Apa yang diperoleh calon jemaah haji Indonesia saat mendapatkan bimbingan manasik haji di tanah air? Sudahkan calon jemaah mendapatkan asupan yang cukup dari para pembimbing, baik dari KUA maupun KBIH? Ayuk kita bedah bersama agar kita mampu mengurai permasalahan haji secara tersistem, “one by one”.
Bimbingan manasik haji sering kali identik dengan urusan ritual ibadah, tata cara mengenakan ihram, gerakan thawaf yang benar, cara melaksanakan sai dari Safa ke Marwah, hingga bagaimana melempar jumrah dengan jumlah kerikil yang sesuai. Semua itu tentu penting dan tidak boleh diabaikan. Namun, jika kita jujur melihat kenyataan di lapangan, maka kita akan menyadari bahwa ibadah hanyalah satu bagian dari sekian banyak tantangan haji. Ibadah memang inti, tapi bukan satu-satunya bekal yang dibutuhkan jemaah.
Ibadah haji berlangsung dalam lingkungan yang sangat kompleks, cuaca ekstrem yang bisa mencapai 45 derajat Celsius, wilayah padat yang penuh dengan manusia dari berbagai negara, suasana yang bising dan melelahkan, serta medan yang tidak familiar. Semua itu membutuhkan kemampuan navigasi, penyesuaian budaya, serta ketahanan fisik dan mental.
Jika dalam bimbingan manasik tidak ada bekal yang memadai terkait hal-hal non-ibadah, maka jemaah sangat mungkin mengalami kesulitan. Apalagi jika mereka adalah orang tua yang belum pernah ke luar negeri, tidak terbiasa menggunakan teknologi, dan hanya menggantungkan diri pada pembimbing KBIH.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah selama ini para pembimbing haji di tanah air sudah menyampaikan materi non-ibadah dengan baik? Apakah calon jemaah sudah benar-benar dibekali dengan informasi dan keterampilan dasar untuk menghindari atau menyelesaikan masalah di lapangan? Pertanyaan krusial yang kurang mendapat atensi dan penyelesaian secara mendasar.
Nyatanya, banyak jemaah yang tidak mengenal dengan baik lokasi-lokasi strategis seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, tempat miqat, tenda di Mina, jalur ke Jamarat, atau bahkan hotel tempat mereka menginap. Sebagian besar hanya tahu nama hotelnya tanpa tahu jalan kembali ke sana. Ini tentu berbahaya, apalagi di tengah kerumunan jutaan manusia.
Salah satu langkah penting yang bisa diambil adalah memperkenalkan lokasi-lokasi utama sejak masa manasik. Jemaah perlu diberi pemahaman sederhana namun jelas mengenai arah, tanda-tanda visual, dan kebiasaan rute. Selain itu, penyediaan peta, baik fisik maupun digital, harus dilakukan secara sistematis.
Calon haji juga perlu diajarkan bagaimana menggunakan ponsel pintar, membaca Google Maps, atau membuka aplikasi Haji Pintar dari Kemenag. Langkah-langkah sederhana seperti ini bisa menjadi penyelamat ketika jemaah terpisah dari rombongan.
Tak kalah penting, manasik juga perlu mencakup pelatihan untuk menghadapi situasi darurat. Misalnya, jika tersesat saat thawaf, bagaimana cara meminta tolong? Apa kalimat kunci yang bisa digunakan dalam bahasa Arab? Ke mana harus mencari petugas Indonesia?
Semua itu bisa disimulasikan sejak di tanah air, sehingga saat benar-benar terjadi, jemaah tidak panik. Mentalitas “problem solving” harus dibentuk jauh sebelum berangkat. Selain itu, para jemaah juga perlu dibekali dengan pemahaman tentang kultur dan kebiasaan masyarakat Arab, serta aturan yang berlaku di Saudi Arabia. Jangan sampai karena ketidaktahuan, mereka melanggar aturan dan berurusan dengan aparat keamanan setempat. Misalnya, larangan memotret di area tertentu, aturan antri, atau cara berinteraksi dengan petugas lokal yang cenderung “to the point” dan formal.
Sayangnya, masih banyak bimbingan haji yang bersifat satu arah dan doktrinal. Bahkan dalam beberapa kasus, para pembimbing terlalu mendominasi jemaah dan menciptakan ketergantungan yang tinggi. Jemaah diajarkan untuk selalu mengikuti arahan KBIH tanpa diberi ruang untuk memahami, apalagi mengambil keputusan sendiri.
Akibatnya, banyak dari mereka yang pasif dan bingung ketika harus menghadapi masalah mandiri. Dalam hal ibadah pun demikian, seperti pembayaran dam atau pelaksanaan umrah sunnah, jemaah sering kali tidak diberi pilihan yang jelas. Bahkan dalam musim haji 2025 ini, beredar isu tentang pungutan liar dalam “safari wukuf” yang dilakukan oleh oknum pembimbing. Ini bukan hanya menyedihkan, tapi juga mencoreng nama baik penyelenggaraan haji Indonesia.
Praktik-praktik yang memanfaatkan ketidaktahuan jemaah seperti itu harus dihentikan. Semua pihak, mulai dari petugas haji, pengurus KBIH, hingga jemaah sendiri, harus menyadari bahwa niat ibadah tidak boleh dicederai oleh motif ekonomi, apalagi manipulatif. Maka integritas dan transparansi dalam proses pembimbingan menjadi hal yang mutlak. Kita tidak butuh jemaah yang bergantung secara buta, tetapi jemaah yang mandiri, dewasa, dan siap menghadapi realitas lapangan.
Ke depan, bimbingan manasik haji perlu ditata ulang menjadi pelatihan yang komprehensif dan terukur. Materinya tidak hanya menyangkut fikih ibadah, tetapi juga manajemen diri, navigasi lokasi, literasi digital, dan pelatihan budaya. Metodenya pun perlu lebih aktif, tidak cukup ceramah satu arah, tetapi simulasi, praktik lapangan, dan skenario darurat. Semua itu harus dilakukan agar jemaah tidak sekadar tahu tata cara melontar jumrah, tetapi juga tahu bagaimana kembali ke tenda dengan selamat.
Karena sejatinya, haji bukan hanya soal ibadah. Haji adalah pelajaran hidup yang keras dan menyeluruh. Ia mengajarkan kita untuk bersabar dalam antrian, bijak dalam mengambil keputusan, tangguh dalam kondisi ekstrem, serta memahami perbedaan budaya dan bahasa.
Saatnya, bimbingan manasik tidak boleh direduksi menjadi pengajian seputar rukun, wajib, dan sunnah. Ia harus menjadi ruang pembelajaran yang utuh, agar jemaah siap menjalani perjalanan suci ini bukan hanya sebagai ritual, tapi juga sebagai madrasah kehidupan yang mendewasakan dan mematangkan diri mereka secara lahir dan batin.
Bukankah nabi Ibrahim as, Siti Hajar, dan Ismail telah mengajarkan ibadah haji bukan dengan cara-cara yang enak dan nyaman? Kita bisa membayangkan bagaimana mereka membangun Ka’bah, bagaiamana mereka sai dengan kondisi bukit bebatuan, bagimana mereka wukuf di Arafah tanpa tenda ber-AC, ke Muzdalifah dan Mina tanpa bis ber-AC dan lokasi yang jauh untuk melontar? Sekali lagi, haji bukan hanya soal ritual batin, tapi ujian kesabaran, kepasrahan, ketundukan, dan kemampuan fisik secara prima! Wallahu a’lam. []