Jejak Warisan yang Terancam
Sebagai mantan Direktur KSKK Madrasah Kementerian Agama Republik Indonesia (2017-2021), saya merasakan kebahagiaan tersendiri melihat capaian luar biasa madrasah Indonesia saat ini. Beberapa hari ini, media nasional ramai memberitakan kebanggaan atas prestasi madrasah yang kian diakui di level nasional dan global.
Dua Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) resmi ditetapkan sebagai Model Sekolah Garuda, sebuah pengakuan prestisius dari pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) RI terhadap kualitas pendidikan madrasah di tingkat internasional. Seperti diberitakan Medcom.id (23 Mei 2025), madrasah-madrasah ini dinilai mampu memenuhi standar mutu pendidikan global tanpa kehilangan identitas keislaman dan nilai kebangsaan. Bahkan, MAN IC tengah bersiap menjadi sekolah bertaraf internasional dengan sistem dobel ijazah, yaitu lulusan akan memperoleh ijazah nasional sekaligus ijazah internasional. Hal ini sebagaimana dilaporkan detikEdu (22 Mei 2025), yang menempatkan MAN IC sebagai madrasah berkelas dunia pertama yang diakui dalam sistem pendidikan nasional. Prestasi ini menegaskan bahwa lembaga pendidikan Islam mampu bersaing, bahkan memimpin di panggung pendidikan global.
Namun, di balik pengakuan yang membanggakan itu, tersimpan ironi yang nyaris tak terdengar. Di tengah keberhasilan madrasah memahatkan namanya di kancah nasional dan internasional, Draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) justru menyisakan ruang kabur bagi eksistensi madrasah. Draft regulasi tersebut tidak secara tegas menyebutkan madrasah sebagai satuan pendidikan umum berciri khas Islam, melainkan sekadar melekatkannya dalam kategori pendidikan keagamaan. Jika dibiarkan, posisi madrasah sebagai institusi pendidikan formal berpotensi terpinggirkan secara legal-formal. Ini bukan sekadar soal nomenklatur administratif, tetapi menyangkut keberlanjutan warisan sejarah pendidikan Islam di Nusantara yang selama ini menjadi tulang punggung peradaban bangsa.
Sejak era Walisongo, madrasah telah menjadi rumah pengetahuan yang menyinergikan ilmu agama dan kehidupan. Dari sanalah lahir ulama-ulama Nusantara yang berpijak pada kearifan lokal sekaligus berpandangan global. Madrasah bukan sekadar institusi pendidikan keagamaan, tetapi juga benteng moral, pusat peradaban, dan laboratorium sosial yang membentuk karakter bangsa. Karena itu, keberadaan madrasah seharusnya tidak diposisikan dalam area abu-abu regulasi. Dalam konteks itulah, ancaman dalam draf RUU Sisdiknas 2022 harus dibaca sebagai tantangan serius: bagaimana warisan leluhur ini akan bertahan jika status hukumnya tidak diakui secara eksplisit di dalam sistem pendidikan nasional?
1. Madrasah sebagai Living Legacy Pendidikan Bangsa
Sebagai dosen Manajemen Pendidikan Islam, saya mencatat setidaknya tiga kontribusi penting yang telah ditorehkan madrasah bagi pendidikan dan peradaban bangsa ini. Pertama, madrasah menjadi pelopor integrasi Islam dan sains-teknologi dalam dunia pendidikan formal. Di saat dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum masih menjadi perdebatan di sebagian ruang akademik, madrasah justru telah lama mempraktikkan model pendidikan terpadu yang melahirkan generasi religius sekaligus kompetitif di berbagai bidang. Praktik integrasi ini tidak hanya tampak dalam struktur kurikulum, tetapi juga melalui pelaksanaan program seperti Kompetisi Sains Madrasah (KSM) yang rutin digelar setiap tahun oleh Kementerian Agama. Dalam kompetisi ini, peserta didik madrasah ditantang menyelesaikan soal-soal sains dan matematika berbasis konteks nilai-nilai keislaman. Hal ini sejalan dengan temuan saya dalam penelitian berjudul Transformation of Madrasah Management: Strategy to Increase Public Trust in State Elementary Madrasah 1 Grobogan (Asian Institute of Research, 2023), yang menunjukkan bahwa penerapan integrasi Islam dan sains-teknologi menjadi salah satu strategi utama dalam meningkatkan kepercayaan publik terhadap madrasah.
Kedua, madrasah berperan strategis sebagai benteng moderasi beragama sekaligus pusat penguatan pendidikan akhlak dan karakter kebangsaan. Di tengah meningkatnya arus radikalisme dan intoleransi di berbagai lini kehidupan, madrasah tetap konsisten menanamkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin — Islam yang cinta damai, penuh kasih, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi harmoni sosial. Materi moderasi beragama, tafsir kontekstual, serta pendidikan karakter keindonesiaan yang mencintai tanah air dan menjunjung nilai kemanusiaan telah terintegrasi dalam kurikulum, pembiasaan harian, hingga kegiatan ekstrakurikuler madrasah. Nilai-nilai inilah yang menjaga keseimbangan spiritual dan nasionalisme di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, sekaligus membuktikan bahwa madrasah tidak sekadar mendidik siswa cerdas, tetapi membentuk generasi bermoral.
Ketiga, madrasah tidak hanya menjalankan fungsi pemerataan akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat marginal, tetapi juga berhasil membuktikan diri sebagai simbol keunggulan pendidikan di Indonesia. Data dari Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) secara konsisten menempatkan MAN Insan Cendekia Serpong sebagai sekolah dan madrasah terbaik di Indonesia (baca: kompas.com, 12 Pebruari 2025). Selain itu, MAN 2 Kota Malang tercatat meraih prestasi nasional luar biasa dengan perolehan medali terbanyak dalam ajang Olimpiade Sains Nasional (OSN) yang diselenggarakan oleh Kemendikbudristek. Capaian ini menunjukkan bahwa madrasah mampu bersaing dengan sekolah-sekolah unggulan lainnya, bahkan menyalip posisi mereka dalam berbagai kompetisi akademik di level nasional dan internasional. (baca: .detik.com-jatim, 20 september 2024)
Namun, ketiga capaian monumental ini bisa runtuh begitu saja jika Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) tidak secara tegas mengakui madrasah sebagai satuan pendidikan formal berbasis keagamaan. Tanpa landasan hukum yang jelas dan kuat, madrasah berisiko kehilangan akses terhadap kebijakan nasional, pendanaan pendidikan, serta pengakuan legal yang selama ini menjadi fondasi keberlangsungan dan pengembangannya. Oleh karena itu, penting bagi para pemangku kebijakan untuk membaca ulang naskah RUU ini dengan perspektif historis dan sosiologis tentang peran vital madrasah dalam sejarah dan masa depan bangsa.
2. Titik Kritis RUU Sisdiknas 2022
Di tengah berbagai capaian prestisius madrasah dalam kancah pendidikan nasional, lahirnya Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) 2022 justru menyisakan sejumlah catatan serius yang berpotensi melemahkan posisi madrasah sebagai bagian penting dalam sistem pendidikan nasional. Draf regulasi ini tidak hanya minim afirmasi terhadap eksistensi madrasah, tetapi juga menyimpan beberapa pasal yang kabur dan berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan di kemudian hari. Berdasarkan kajian terhadap naskah akademik, draft RUU, dan hasil perbandingan dengan UU No. 20 Tahun 2003, terdapat beberapa titik kritis yang patut mendapat perhatian dari akademisi, pengelola madrasah, dan pemangku kebijakan. Poin-poin berikut ini merangkum sejumlah problem mendasar yang berpotensi melemahkan eksistensi madrasah jika tidak segera dikoreksi.
Pertama, status hukum madrasah yang kabur. Dalam UU No. 20 Tahun 2003, madrasah secara eksplisit disebut dalam Pasal 17, 18, dan 30 sebagai satuan pendidikan formal berbasis keagamaan. Sebaliknya, dalam RUU terbaru istilah madrasah justru tidak lagi muncul dalam pasal-pasal tentang jalur, jenjang, maupun jenis pendidikan. Madrasah hanya disebut samar dalam frasa “pendidikan keagamaan” tanpa definisi dan status hukum yang jelas. Kondisi ini sangat berisiko terhadap keberlangsungan posisi legal-formal madrasah.
Kedua, ancaman lahirnya dikotomi baru. Pemisahan antara jalur pendidikan formal dan keagamaan yang tersirat dalam RUU ini berpotensi menempatkan madrasah dalam posisi subordinat. Padahal realitasnya, madrasah adalah sekolah umum plus pendidikan agama. Dikotomi ini berbahaya karena akan menghapus karakter integratif pendidikan madrasah yang selama ini menggabungkan ilmu agama dan sains-teknologi secara seimbang.
Ketiga, ketidakjelasan pengaturan kurikulum. Dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003, madrasah diatur secara khusus untuk menerapkan kurikulum nasional dan keagamaan secara terpadu (Pasal 38 dan 41). Sementara di RUU, kurikulum disebut bersifat integratif, tetapi tidak secara eksplisit mengatur kekhasan kurikulum madrasah yang memuat nilai-nilai Islam secara menyeluruh. Padahal ini menjadi ruh utama pendidikan madrasah yang membedakannya dengan sekolah umum.
Keempat, problem Standar Nasional Pendidikan (SNP). Jika dalam UU 20/2003, SNP berlaku bagi semua satuan pendidikan formal termasuk madrasah (Pasal 35), dalam RUU 2022 standar nasional disebut lebih fleksibel dan disesuaikan dengan konteks daerah, tanpa ketegasan tentang jaminan standar khusus bagi pendidikan keagamaan seperti madrasah. Akibatnya, kualitas pendidikan madrasah bisa tidak terstandarkan secara nasional.
Kelima, ketidakjelasan alokasi anggaran. UU sebelumnya memastikan madrasah negeri menerima APBN dan madrasah swasta memperoleh bantuan operasional (Pasal 46, 49). RUU terbaru hanya menyebut anggaran pendidikan secara global tanpa frasa khusus madrasah. Ini berpotensi membuat madrasah, khususnya swasta di daerah 3T, kehilangan akses anggaran pendidikan formal dari negara.
Keenam, minimnya pengakuan peran strategis dan partisipasi madrasah dalam kebijakan pendidikan nasional. RUU memang berbicara soal keadilan dan kesetaraan pendidikan, tetapi tidak menyebut madrasah sebagai bagian aktor strategis dalam membangun karakter bangsa. Selain itu, tidak ada ketentuan khusus tentang pelibatan madrasah dalam penyusunan kebijakan kurikulum maupun pendidikan nasional, padahal peran mereka krusial dalam membangun moderasi beragama, pendidikan karakter, dan SDM unggul berbasis nilai-nilai keislaman.
Dengan demikian, posisi madrasah dalam RUU Sisdiknas 2022 ini masih rawan terpinggirkan baik secara hukum, anggaran, maupun dalam peta kebijakan nasional. Maka dari itu, usulan pasal-pasal penguatan posisi madrasah yang telah disusun — mulai dari status hukum, kurikulum, anggaran, SNP, hingga partisipasi dalam kebijakan — menjadi penting untuk diperjuangkan agar madrasah tetap kokoh sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional Indonesia.
3. Jalan Keluar: Rekomendasi Kebijakan
Sebagai pribadi yang lahir dan besar dari lingkungan madrasah, serta menempuh pendidikan di madrasah mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), hingga pendidikan tinggi dari S-1, S-2, hingga S-3 di IAIN/UIN, saya memahami betul denyut nadi lembaga ini dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia. Madrasah bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi rumah pengabdian, benteng moral, dan taman ilmu yang telah melahirkan generasi berakhlak sekaligus cerdas. Maka, di tengah ancaman regulasi yang dapat mengaburkan posisi madrasah dalam sistem pendidikan nasional, sudah menjadi tanggung jawab moral dan akademik kita untuk menyuarakan jalan keluar yang adil, setara, dan berkeadilan bagi madrasah. Rekomendasi kebijakan berikut saya ajukan sebagai bentuk ikhtiar bersama menjaga marwah dan eksistensi madrasah di tanah air tercinta.
Pertama, pentingnya pasal eksplisit tentang madrasah. RUU Sisdiknas harus secara tegas mencantumkan bahwa madrasah adalah satuan pendidikan formal berciri khas agama Islam yang setara dengan sekolah. Madrasah harus diakui menyelenggarakan pendidikan umum dan keagamaan secara terpadu, dengan kedudukan setara dalam sistem pendidikan nasional serta berhak memperoleh anggaran, fasilitas, dan layanan pendidikan secara adil dan proporsional. Rumusan pasal ini dapat menghapus dikotomi lama yang memposisikan madrasah di pinggiran sistem pendidikan.
Kedua, sinergi kelembagaan antara Kemendikbudristek dan Kementerian Agama. Sinergi ini sangat penting untuk memastikan harmonisasi pengelolaan pendidikan nasional, khususnya dalam hal penyusunan standar kurikulum madrasah, termasuk integrasi nilai-nilai Pancasila, agama, budaya bangsa, dan penguatan karakter keislaman. Selain itu, alokasi anggaran pendidikan harus diatur secara proporsional, baik untuk sekolah maupun madrasah, melalui mekanisme APBN dan APBD dengan pelibatan aktif Kementerian Agama dalam proses perencanaan dan evaluasi anggaran.
Ketiga, perlindungan dan afirmasi anggaran bagi madrasah swasta. RUU Sisdiknas perlu menjamin keberlanjutan bantuan operasional dan pembiayaan pendidikan bagi madrasah swasta, khususnya yang beroperasi di daerah 3T dan melayani masyarakat miskin. Ketentuan teknis alokasi anggaran tersebut sebaiknya diatur dalam peraturan pemerintah dengan prinsip keadilan, proporsionalitas, dan partisipasi madrasah sebagai subjek aktif dalam perencanaan pendidikan nasional.
Keempat, penguatan Standar Nasional Pendidikan (SNP) bagi madrasah. RUU sebaiknya menegaskan bahwa SNP berlaku secara adil bagi seluruh satuan pendidikan formal, dengan tetap memperhatikan kekhasan nilai agama Islam, budaya lokal, dan karakter keindonesiaan yang selama ini menjadi ciri khas pendidikan madrasah. Hal ini penting agar standar mutu pendidikan di madrasah tidak hanya mengikuti model pendidikan Barat, tetapi tetap adaptif terhadap kekayaan budaya dan nilai-nilai lokal bangsa.
Kelima, pelibatan madrasah dalam perumusan kebijakan pendidikan nasional. RUU perlu menjamin partisipasi perwakilan madrasah, baik negeri maupun swasta, dalam proses penyusunan kurikulum nasional, standar pendidikan keagamaan, serta kebijakan strategis pendidikan nasional lainnya. Ini penting agar madrasah tidak hanya menjadi objek regulasi, tetapi juga subjek aktif yang turut menentukan arah dan masa depan pendidikan nasional.
Dengan diakomodasinya rekomendasi-rekomendasi tersebut ke dalam RUU Sisdiknas, maka posisi madrasah sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional akan terjamin secara hukum, adil dalam pembiayaan, dan diakui kontribusinya dalam membangun profil pelajar Indonesia yang religius, berakhlak mulia, berkarakter kebangsaan, dan berkontribusi bagi kemajuan peradaban yang hebat bermatabat.
Kolaborasi untuk Masa Depan
Sejarah telah membuktikan, madrasah adalah warisan intelektual Walisongo yang tetap relevan dan kontributif hingga era digital saat ini. Madrasah bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan pusat penguatan nilai-nilai moral, keislaman, kebangsaan, dan sains yang menyatu dalam tradisi keilmuan Nusantara. Jika RUU Sisdiknas ingin menjadi tonggak sejarah baru yang progresif, maka ia harus mengakomodasi warisan agung ini—bukan justru mengabaikannya.
Kepada Kementerian Agama dan DPR RI, mari bersama-sama memastikan RUU ini lahir sebagai payung hukum yang adil, berkeadilan, dan berpihak pada kepentingan seluruh rakyat, termasuk madrasah. Sebab, melindungi madrasah berarti merawat warisan khazanah pendidikan Nusantara yang unik, moderat, dan bermartabat.
Saya juga mengajak segenap akademisi, praktisi pendidikan madrasah, pimpinan ormas Islam, hingga warga madrasah di seluruh Indonesia untuk terus menggelorakan semangat menuntut keadilan dan kesetaraan bagi madrasah dalam revisi RUU Sisdiknas ini. Jangan sampai kita lengah, karena ketika regulasi disahkan tanpa perlindungan yang layak, bisa jadi sudah terlambat untuk memperjuangkan posisi madrasah ke depannya. Kini saatnya, suara madrasah bersatu demi masa depan pendidikan Indonesia yang berkarakter, berkeadilan, dan berakar kuat pada nilai-nilai luhur bangsa. *****Wallāhu a’lam bish-shawāb. #SisdiknasAdilUntukMadrasahHebatBermartabat#
Dr. A. Umar, MA (Dosen FITK UIN Walisongo Semarang)