Sudirman A. Lamadike (Analis SDM Aparatur pada BMBPSDM)
Beberapa hari ini para pengelola kepegawaian yang diberi kewenangan untuk menginput usul Pencantuman Gelar Akademik (PGA) Aparatur Sipil Negara pada Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara (SIASN) yang telah menyelesaikan studi, dikejutkan dengan adanya pengumuman bahwa mulai 1 Juli 2025 setiap usulan Pencantuman Gelar Akademik yang masuk ke BKN tidak akan ada produk (SK) yang dikeluarkan oleh BKN. Menu input usul PGA pada SIASN hanya mewajibkan Ijazah dan Transkip Nilai. Sementara dokumen berupa SK Tugas Belajar/Izin Belajar dan Akreditasi Program Studi telah ditiadakan.
Kebijakan Badan Kepegawaian Negara (BKN) ini tentu disambut antusias sebagian ASN karena dianggap menyederhanakan birokrasi. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan, apakah kebijakan ini mencederai regulasi teknis yang telah berlaku di masing-masing instansi, termasuk Kementerian Agama? Jawabannya tentu tidaklah sederhana, karena memerlukan analisis dari perspektif hukum administrasi, manajemen ASN, dan kepentingan setiap organisasi.
Di lingkungan Kementerian Agama, proses Pencantuman Gelar Akademik (PGA) Aparatur Sipil Negara telah diatur secara ketat melalui Surat Keputusan Sekretaris Jenderal (SKJ) Kementerian Agama Nomor 40 Tahun 2024, dimana SK Tugas Belajar merupakan salah satu persyaratan wajib dalam proses usul Pencantuman Gelar Akademik.
Pemberian SK Tugas Belajar bagi ASN Kementerian Agama bukan sekedar formalitas saja melainkan memiliki tujuan mulia sebagaimana tujuan pemberian tugas belajar dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 402 Tahun 2022. Tujuan tersebut adalah memenuhi Kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki kompetensi tertentu, dalam pelaksanaan tugas dan fungsi serta pengembangan organisasi, meningkatkan kompetensi PNS sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pengembangan karir seorang PNS dan untuk mengurangi kesenjangan antara kompetensi PNS yang akan mengisi jabatan dengan standar kompetensi jabatan.
Menjadikan SK Tugas Belajar sebagai persyaratan wajib dalam hal ini bisa berfungsi sebagai alat kontrol awal untuk memastikan bahwa pendidikan yang ditempuh setiap ASN itu relevan, legal, dan bermanfaat bagi organisasi. Hal ini penting agar pengembangan kompetensi berlangsung secara teratur dan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Tanpa kontrol ini, ada risiko ASN menempuh pendidikan di lembaga yang tidak kredibel atau mengambil jurusan yang tidak relevan, serta penyalahgunaan gelar untuk kepentingan pribadi.
Jika Pencantuman Gelar Akademik ASN dapat disetujui oleh BKN tanpa persyaratan SK Tugas Belajar atau SK Izin Belajar, maka akan muncul ketidakadilan dan konflik internal ASN. Sebab, ASN yang mengikuti prosedur dengan benar akan sangat merasa dirugikan, sementara yang memilih jalan pintas seperti kuliah jarak jauh tanpa izin, akreditasi tidak sesuai dan lainnya, justru mendapatkan kemudahan.
Hal Ini juga akan berpotensi memicu kecurigaan dan saling lapor mengenai ijazah palsu atau tidak sesuai prosedur dikemudian hari pada saat persaingan antar ASN misalnya pada saat promosi atau seleksi jabatan.
Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang menghubungkan kebijakan mempermudah PGA ASN oleh BKN dengan kebutuhan kontrol mutu setiap instansi. Penyederhanaan proses memang penting, tetapi tanpa mekanisme kontrol yang memadai, hal ini dapat merusak sistem merit ASN yang telah dibangun setiap instansi.
Dengan demikian kebijakan Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengenai kemudahan Pencantuman Gelar Akademik ASN memang tidak, tetapi berpotensi, mencederai regulasi teknis internal setiap instansi, jika tidak disinkronkan. Jadi BKN perlu membuka ruang dialog dan penyesuaian, agar setiap instansi tetap memiliki otoritas dalam mengelola pengembangan kompetensi ASN sesuai konteksnya masing-masing. Tanpa langkah ini, penyederhanaan tersebut berisiko menjadi masalah baru dalam tata kelola ASN di masa depan.
Sudirman A. Lamadike (Analis SDM Aparatur pada BMBPSDM)