Prof. Dr. Ismail Fahmi Arrauf Nasution, MA (Rektor IAIN Langsa dan Anggota Tim Monev Ibadah Haji 2025 Kementerian Agama RI)
Dalam praktik penyelenggaraan ibadah haji, terdapat satu komponen penting yang berkaitan dengan pelaksanaan manasik, yaitu kewajiban membayar dam (denda) bagi jemaah haji tamattu’ atau bagi mereka yang melanggar ketentuan manasik tertentu. DAM adalah bagian dari tata tertib ibadah yang memiliki implikasi hukum fikih sekaligus dimensi sosial ekonomi, sebab hewan yang dikurbankan akan disalurkan kepada fakir miskin di tanah suci.
Namun, dalam pelaksanaannya, masyarakat kerap menemui perbedaan harga DAM yang cukup signifikan antara beberapa lembaga. Contoh terbaru yang menimbulkan pertanyaan adalah perbedaan antara harga DAM versi BAZNAS yang menetapkan sebesar 570 riyal Saudi, dan harga dari program Adhahi (resmi Arab Saudi) yang menetapkan 720 riyal Saudi.
1. Latar Belakang dan Posisi Masing-Masing Lembaga
Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) sebagai lembaga negara yang memiliki otoritas dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat dan sedekah, menyusun harga DAM dengan memperhatikan aspek keterjangkauan dan rasionalitas ekonomi masyarakat Indonesia. Penetapan harga 570 SR biasanya didasarkan pada akumulasi biaya hewan ternak yang diperoleh dari mitra lokal di Arab Saudi, dikombinasikan dengan skema kolektif dan subsidi pengelolaan.
Sementara itu, Adhahi merupakan platform resmi Pemerintah Arab Saudi yang bekerja sama dengan Islamic Development Bank (IsDB). Harga 720 SR mencerminkan harga hewan qurban berdasarkan standar pengadaan dan distribusi yang lebih luas dan internasional, termasuk jaminan kesehatan hewan, pemotongan sesuai syariah, dan distribusi global.
2. Perspektif Fikih: Ukuran Sah dan Cukup
Dalam fikih, dam syar’i pada dasarnya adalah pengganti ibadah fisik atau penyempurna manasik yang tertunda. Ulama sepakat bahwa yang diwajibkan dalam dam tamattu’ atau qiran adalah menyembelih seekor kambing, atau berpuasa tiga hari di tanah suci dan tujuh hari setelah pulang (QS Al-Baqarah: 196).
Adapun ukuran sah seekor kambing dalam dam, dijelaskan para fuqaha, harus memenuhi syarat umur (minimal setahun), sehat fisik, dan layak dikurbankan. Dalam konteks ini, harga menjadi variabel sekunder. Yang utama adalah sahnya hewan menurut kriteria syar’i.
Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, syarat sah seekor kambing untuk dam sama dengan hewan kurban: “La yajuzu fi al-dam illa ma yajuzu fi al-udhiyah” (Tidak sah dam kecuali dengan hewan yang sah untuk kurban).
Dengan demikian, selama hewan yang digunakan oleh BAZNAS sepadan secara syar’i, maka nilainya tetap sah meskipun nominalnya lebih rendah dibandingkan harga Adhahi.
3. Prinsip Keadilan dan Kemaslahatan dalam Penetapan Harga
Dalam maqashid syariah, kemaslahatan jemaah menjadi pertimbangan utama. Tidak semua jemaah memiliki kapasitas ekonomi yang sama. Maka, lembaga seperti BAZNAS hadir untuk menjembatani kebutuhan ibadah dengan ketersediaan sumber daya. Penyesuaian harga DAM menjadi upaya untuk memberikan akses kepada jemaah yang kesulitan ekonomi tanpa mengurangi keabsahan ibadah.
Dalam konteks ini, perbedaan harga antara 570 SR dan 720 SR bukanlah bentuk penyimpangan, tetapi variasi administratif dan kebijakan subsidi yang sah, sebagaimana prinsip ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variasi) dalam kajian ushul fiqh.
Sebagaimana dikemukakan oleh KH. Ma’ruf Amin dalam banyak forum bahtsul masail, “Fikih kita harus adaptif dan responsif terhadap konteks, namun tetap menjaga substansi ibadah. Jangan kaku dalam teknis, tapi jangan longgar dalam prinsip.”
4. Arahan Menteri Agama: Pilihan di Tangan Jemaah
Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, menanggapi polemik perbedaan harga DAM dengan menegaskan bahwa pemerintah tidak menetapkan fatwa khusus mengenai hal ini. Beliau menyatakan bahwa penyembelihan dam diserahkan kepada individu jemaah, dan pilihan berada di tangan mereka.
Dengan demikian, jemaah memiliki kebebasan untuk memilih lembaga penyedia DAM yang sesuai dengan keyakinan dan kemampuan mereka, selama memenuhi syarat sah secara syar’i.
5. Mengedepankan Edukasi dan Transparansi
Kementerian Agama dan seluruh stakeholder penyelenggara haji perlu aktif memberikan edukasi kepada jemaah tentang ragam pilihan DAM yang sah secara syariat. Jemaah harus dijelaskan bahwa keduanya sah, dan pemilihan dapat dilakukan sesuai kemampuan. Transparansi dalam asal usul hewan, lembaga penyedia, dan proses penyembelihan menjadi kunci.
6. Penutup: Jemaah Berhak Memilih Sesuai Kemampuan
Perbedaan harga antara BAZNAS dan Adhahi tidak perlu dipertentangkan, karena keduanya memiliki legitimasi masing-masing dan tetap dalam koridor fikih. Yang penting adalah jaminan bahwa ibadah yang dilakukan sah, dam disalurkan sesuai syariat, dan tidak memberatkan jemaah.
Mengutip pesan KH. Said Aqil Siradj: “Islam itu memudahkan, bukan menyulitkan. Ibadah itu mengangkat beban, bukan menambah tekanan.” Maka, biarlah jemaah memilih jalur yang ia yakini sesuai dan mampu, dengan tetap menjaga semangat ikhlas dan taat dalam menjalankan manasik.
Prof. Dr. Ismail Fahmi Arrauf Nasution, MA (Rektor IAIN Langsa dan Anggota Tim Monev Ibadah Haji 2025 Kementerian Agama RI)