Cristiano Ronaldo memang sudah berusia 40 tahun, tetapi auranya belum pudar. Di Hong Kong, dalam pertandingan Piala Super Saudi antara Al Nassr vs Al Ittihad, Selasa 19 Agustus 2025, ia tidak perlu mencetak gol, namun tetap menjadi pusat perhatian.
Dan yang lebih penting, Ronaldo memenangi konfrontasi lain – pertarungan citra dan sentimen publik, di mana Lionel Messi tersandung dengan pahit setahun lalu.
Ronaldo Tampil Sebagai Penyelamat
Bukan kebetulan jika Hong Kong begitu memperhatikan penampilan Ronaldo. Sepak bola Asia pada umumnya, dan khususnya kawasan Tiongkok-Hong Kong, selalu ingin melihat langsung para superstar papan atas.
Para penggemar sepak bola tak hanya memandang sepak bola sebagai olahraga, tetapi juga sebagai peristiwa budaya. Dalam konteks ini, Ronaldo hadir sebagai simbol hidup, menghadirkan emosi yang primal: sorak sorai setiap kali menyentuh bola, kegembiraan saat melepaskan tembakan, dan kegembiraan saat memberikan assist untuk gol.
Citra para penggemar yang menentang keamanan demi menyerbu lapangan, atau berkemah di depan hotel CR7, atau bahkan menyewa kamar hanya untuk melihatnya, merefleksikan gairah yang hanya bisa dipertahankan oleh sedikit pemain di usia 40 tahun. Ronaldo mengubah pertandingan itu bukan sekadar kompetisi olahraga, melainkan sebuah penampilan ikonik.
Bandingkan Ronaldo dengan Messi, kontrasnya bahkan lebih kentara. Pada tahun 2024, ketika Inter Miami datang ke Hong Kong, Messi diharapkan menjadi “bintang nomor satu” di ajang tersebut. Puluhan ribu penonton membeli tiket dengan harga tinggi, menunggu untuk menyaksikan sang juara Piala Dunia 2022 dengan mata kepala sendiri. Namun, Messi justru duduk di bangku cadangan sepanjang pertandingan, dengan alasan cedera. Alasan itu, benar atau salah, tidak sepenting emosi yang dirasakan penonton: kekecewaan, kemarahan, bahkan tipuan.
Insiden itu meningkat menjadi krisis. Media Hong Kong dan Tiongkok mengkritiknya, penonton menuntut pengembalian uang, dan beberapa politisi menganggapnya “menghina”. Ketika Messi kemudian bermain di Jepang, hanya beberapa hari setelah pertandingan di Hong Kong, citranya semakin rusak.
Pemerintah Hong Kong bahkan membatalkan dua pertandingan persahabatan tim nasional Argentina, menganggapnya sebagai respons. Sebuah insiden olahraga tiba-tiba berubah menjadi peristiwa diplomatik, menunjukkan bahwa sepak bola dapat menyentuh ranah makna politik dan sosial.
Ronaldo mungkin mengerti apa yang terjadi pada Messi. Dan ia memilih cara lain: bermain, berkontribusi, menciptakan momen. Tak perlu hat-trick untuk memuaskan penggemar, cukup usaha dan kehadiran di waktu dan tempat yang tepat. Umpan untuk Joao Felix tak hanya bermakna profesional, tetapi juga sebuah pesan: “Saya di sini untuk bermain sepak bola, untuk menunjukkan kepada Anda apa yang telah Anda tunggu-tunggu.”
Dari segi komersial, itu adalah “target” yang sempurna. Ketika CR7 kelelahan, citra merek Ronaldo terus meningkat di Asia—pasar besar yang sangat sensitif terhadap emosi dan pengalaman nyata. Para penggemar tidak hanya membeli tiket, mereka juga membeli keyakinan bahwa idola mereka tidak akan meninggalkan mereka. Dan Ronaldo mempertahankan keyakinan itu.
Messi vs Ronaldo: Rivalitas Tak Berujung
Selama lebih dari 15 tahun, Messi dan Ronaldo telah bersaing di semua lini: mulai dari gol, Ballon d’Or, hingga gelar kolektif. Messi mungkin telah melampaui mereka dengan Piala Dunia 2022 bersama Argentina, sementara Ronaldo belum pernah menyentuh Piala Dunia. Namun di Hong Kong, keseimbangan condong ke arah CR7.
Messi meninggalkan Hong Kong disambut cemoohan, Ronaldo disambut sorak sorai riuh. Messi menjadi simbol kekecewaan, sementara Ronaldo menjadi bukti nyata konsep “tahu cara menyenangkan penonton”. Dan dalam perebutan citra global, terkadang memenangkan hati penggemar sama pentingnya – bahkan mungkin lebih penting – daripada memenangkan trofi di lapangan.
Sepak bola modern bukan lagi sekadar pertandingan 90 menit. Sepak bola modern adalah panggung global di mana setiap aksi seorang superstar bisa menjadi berita besar. Ronaldo memahami hal itu. Berkat dedikasinya, ia mengubah pertandingan Piala Super Saudi yang jauh menjadi sensasi media internasional.
Saat meninggalkan lapangan, Ronaldo tak hanya menang melawan Al Ittihad. Ia juga “memenangkan” Messi dalam persaingan diam-diam demi citra, “menang” di mata puluhan ribu penonton Hong Kong, dan yang lebih penting, “menang” dalam mempertahankan statusnya sebagai ikon global bahkan di tahun-tahun terakhir kariernya.
Mungkin, seperti yang pernah diakui Ronaldo sendiri, ini “berarti lebih dari gelar apa pun”.