Zubaidah bersama ibu dan anaknya di Asrama Haji Embarkasi Aceh
Banda Aceh (Kemenag) — Perempuan itu berkulit sawo matang. Tubuhnya kurus. Ia memakai kacamata dan masker biru muda.
Namanya Zubaidah, pensiunan guru dari ujung barat Indonesia, Sabang, Aceh. Terakhir ia mengajar di Sekolah Dasar (SD) Negeri 19 Sabang. Umurnya sudah lebih 62 tahun, namun fisiknya terlihat masih kuat.
Tangan Zubaidah mengenggam erat dua wanita di sisinya. Wanita yang lebih tua di sisi kirinya sudah berusia 83 tahun. Ia adalah Ruhani Usman Umar, ibu dari Zubaidah. Sementara di sisi kanannya adalah Rosmida Muhammad Nursairin, 35 tahun, yang tak lain anak dari Zubaidah atau cucu dari Ruhani.
Tiga generasi ini tergabung sebagai jemaah haji tahun 2025 dalam kelompok terbang (kloter) BTJ-07 Embarkasi Aceh. Ketiganya berangkat menuju Baitullah, Sabtu (24/5/2025) malam, dari Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM).
Beberapa kali, Zubaidah menitikkan air mata. “Saya terharu,” ujarnya.
Ia menuturkan kalau ia mendaftar haji pada 1 Agustus 2012 lalu bersama suaminya.
“Namun suami meninggal setahun lalu,” kenang Zubaidah.
Zubaidah sempat terdiam saat bercerita tentang mendiang suaminya.
“Kehendak Allah Swt, suami saya meninggal tahun lalu (2024). Jadi anak saya menggantikan almarhum suami,” ujarnya.
Kata Zubaidah, ia memiliki 2 anak, Salah satunya adalah Rosmida yang berangkat ke tanah suci menggantikan almarhum suaminya.
Rosmida sendiri sudah bersuami dan memiliki seorang anak. Ia berangkat ke tanah suci karena nomor porsi almarhum ayahnya dilimpahkan kepadanya.
“Jadi setelah suami meninggal, saya tanya sama anak, siapa yang mau menggantikan, akhirnya Ros yang menggantikan. Saya juga sudah minta izin sama suaminya Ros, dan diizinkan,” kata Zubaidah yang ditemui di Asrama Haji Embarkasi Aceh.
Pelimpahan nomor porsi haji adalah proses pengalihan nomor antrian haji dari jemaah haji yang tidak dapat berangkat haji karena sakit permanen atau meninggal dunia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2021, nomor porsi jemaah haji reguler karena sakit permanen atau meninggal dunia sebelum keberangkatan dapat dilimpahkan kepada suami, istri, ayah, ibu, anak kandung, atau saudara kandung.
Sementara Ruhani, ibunda Zubaidah, mendaftar haji pada 1 Agustus 2017. Seharusnya ia harus menunggu sampai 20 tahun untuk berangkat ke Tanah Suci. Namun berkat program penggabungan mahram, Ruhani bisa ikut berangkat tahun ini karena digabungkan porsi keberangkatannya dengan anak kandungnya, Zubaidah.
“Karena adanya kebijakan penggabungan mahram, membuat kami bisa berangkat pada tahun yang sama, kloter yang sama dan penginapan yang sama,” ujar Zubaidah.
Kebijakan penggabungan mahram bagi jemaah haji diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 83 Tahun 2024.
Kebijakan ini mencakup penyatuan jadwal keberangkatan bagi suami/istri, anak kandung/orang tua yang terpisah, serta saudara kandung yang terpisah waktu keberangkatannya.
Penggabungan jadwal tersebut memungkinkan mahram jemaah haji untuk berangkat haji bersama, meskipun mendaftar pada waktu yang berbeda, asalkan memiliki mahram yang sudah lebih dulu terjadwal berangkat. Pengusulan untuk penggabungan mahram bisa dilakukan jika yang bersangkutan sudah mendaftar setidaknya 5 tahun.
Zubaidah berharap perjalanan sucinya bisa sempurna dan kembali ke tanah air dengan nyaman.
“Doakan kami sehat-sehat selama perjalanan dan di tanah suci bisa melaksanakan rukun dengan sempurna dan pulang ke Aceh menjadi hajjah yang mabrur,” kata Zubaidah.