Momen ketika Cristiano Ronaldo terkapar di Stadion Da Luz bukan hanya kesedihan seorang pemuda berusia 19 tahun, tetapi juga awal dari legenda yang menaklukkan seluruh Eropa.
Pada 4 Juli 2004, Stadion Da Luz di Lisbon seakan meledak. Portugal, dengan “generasi emas” berbakatnya – Luis Figo, Rui Costa, Deco – memasuki final EURO di kandang mereka sendiri dengan keyakinan kuat akan gelar juara pertama mereka dalam sejarah.
Namun sepak bola memang selalu kejam. Yunani, tim yang tidak terlalu diunggulkan, menciptakan kejutan bersejarah dengan strategi pertahanan yang tangguh dan satu-satunya gol Angelos Charisteas.
Saat peluit akhir dibunyikan, gambaran seorang pemuda yang menangis memasuki ingatan jutaan penggemar – Cristiano Ronaldo yang berusia 19 tahun, merasakan sakitnya kekalahan untuk pertama kalinya.
Dari Keterkejutan Lisbon hingga Keinginan untuk Menang
Ronaldo baru saja menyelesaikan musim pertamanya di Manchester United. Pelatih Luiz Felipe Scolari melihatnya sebagai pertaruhan yang berani, tetapi pemuda itu dengan cepat membuktikan bahwa ia adalah pilihan yang tepat.
Ronaldo mencetak gol di laga pembuka – Portugal kalah 2-1 dari Yunani – dan terus bersinar di semifinal melawan Belanda dengan sundulan yang luar biasa. Figo, sang senior yang hebat, memandang Ronaldo sebagai sosok “penerus”, dan selalu mendorongnya untuk menunjukkan bakatnya dengan percaya diri.
Namun, di final, semua upaya Portugal sia-sia. Mereka memiliki teknik yang luar biasa, pemain muda, dan semangat yang membara, tetapi gagal menembus pertahanan Yunani yang disiplin.
Saat pertandingan berakhir, Ronaldo menangis tersedu-sedu. Itu bukan sekadar air mata seorang pemain muda, melainkan kepedihan seluruh bangsa yang haus akan kejayaan.
Perbedaan terbesar dalam diri Ronaldo adalah sikapnya terhadap kegagalan. Ia tidak membiarkan dirinya jatuh. Rasa sakit di Lisbon tahun itu menjadi kekuatan pendorong yang membentuk pribadi yang tangguh, yang selalu terobsesi dengan kemenangan. Euro 2004 adalah awal dari perjalanan membangun legenda sepak bola.
Dua belas tahun kemudian, ketika EURO 2016 berlangsung, Ronaldo bukan lagi bocah lelaki yang dulu. Ia melangkah ke lapangan sebagai kapten, simbol nomor satu sepak bola Portugal. Dan sejarah pun tersenyum pada Ronaldo.
Kali ini, Portugal mengalahkan tuan rumah Prancis dengan tendangan jarak jauh gemilang Eder di final. Ronaldo meneteskan air mata, tetapi itu adalah air mata kemenangan – meskipun ia harus meninggalkan lapangan di babak pertama karena cedera.
Tonggak-tonggak Kedewasaan
Menengok kembali EURO 2004, perjalanan Ronaldo bagaikan simfoni yang penuh emosi. Dalam pertandingan pembuka melawan Yunani (1-2), ia masuk dari bangku cadangan dan mencetak gol pertamanya untuk tim nasional—meskipun itu hanya gol kehormatan. Dalam kemenangan atas Rusia (2-0), Ronaldo masuk lapangan pada menit ke-78, menunjukkan antusiasme dan semangatnya.
Dalam pertandingan krusial melawan Spanyol (1-0), di laga perdananya sebagai starter, Ronaldo meninggalkan jejak di sektor sayap dengan sprint-nya yang berani. Di perempat final melawan Inggris (2-2, menang adu penalti 6-5), ia berhasil mengeksekusi penalti, menunjukkan semangat seorang pemain yang tak kenal takut.
Di semifinal melawan Belanda (2-1), Ronaldo membuka skor dengan sundulan keras. Di final melawan Yunani (0-1), meskipun bermain penuh 90 menit, Cristiano tak berdaya melawan “tembok” Yunani dan berakhir dengan air mata.
Saat-saat itu dengan jelas menggambarkan Ronaldo yang masih muda tetapi penuh gairah – rambut disisir ke belakang, tubuh yang tidak sempurna, tetapi matanya selalu menyala dengan keyakinan.
Lebih dari dua dekade kemudian, sosok bocah bernomor punggung 17 yang menangis di lapangan Da Luz tetap menjadi ikon. Ini menjadi pengingat bahwa setiap kejayaan ditempa dari kekalahan pahit. Tanpa rasa sakit tahun 2004, tak akan ada CR7 dengan lima Ballon d’Or, serangkaian rekor gol, dan status ikon global.
Air mata itu bukan sekadar kesedihan, melainkan titik awal dari sebuah perjalanan yang luar biasa. Ronaldo mengubah kegagalan menjadi motivasi, air mata menjadi bahan bakar untuk mencapai puncak. Ia tak hanya menang untuk dirinya sendiri, tetapi juga membawa sepak bola Portugal ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya – membuktikan bahwa kegagalan hari ini dapat menjadi fondasi bagi kejayaan di masa mendatang.