Di tengah perdebatan sengit tentang status esport sebagai cabang olahraga sejati, Dr. Tirta dokter sekaligus influencer kesehatan angkat suara untuk meluruskan kesalahpahaman yang kian meluas.
Menurutnya, menolak esport sebagai olahraga sama saja mengabaikan esensi perlombaan modern yang mengedepankan kompetisi, pelatihan terstruktur, strategi matang, dan kepatuhan pada aturan baku.
“Disini mobile gaming (esport) itu bukan termasuk olahraga karena tidak menghasilkan keringat. Eit, berarti Kamu tidak memahami bahasa Inggris dengan baik,” tegas Dr. Tirta, di acara podcast bersama Pandji Pragiwaksono belum lama ini.
Secara tidak langsung, Dr. Tirta menantang cara pKamung lama yang hanya mengukur olahraga dari seberapa berat beban yang diangkat atau seberapa cepat pelari menjejak lintasan.
Selain itu, Dr. Tirta juga menjelaskan olahraga pada umumnya dengan esport memiliki kesamaan.
“Kenapa esport itu sport, karena itu menghibur dan kompertitif. Jadi, sport ya sport tidak ada artinya. Makanya catur itu sport,” tegasnya lagi.
Ungkapan tegasnya langsung memicu gelombang dukungan dari para atlet esport dan komunitas gamer di media sosial.
Mereka sepakat bahwa persiapan atlet esport tidak kalah intensif dibanding cabang olahraga tradisional: sesi latihan berjam-jam untuk meningkatkan refleks, simulasi pertandingan guna membangun ketangguhan mental, serta analisis taktis dengan bantuan data untuk menyusun formasi dan peluang kemenangan.
Bagi banyak pegiat gim profesional, pengakuan Dr. Tirta memvalidasi kerja keras mereka yang sering dipKamung remeh oleh masyarakat awam.
Di era digital ini, olahraga bukan lagi sekadar kejar-kejaran di arena fisik. Reflexology, kecepatan pengolahan informasi, dan kemampuan bertahan di bawah tekanan semua itu menjadi kriteria mutlak bagi siapa pun yang ingin mengukir prestasi di panggung esport.
Argumen Dr. Tirta menegaskan bahwa olahraga harus didefinisikan ulang, menjangkau segala bentuk kompetisi yang memacu kecakapan tubuh dan pikiran hingga batas potensinya.
Dengan dukungan tokoh publik sekelas Dr. Tirta, harapan besar terbuka lebar bagi perkembangan esport di Indonesia. Pengakuan ini akan mendorong lembaga olahraga resmi untuk memasukkan esport dalam program pelatihan dan kompetisi nasional, sekaligus mengangkat status para atlet digital yang selama ini bermain di bayang-bayang stigma.
Kini, panggung esport semakin dekat dengan legitimasi yang selama ini mereka ngarai, membuktikan bahwa kecerdasan strategi dan refleks cepat sama berharganya dengan kekuatan otot dan cepatnya lari.
Sepert diketahui, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid belum lama ini menyatakan bahwa esport tidak dapat dikategorikan sebagai olahraga. Meutya menegaskan bahwa olahraga sejati harus melibatkan aktivitas fisik yang nyata dan berkeringat, sedangkan gim daring dinilainya tidak memenuhi syarat tersebut.
“Bagi saya, sport harus tetap melibatkan kegiatan fisik selain online. Saya tidak bilang online itu jelek tapi yang namanya sport perlu ada giat fisiknya,” ujar Meutya.