Krisis lingkungan hidup bukan lagi ancaman masa depan, tetapi kenyataan hari ini. Pemanasan global, pencemaran air dan udara, kehilangan biodiversitas, hingga kerusakan hutan adalah sederet bencana ekologis yang terjadi akibat rusaknya hubungan antara manusia dan alam. Dalam menghadapi krisis ini, agama tidak boleh tinggal diam. Justru sebaliknya, agama perlu menjadi kekuatan moral utama dalam memulihkan harmoni antara manusia dan lingkungannya. Di sinilah pentingnya ekoteologi sebagai jembatan antara iman dan ekologi, antara spiritualitas dan keberlanjutan.
Ekoteologi pada dasarnya adalah refleksi teologis atas tanggung jawab manusia dalam menjaga alam sebagai bagian dari ciptaan Tuhan. Dalam perspektif ini, manusia bukan pusat segala sesuatu (antroposentris), melainkan bagian dari jaringan kehidupan yang saling terhubung dan harus dijaga secara utuh. Gagasan ini ditekankan pula oleh Sayyid Hossein Nasr, salah satu pemikir Muslim terkemuka abad ke-20, yang menyatakan bahwa krisis ekologi pada hakikatnya adalah krisis spiritual. Dalam karya-karyanya seperti Man and Nature dan Religion and the Order of Nature, Nasr menegaskan bahwa kesalahan modernitas adalah memisahkan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai spiritual. Dalam pandangannya, manusia modern telah kehilangan rasa sakral terhadap alam. Alam tidak lagi dipandang sebagai tanda-tanda kehadiran Tuhan (ayat kauniyah), tetapi hanya sebagai objek eksploitasi demi keuntungan sesaat.
Nasr menawarkan pendekatan teosentris, yakni pandangan bahwa alam adalah manifestasi dari Tuhan dan harus diperlakukan dengan penghormatan spiritual. Dalam konteks ini, tugas manusia bukan menguasai alam, tetapi merawat dan menjaganya sebagai amanah Ilahi. Ia memperingatkan bahwa tanpa kesadaran spiritual, manusia akan terus mengeksploitasi bumi hingga batas kehancurannya sendiri. Maka, menurut Nasr, solusi krisis lingkungan harus dimulai dari transformasi batin manusia: dari dominasi menuju khidmah (pelayanan), dari egoisme menuju penghambaan.
Beragama Berdampak
Gagasan Nasr menemukan gaungnya dalam kebijakan dan kepemimpinan Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Sebagai seorang pemikir sekaligus birokrat, Prof. Nasaruddin telah membuktikan bahwa ekoteologi bukanlah konsep abstrak, melainkan dapat diimplementasikan dalam program-program konkret. Di bawah kepemimpinannya, Kementerian Agama RI mengusung pelestarian lingkungan sebagai bagian integral dari pelayanan keagamaan. Ini ditunjukkan secara tegas dalam KMA Asta Protas Nomor 244 tahun 2025, yang menjadikan ekoteologi sebagai salah satu dari delapan prioritas transformasi layanan keagamaan. Dalam KMA tersebut, ditegaskan bahwa pelestarian lingkungan adalah panggilan iman, bukan sekadar anjuran moral.
Komitmen itu tidak berhenti pada level kebijakan, tetapi diterjemahkan menjadi gerakan kolektif yang menyentuh berbagai aspek kehidupan. Salah satu inisiatif yang patut diapresiasi adalah program penanaman satu juta pohon di kawasan kampus Indonesian International Islamic University (IIIU). Penanaman pohon ini bukan sekadar tindakan simbolik, tetapi ekspresi nyata dari semangat spiritual untuk menghijaukan bumi. Program ini disertai dengan narasi religius yang kuat: bahwa setiap pohon adalah sedekah yang terus mengalir pahalanya, dan setiap daun yang tumbuh menjadi saksi cinta manusia kepada alam. Meski program ini terus berlangsung, pelaporan dan monitoring efektivitasnya perlu diperkuat agar tidak berhenti pada seremoni semata.
Gerakan lain yang inovatif adalah “Satu Pengantin Satu Pohon”. Melalui program ini, setiap calon pengantin yang mendaftar ke Kantor Urusan Agama (KUA) diwajibkan membawa tanaman hidup yang akan ditanam di lingkungan sekitar. Dengan demikian, ikatan pernikahan tidak hanya menjadi perjanjian sosial dan spiritual antara dua insan, tetapi juga menjadi ikrar ekologis antara manusia dan bumi. Prof. Nasaruddin ingin agar momen sakral seperti pernikahan juga menjadi momentum ekologis, memperkuat kesadaran bahwa rumah tangga yang harmonis harus dibangun seiring dengan lingkungan yang lestari. Namun, tantangan sosialisasi dan pelaksanaan program ini masih cukup besar di daerah-daerah yang belum memiliki kolaborasi aktif antara KUA dan dinas lingkungan hidup.
Tidak berhenti di situ, Kementerian Agama juga menerapkan kebijakan menanam pohon bagi setiap CPNS dan PPPK baru. “Satu Pegawai Satu Pohon” menjadi prinsip dasar yang melekat dalam pelantikan ASN baru. Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi tidak harus kering dari nilai spiritual, tetapi bisa menjadi ruang pembentukan ekosistem baru yang lebih ramah lingkungan. Dalam semua program ini, agama tampil sebagai penggerak moral dan simbolik yang mengubah cara berpikir dan bertindak masyarakat. Beragama haruslah berdampak dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya adalah terhadap pelestarian lingkungan.
Jika ditinjau secara lebih luas, berbagai gerakan yang digagas oleh Kementerian Agama ini juga membuka ruang bagi dialog lintas agama. Sebab, nilai-nilai ekoteologi tidak hanya ada dalam Islam, tetapi juga hadir dalam tradisi agama lain. Dalam Kristen, misalnya, dikenal konsep stewardship—tugas manusia untuk mengelola ciptaan Tuhan dengan penuh tanggung jawab. Dalam Hindu dan Buddha, prinsip keseimbangan dan ahimsa (tidak menyakiti makhluk hidup) menjadi dasar dari kesadaran ekologis. Dalam Konghucu dan ajaran kearifan lokal Nusantara, keharmonisan dengan alam adalah bagian dari tata kehidupan yang luhur. Maka menjadikan ekologi sebagai bagian dari pelayanan keagamaan bukanlah pengkhususan Islam, tetapi bisa menjadi landasan gerakan lintas iman demi menyelamatkan planet bumi.
Namun demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa masih ada sebagian kalangan umat beragama yang memandang isu lingkungan sebagai isu sekuler yang terpisah dari kewajiban keagamaan. Bahkan, dalam beberapa konteks ekstrem, kepedulian terhadap lingkungan dianggap lebih sebagai agenda kelompok tertentu ketimbang nilai agama itu sendiri. Maka, tantangan ke depan adalah bagaimana mengarusutamakan kesadaran ekoteologis dalam kurikulum pendidikan agama, khutbah-khutbah keagamaan, dan pelatihan tokoh lintas agama.
Ekoteologi Leadership
Prof. Nasaruddin Umar, melalui berbagai pidato dan narasi publiknya, sering menekankan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah. Bumi adalah amanah yang harus dirawat, bukan warisan untuk dieksploitasi. Ia bahkan mengajak umat beragama untuk membaca kembali kitab suci dengan perspektif ekologis: bahwa ayat-ayat Tuhan tidak hanya tercetak di mushaf, tetapi juga tertulis dalam dedaunan, gunung, sungai, dan seluruh ciptaan. Dengan cara pandang ini, maka beriman berarti juga berkomitmen pada keberlanjutan bumi.
Dari semua itu, kita dapat melihat bahwa pendekatan ekoteologi dalam kepemimpinan Prof. Nasaruddin bukan sekadar strategi birokratis, melainkan bagian dari revitalisasi makna agama dalam menjawab tantangan zaman. Dalam situasi krisis lingkungan seperti sekarang, agama yang diam adalah agama yang kehilangan relevansi. Tapi agama yang hadir dan aktif membela bumi adalah agama yang hidup, dinamis, dan membebaskan.
Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen masyarakat—terutama umat beragama—untuk ikut serta dalam gerakan ini. Menanam pohon bukan sekadar kegiatan lingkungan, tapi juga ekspresi iman. Mengurangi konsumsi plastik, mendaur ulang sampah, dan menjaga kebersihan sungai bisa menjadi bentuk ibadah sehari-hari jika dilandasi dengan niat menjaga ciptaan Tuhan. Agama bukan sekadar jalan menuju surga, tetapi juga jalan menuju bumi yang lestari dan berkeadilan.
Lebih dari itu, gerakan ekoteologis ini juga berpotensi menjadi fondasi kokoh dalam membangun kerukunan umat beragama. Ketika semua agama bersatu dalam komitmen menjaga bumi, maka perbedaan keyakinan tidak lagi menjadi pemisah, melainkan kekuatan kolektif untuk menjaga ciptaan Tuhan. Kepedulian bersama terhadap lingkungan menghadirkan ruang dialog yang lebih hangat, interaksi sosial yang lebih terbuka, dan kolaborasi nyata antarumat beragama dalam kerja-kerja kemanusiaan. Dengan demikian, ekoteologi bukan hanya menyelamatkan bumi, tetapi juga memperkuat persaudaraan lintas iman di tengah dunia yang kian terpolarisasi.
Tugas Universal Jaga Lingkungan
Akhirnya, ekoteologi adalah tugas universal, bukan hanya milik kaum agamawan atau pejabat pemerintah. Ia adalah panggilan bagi siapa pun yang mencintai kehidupan. Dalam dunia yang semakin panas dan penuh ketimpangan, marilah kita jadikan pohon-pohon sebagai doa yang tumbuh, sungai sebagai tasbih yang mengalir, dan bumi sebagai tempat sujud yang kita jaga bersama. Karena pada akhirnya, menyelamatkan bumi bukan hanya soal kelangsungan ekosistem, tetapi juga tentang menjaga ruang hidup bersama yang adil dan damai bagi seluruh umat manusia.
Gerakan menjaga lingkungan, jika dilakukan bersama-sama lintas iman, menjadi titik temu baru yang memperkuat solidaritas sosial dan memperluas ruang dialog antarumat beragama. Melalui kolaborasi dalam aksi nyata merawat bumi, tercipta rasa saling memahami, saling menghargai, dan saling menopang dalam keberagaman. Maka, ekoteologi bukan hanya menawarkan cara baru memahami hubungan manusia dengan alam, tetapi juga menjadi strategi efektif dalam menumbuhkan kerukunan umat beragama secara berkelanjutan. Ia adalah panggilan bagi siapa pun yang mencintai kehidupan. Dalam dunia yang semakin panas dan penuh ketimpangan, marilah kita jadikan pohon-pohon sebagai doa yang tumbuh, sungai sebagai tasbih yang mengalir, dan bumi sebagai tempat sujud yang kita jaga bersama. Sebab, menyelamatkan bumi adalah bentuk ibadah yang paling nyata hari ini.
Muhammad Adib Abdushomad, M.Ag., M.Ed., Ph.D (Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI dan Dosen Pascasarjana (S3) Bunga Bangsa Islamic University, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Madani Global Citizenship-Tangsel. Alumni S2 dan S3 Flinders University South Australia)