Dunia literasi dan teknologi kembali bersinggungan dalam sebuah gugatan hukum yang menggemparkan. Dua penulis ternama, Grady Hendrix dan Jennifer Roberson, resmi mengajukan tuntutan terhadap Apple atas dugaan pelanggaran hak cipta. Mereka menuduh raksasa teknologi tersebut telah menggunakan karya-karya mereka secara ilegal untuk melatih model kecerdasan buatan tanpa izin atau kompensasi.
Dikutip dari Engadget, Selasa (9/9/2025), gugatan ini menjadi sorotan karena menyentuh isu krusial: bagaimana industri AI generatif memanfaatkan konten kreatif sebagai bahan bakar inovasi, sering kali tanpa persetujuan penciptanya.
Dalam dokumen gugatan yang kini berkembang menjadi class action, Hendrix dan Roberson mengklaim bahwa Applebot web scraper milik Apple telah mengakses “perpustakaan bayangan” yang berisi ribuan buku bajakan berhak cipta.
Di antara kumpulan data tersebut, mereka menemukan karya-karya mereka sendiri yang diduga digunakan untuk melatih sistem AI Apple Intelligence.
Tuduhan ini bukan hanya soal pelanggaran teknis, tetapi juga menyangkut etika dan nilai ekonomi dari karya sastra yang selama ini menjadi tulang punggung industri penerbitan.
Kedua penulis tersebut menegaskan bahwa Apple, sebagai perusahaan teknologi dengan valuasi triliunan dolar, tidak pernah berusaha memberikan kompensasi atas kontribusi intelektual mereka.
Dalam gugatan, mereka menyebut bahwa Apple telah menyalin karya berhak cipta untuk membangun model AI yang kini bersaing langsung dengan pasar buku.
Ironisnya, teknologi yang dilatih dari karya mereka justru berpotensi menggerus nilai komersial dari buku-buku itu sendiri.
“Perilaku ini telah merampas kendali kami atas karya kami, merusak nilai ekonomi dari pekerjaan kami, dan memposisikan Apple untuk meraih kesuksesan komersial melalui cara yang melanggar hukum,” tulis mereka dalam pernyataan resmi.
Kasus ini bukanlah yang pertama dalam gelombang gugatan terhadap perusahaan AI generatif. OpenAI, pengembang ChatGPT, saat ini tengah menghadapi tuntutan dari berbagai pihak, termasuk The New York Times dan organisasi media nirlaba tertua di Amerika Serikat.
Gugatan-gugatan tersebut menyoroti praktik pengambilan data tanpa izin dari sumber jurnalistik dan sastra, yang digunakan untuk melatih model bahasa besar.
Di sisi lain, Anthropic perusahaan di balik chatbot Claude baru-baru ini menyetujui penyelesaian senilai $1,5 miliar dalam kasus serupa. Dalam gugatan tersebut, sekitar 500.000 penulis dilaporkan akan menerima kompensasi sebesar $3.000 per karya yang digunakan tanpa izin.
Fenomena ini menandai titik kritis dalam hubungan antara teknologi dan hak kekayaan intelektual. Di satu sisi, AI generatif menjanjikan efisiensi dan inovasi luar biasa. Namun di sisi lain, ia mengandalkan data yang sering kali berasal dari karya manusia yang dilindungi hukum.
Ketika perusahaan teknologi besar mulai membangun sistem cerdas dari konten yang tidak mereka ciptakan, pertanyaan tentang keadilan, transparansi, dan tanggung jawab hukum menjadi semakin mendesak.
Gugatan terhadap Apple ini bisa menjadi preseden penting dalam menentukan batas etis dan legal penggunaan data kreatif untuk pelatihan AI. Jika para penulis berhasil membuktikan bahwa karya mereka digunakan tanpa izin, maka industri AI mungkin akan menghadapi gelombang regulasi baru yang menuntut transparansi dan kompensasi yang adil.
Di tengah euforia teknologi, suara para kreator kini mulai menggema, menuntut pengakuan dan perlindungan atas hak mereka di era digital yang semakin kompleks.