Ada secercah amanah yang tertinggal di sanubari bahwa tak perlu berpikir tentang menghijaukan dunia jika tanganmu hanya mampu menanam satu tanaman indah depan rumahmu dan kantormu.
Benarlah kata–kata ini Voyez Comme ‘est Simple, ill suffit d’aimer (lihatlah bagaimana sederhananya, semua yang kau lakukan untuk mencintai). Itulah kata-kata Bernadeth Soubirus sebelum meninggal di Paris pada hari Paskah 1879 yang juga disetujui Maria Kallen dengan mengatakan,”Jika kita tidak punya apa-apa yang kita cintai, maka cintailah apa yang kita punyai. Pesan inspiratif adalah di tanganmu ada seuntai bibit matoa lakukan itu dengan cinta yang besar. Satu pohon matoa di tanganmu mampu membawa harapan masa depan bagi sesama dan kelangsungan ekosistem. Pekerjaan sederhana dengan cinta yang besar membawa kemuliaan diri dan kebesaran nama Tuhan.
Ekoteologi Itu Soal Pertobatan
Ulah manusia, serakah pada alam, ekosistem terbelenggu oleh egoisme, ekologi mati suri akibat ulah manusia maka di titik inilah refleksi Ebiet G. Ade menjadi nyata. Alam mulai enggan bersahabat dengan kita dan bahkan Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Semua diam, membisu. Bertanya pada rumput yang bergoyang pun tak ada jawaban, Situasi semacam ini oleh Karl Jaspers.disebut sebagai situasi batas”. Manusia butuh pertobatan ekologis. Dosa tidak hanya berakibat buruk bagi manusia dan merusak relasinya dengan Tuhan, melainkan juga berdampak buruk pada alam ciptaan Tuhan. Di titik inilah butuh pertobatan ekologis. Dengan mengupayakan pertobatan ekologis, kita membarui kembali komitmen untuk merawat alam lingkungan hidup kita.
Di titik ini ekoteologi yang dirancang Kemenag sungguh relevan dan menjadi bagian dari pertobatan ekologis.
Pelestarian lingkungan di lembaga pendidikan agama dan keagamaan, rumah ibadah, lembaga keagamaan, penerapan green building, insersi kurikulum pelestarian lingkungan dalam pendidikan agama dan keagamaan, dan pendidikan/pelatihan berbasis kesadaran lingkungan, serta kolaborasi program lingkungan hidup dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan antarinstansi/lembaga (Pemerintah dan swasta) adalah komitmen mewujudkan pertobatan ekologis.
Akhirnya saya sepakat dengan Spinoza bahwa alam adalah ekspresi dari Tuhan yang kekal dan tak terbatas (Deus sive Natura). Tuhan tidak dipahami sebagai entitas yang menciptakan alam dan kemudian menjaganya, melainkan alam adalah bagian integral dari Tuhan sendiri. Kita harus menjaga sebagai perwujudan iman dan rasa syukur.
Proficiat Kementerian Agama atas gagasan besar dan teladan membangun peradaban melalui ekoteologi.
Alfa (ASN Ditjen Bimas Katolik)