Belakangan ini, dunia pendidikan madrasah diramaikan oleh rencana strategis Kementerian Agama RI untuk meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Dalam berbagai forum publikasi resmi, termasuk laman Kemenag dan Uji Publik KBC Kelima pada 15 April 2025 di Jakarta, KBC diperkenalkan sebagai kerangka nilai untuk membentuk peserta didik madrasah yang tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional, spiritual, dan sosial.
Dokumen uji publik tersebut memuat sembilan prinsip utama (9K) yang sangat mulia: keberagaman, kebersamaan, kekeluargaan, kemandirian, kesetaraan, kebermanfaatan, kejujuran, keikhlasan, dan kesinambungan. Nilai-nilai ini kemudian dirangkum dalam enam tema cinta—kepada Allah, Rasulullah, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa. Gagasan ini tentu sangat inspiratif dan menggugah. Sebagai pendidik di bawah binaan Kemenag, saya menyambutnya dengan apresiasi dan harapan besar.
Namun, sebagaimana semangat uji publik yang memang membuka ruang refleksi dan dialog akademik, saya merasa terpanggil untuk ikut menyumbang pemikiran. Masukan ini saya tujukan bukan sebagai kritik, melainkan sebagai saran konstruktif untuk membantu gagasan besar ini agar lebih kontekstual dan mudah diimplementasikan secara luas di madrasah.
Pertanyaan sederhana yang perlu saya ajukan; Perlukah cinta dijadikan kurikulum secara formal? Ataukah akan lebih tepat dan kuat bila ia diwujudkan dalam bentuk budaya yang hidup di madrasah?
Apakah Cinta Perlu Dikurikulumkan?
Kurikulum, menurut Hilda Taba dalam buku Curriculum Development: Theory and Practice (1962), adalah a plan for learning. Dengan kata lain, kurikulum merupakan sebuah rencana sistematis untuk proses belajar, yang harus disusun berdasarkan pemahaman tentang cara siswa belajar dan perkembangan kepribadiannya. Kurikulum tidak boleh menjadi dokumen yang kaku dan seragam, melainkan harus bersifat fleksibel, kontekstual, dan terus dikembangkan oleh guru sesuai kebutuhan siswa. Hilda Taba juga menekankan bahwa guru bukan hanya pelaksana kurikulum, tetapi juga aktor utama dalam pengembangannya. Guru berperan penting dalam merumuskan tujuan, memilih isi, menyusun strategi pembelajaran, dan melakukan evaluasi pembelajaran secara berkelanjutan.
Namun, jika berbicara tentang cinta, persoalannya menjadi berbeda. Cinta adalah nilai batiniah yang tumbuh melalui keteladanan, pembiasaan, dan pengalaman hidup, bukan sesuatu yang dapat dirumuskan dalam indikator teknis atau diuji dengan soal pilihan ganda. Ketika nilai cinta dipaksa masuk ke dalam kerangka administratif dan dijadikan standar baku, ada risiko maknanya menjadi semu. Cinta berpotensi hanya menjadi jargon tanpa daya hidup, karena sejatinya nilai-nilai luhur seperti cinta membutuhkan ruang ekspresi yang lebih organik dan alamiah.
Dalam konteks pendidikan Islam, nilai cinta adalah bagian dari tarbiyah yang bersifat holistik. Memang, di masa Rasulullah SAW belum dikenal bentuk kurikulum tertulis sebagaimana yang kita pahami sekarang, karena tradisi menulis (kodifikasi) sistematis baru berkembang setelah masa beliau. Namun, pendidikan yang dilakukan Rasulullah bersifat sangat terstruktur dalam praktiknya. Rasulullah mendidik para sahabat melalui keteladanan, pembiasaan nilai, dialog personal, dan pengalaman langsung secara rutin dalam berbagai konteks kehidupan. Meskipun tanpa kurikulum formal dalam bentuk tertulis, metode dan strategi pendidikan beliau sangat sistematis, bersifat gradual, dan disesuaikan dengan karakter, kesiapan, dan kondisi psikologis peserta didik.
Inilah yang sejalan dengan prinsip Hilda Taba, bahwa kurikulum adalah rencana belajar yang harus disusun berdasarkan pemahaman terhadap proses belajar dan perkembangan individu. Jika nilai cinta dipaksa masuk ke dalam kerangka kurikulum administratif yang kaku, ada risiko maknanya menjadi semu dan tidak membumi. Maka, nilai-nilai cinta lebih tepat dihidupkan sebagai budaya madrasah yang terintegrasi dalam interaksi harian guru dan siswa, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam proses pendidikan beliau kepada para sahabat.
Gerakan Madrasah Berbasis Cinta: Menyemai Nilai, Bukan Menambah Beban
Daripada sekadar dirancang sebagai kurikulum formal, nilai cinta yang sangat mulia ini justru lebih indah bila diwujudkan sebagai gerakan budaya pendidikan yang mengalir, fleksibel, dan membumi dalam kehidupan madrasah sehari-hari. Gagasan Pak Menteri tentang Kurikulum Berbasis Cinta adalah terobosan penting, sebuah langkah besar untuk menghadirkan pendidikan madrasah yang lebih humanis, berjiwa, dan bernilai spiritual tinggi.
Namun, sebagaimana semangat yang sering disampaikan beliau bahwa setiap kebijakan pendidikan harus adaptif dan kontekstual, nilai-nilai cinta tersebut bisa semakin hidup jika tidak hanya dituangkan dalam dokumen kurikulum, tetapi juga dihidupkan dalam budaya madrasah melalui keteladanan, pembiasaan, dan suasana pendidikan yang hangat. Cinta dalam pendidikan tumbuh dari tindakan-tindakan kecil yang konsisten dan tulus: cara guru menyapa siswa, cara kepala madrasah membangun suasana, hingga cara siswa belajar menghargai sesama.
Bayangkan bila setiap madrasah memulai pagi bukan hanya dengan absen formal, tetapi dengan senyuman tulus, sapaan hangat, dan perhatian personal dari guru kepada muridnya. Pada hari Jumat, siswa menulis jurnal sederhana tentang kebaikan yang mereka lakukan, siapa yang mereka beri maaf, atau siapa yang mereka bantu. Saat apel, kepala madrasah berbagi kisah inspiratif tentang cinta Rasul atau pentingnya menjaga lingkungan sebagai bentuk ibadah.
Langkah-langkah kecil ini bukan program besar dan tidak memerlukan kurikulum baru, tapi gerakan sederhana seperti inilah yang dapat memperkuat ruh pendidikan di madrasah. Ia hadir dari hati, dihidupi dalam kebiasaan, dan pada akhirnya akan membentuk karakter jauh lebih kuat dibanding sekadar angka atau asesmen formal.
Karena itu, gerakan ini memerlukan peran aktif dari kepala madrasah yang visioner, guru yang menebar keteladanan, serta komunitas madrasah yang bersama-sama membangun budaya kasih dalam setiap kesempatan. Nilai-nilai cinta seperti inilah yang sejalan dengan semangat tarbiyah Rasulullah, yang mendidik dengan keteladanan dan kelembutan hati.
Dengan tetap menghormati kebijakan Kemenag, kami memandang bahwa memadukan kurikulum cinta dengan gerakan budaya cinta di madrasah bisa menjadi langkah strategis yang saling menguatkan. Sehingga nilai cinta tidak hanya tertulis dalam dokumen, tetapi benar-benar hadir dalam suasana belajar, relasi sosial, dan pembiasaan harian di madrasah-madrasah kita.
Kepala Madrasah yang Visioner: Pemimpin Nilai, Bukan Hanya Pengelola
Kepala madrasah visioner tidak sekadar hadir dalam rapat dan mengecek program. Ia hadir di tengah siswa, di ruang guru, di depan gerbang setiap pagi. Ia menyapa, memeluk, mendengar keluh kesah, dan menjadi bagian dari ritme hidup madrasah. Kehadirannya bukan sebatas simbol jabatan, melainkan sosok yang diharapkan dan dirindukan oleh komunitasnya karena keteladanan dan kehangatannya.
Alih-alih hanya mengeluarkan surat edaran tentang program cinta, kepala madrasah visioner lebih memilih mendorong lahirnya aktivitas-aktivitas nyata yang menyentuh hati. Misalnya, Pameran Cinta, di mana guru dan siswa menampilkan kisah-kisah sederhana namun berdampak besar dalam kehidupan sehari-hari. Cerita tentang siswa yang berbagi bekal, guru yang membantu siswanya diam-diam, atau siswa yang rela menemani temannya yang sedih. Kegiatan ini bukan sekadar agenda seremonial, tetapi ruang apresiasi yang menghidupkan nilai-nilai luhur dalam madrasah.
Selain itu, kepala madrasah dapat memfasilitasi “Forum Inspirasi”, yaitu sebuah wadah rutin bagi para guru untuk berbagi kisah keberhasilan, tantangan, dan pengalaman mereka dalam menanamkan nilai-nilai cinta kepada siswa. Forum ini tidak hanya menjadi ajang berbagi strategi, tetapi juga ruang saling menguatkan dan menyegarkan kembali motivasi para pendidik. Ketika guru merasa didengar, dihargai, dan diberi ruang untuk berkreasi, mereka akan menjalankan peran lebih dari sekadar pengajar; mereka menjadi teladan yang hidup bagi anak-anak madrasah.
Di tangan kepala madrasah yang visioner, cinta tidak pernah menjadi beban kerja atau sekadar instruksi program, melainkan cahaya yang memandu seluruh kegiatan dan keputusan. Ia menjadi alasan di balik kenapa setiap kegiatan di madrasah harus punya nilai. Ia memastikan bahwa di balik setiap lomba, upacara, kegiatan keagamaan, atau pelajaran di kelas — ada pesan moral, keteladanan, dan kasih sayang yang sampai ke hati peserta didik.
Lebih jauh, kepala madrasah seperti inilah yang akan mampu menghidupkan gagasan besar Pak Menteri tentang Kurikulum Berbasis Cinta menjadi realitas yang hangat dan membumi. Bukan hanya tercantum di dalam dokumen kurikulum, tetapi hidup di wajah guru, di tangan siswa, di ruang kelas, di masjid, hingga di halaman madrasah. Dengan kepemimpinan yang menyala, kepala madrasah akan menjadi motor penggerak perubahan budaya madrasah berbasis cinta, yang pada akhirnya melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga penuh kasih dan berkarakter mulia.
Guru yang Menjadi Teladan: Cinta itu Menular
Di kelas, guru bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi cermin nilai bagi anak-anak didiknya. Peserta didik tidak hanya menyerap apa yang guru ajarkan secara lisan, tetapi juga bagaimana guru menyampaikan, bereaksi, dan memperlakukan mereka. Nilai-nilai luhur itu ditangkap melalui sikap, ketulusan, dan kehangatan interaksi yang terjadi setiap hari.
Seorang guru yang penuh cinta akan:
1. Menyapa siswa dengan nama, disertai senyum tulus yang menenangkan.
2. Menegur dengan cara yang menjaga harga diri anak, tanpa mempermalukan.
3. Berani mengakui kesalahan di hadapan siswa dan memberi ruang untuk memaafkan. Karena guru bukan hanya pengajar, tetapi pembimbing dan penuntun hati.
Cinta dalam praktik guru tidak selalu hadir dalam program-program besar atau acara seremonial. Ia tersembunyi dalam hal-hal kecil namun bermakna: dalam suara lembut saat mengulangi penjelasan, dalam pujian tulus untuk siswa yang pemalu, dalam pelukan hangat kepada anak yang tengah bersedih. Semua itu bukan metode atau strategi, tapi lahir dari ketulusan hati yang dibiasakan.
Gerakan Madrasah Berbasis Cinta bukan tentang proyek pelatihan berskala besar, melainkan tentang perjalanan batin setiap guru menuju keteladanan pribadi. Perjalanan yang dimulai dari kesadaran diri, refleksi harian, dan komitmen untuk menghadirkan cinta dalam setiap pertemuan dengan siswa. Sederhana saja, cukup dengan merenung sejenak di ruang guru:
“Apa satu hal yang bisa saya lakukan hari ini agar siswa merasa dihargai, diterima, dan dicintai?”
Lebih dari itu, guru adalah pengganda nilai. Ketika satu guru berubah, satu kelas ikut berubah. Ketika banyak guru berubah, suasana madrasah secara perlahan akan bertransformasi. Karena sesungguhnya, gerakan cinta tidak dimulai dari peraturan, melainkan dari hati yang sadar bahwa setiap perjumpaan dengan siswa adalah kesempatan untuk menanamkan kasih, harapan, dan kebaikan.
Guru yang hidup dalam cinta tidak mudah mengeluh soal keterbatasan fasilitas, tidak menunggu program besar turun dari pusat, karena dalam dirinya tertanam keyakinan: pendidikan yang benar-benar hebat tidak selalu lahir dari gedung megah atau ruang kelas modern, tapi dari hati guru yang hangat, tulus, dan penuh kasih. Dialah ruh sejati pendidikan di madrasah.
Budaya Madrasah yang Menghidupkan Nilai
Budaya madrasah adalah napas harian yang tidak selalu tertulis, tapi terasa. Ia dibentuk bukan oleh dokumen, tetapi oleh ritual kecil yang terus-menerus dilakukan secara sadar dan bermakna.
Contoh implementatif dari Gerakan Madrasah Berbasis Cinta:
1. Hari Tanpa Marah, setiap Rabu, untuk melatih guru dan siswa mengelola emosi secara sadar.
2. Jumat Cinta, di mana siswa dan guru menulis surat apresiasi atau terima kasih kepada sesama.
3. Pohon Kebaikan, papan di mana siswa mencatat tindakan baik yang mereka lakukan setiap hari.
4. Cerita Pagi, rutinitas 5 menit sebelum pelajaran untuk berbagi kisah inspiratif tentang empati, keberanian, dan kebaikan.
Ritual-ritual ini sederhana, tidak membutuhkan anggaran besar, tapi membangun atmosfer yang penuh ketenangan dan penghargaan terhadap nilai. Ketika budaya ini menjadi kebiasaan, maka nilai cinta tidak hanya diajarkan, tapi dihidupkan—menjadi karakter yang melekat.
Budaya seperti ini memerlukan konsistensi, bukan kemewahan. Kunci utamanya adalah kebersamaan dalam menjalankan, bukan kesempurnaan dalam merancang. Tidak apa-apa jika ada kekurangan di awal. Yang penting adalah niat bersama untuk menciptakan ruang yang aman secara psikologis, nyaman secara sosial, dan penuh makna secara spiritual bagi seluruh warga madrasah.
Madrasah yang hebat bukan hanya tempat anak-anak menjadi pintar, tapi tempat mereka merasa pulang. Di sanalah cinta menemukan bentuk nyatanya. Dan ketika budaya cinta telah menyatu dalam denyut kehidupan madrasah, maka tak perlu lagi kurikulum baru. Karena nilai itu telah menjadi laku.
Penutup
Kementerian Agama telah memulai sebuah langkah besar yang sangat bernilai dalam upaya membangun karakter peserta didik melalui gagasan Kurikulum Berbasis Cinta. Sebuah inisiatif yang patut diapresiasi karena menghadirkan kembali nilai-nilai luhur di tengah tantangan dunia pendidikan yang semakin kompleks.
Namun, sebagaimana semangat pendidikan yang dinamis dan adaptif, langkah besar ini akan menjadi lebih kuat jika ditempatkan dalam kerangka implementasi yang tepat dan membumi. Cinta tidak harus dijadikan kurikulum formal yang dibakukan dalam dokumen administratif. Lebih dari itu, cinta akan jauh lebih bermakna jika dihidupkan dalam gerakan budaya madrasah yang hidup dan menyentuh langsung hati seluruh warganya.
Mari kita jadikan madrasah bukan hanya tempat untuk belajar akademik, tetapi juga rumah kedua yang menjadi wadah pembentukan akhlak, karakter, dan kebahagiaan jiwa. Karena kelak, saat anak-anak itu tumbuh dewasa, mereka mungkin akan lupa sebagian pelajaran yang kita sampaikan, tetapi mereka tidak akan pernah lupa bagaimana kita membuat mereka merasa dicintai, dihargai, dan dimuliakan.
Inilah semangat Gerakan Madrasah Berbasis Cinta. Sebuah gerakan yang bisa kita mulai dari langkah-langkah kecil, dari senyuman hangat guru di pagi hari, dari cerita-cerita inspiratif di ruang kelas, dan dari kebiasaan-kebiasaan sederhana yang membuat suasana madrasah dipenuhi ketulusan dan kasih sayang. Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb
A. Umar (Dosen FITK UIN Walisongo Semarang)