Di tengah eskalasi ketegangan geopolitik global dan dinamika kebijakan moneter Amerika Serikat, Bitcoin (BTC) kembali menunjukkan daya tahan sebagai aset digital utama yang tetap relevan dan menarik perhatian investor dunia.
Pada Kamis, 19 Juni 2025 pukul 10:00 WIB, harga BTC tercatat berada di kisaran US$104.250 atau sekitar Rp1,7 miliar—turun sekitar 5% dari level tertingginya dalam satu bulan terakhir, namun tetap stabil di tengah tekanan pasar global yang fluktuatif.
Menurut data Tokocrypto, stabilitas harga Bitcoin ini menjadi sorotan mengingat dua faktor dominan yang sedang mengguncang pasar keuangan global: meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran serta sikap Federal Reserve (The Fed) AS yang memilih menahan suku bunga acuan di level 4,25% hingga 4,50%.
Keputusan ini diambil dengan pertimbangan prospek ekonomi yang belum pasti, meskipun inflasi menunjukkan tren menurun. Ketua The Fed, Jerome Powell, menyatakan bahwa pendekatan hati-hati adalah langkah terbaik dalam menavigasi ketidakpastian ekonomi dan geopolitik global saat ini.
Analisis Teknis: BTC Konsolidasi, Menunggu Sinyal Tren Baru
Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, menyebut bahwa pasar kripto saat ini sedang berada dalam fase konsolidasi.
“Bitcoin sedang menguji zona support penting di US$104.000. Volume perdagangan yang cenderung rendah, ADX yang berada di angka 16 (menunjukkan lemahnya arah tren), serta RSI netral di angka 45 menandakan bahwa pasar masih mencari katalis untuk menentukan arah pergerakan selanjutnya,” jelasnya.
Namun, dari perspektif jangka panjang, struktur teknikal BTC masih menunjukkan potensi positif. Fyqieh menyoroti bahwa pola golden cross antara EMA 50 dan EMA 200 hari masih terjaga sebuah sinyal kuat yang sering dikaitkan dengan potensi kenaikan harga lebih lanjut.
Jika The Fed memberikan sinyal dovish dalam pertemuan FOMC selanjutnya pada bulan Juli, ada kemungkinan besar harga Bitcoin menembus kembali ke zona resistance US$110.000, bahkan menuju US$112.000.
Jejak Historis: Bitcoin Lebih Tangguh Saat Konflik Berkecamuk
Salah satu narasi yang terus menguat adalah bahwa meskipun Bitcoin sering kali digolongkan sebagai aset berisiko tinggi, sejarah menunjukkan bahwa performa BTC cenderung tangguh di tengah konflik bersenjata.
Dalam satu dekade terakhir, mulai dari invasi Rusia ke Ukraina, konflik Israel-Gaza, hingga eskalasi terbaru antara Israel dan Iran, Bitcoin mampu bertahan dan bahkan menguat dalam jangka panjang.
Peristiwa terbaru pada 13 Juni 2025, ketika Israel meluncurkan serangan rudal ke Iran, sempat menyebabkan tekanan jual sesaat. Namun, hanya dalam beberapa hari, pasar kembali pulih. Bahkan perusahaan besar seperti MicroStrategy yang dipimpin oleh Michael Saylor, kembali melakukan akumulasi besar-besaran dengan membeli 10.001 BTC senilai US$1 miliar pada 16 Juni.
“Konflik geopolitik umumnya meningkatkan tekanan inflasi global akibat gangguan rantai pasok dan lonjakan harga energi. Dalam konteks ini, Bitcoin justru mendapat sentimen positif sebagai aset lindung nilai,” tambah Fyqieh.
Namun demikian, BTC tetap sensitif terhadap reaksi pasar pada tahap awal konflik, terutama dalam bentuk volatilitas jangka pendek yang sering kali dipicu oleh aksi jual spekulatif. Dampak harga juga lebih besar ketika konflik melibatkan negara dengan keterhubungan kuat terhadap pasar keuangan global.