Di era digital yang semakin kompleks, ancaman siber tak lagi hanya menyerang sistem atau perangkat keras.
Kini, serangan juga menyasar sisi paling rentan dari manusia yaitu emosi, kepercayaan, bahkan psikologis individu. Fenomena ini menjadi sorotan serius dalam laporan Lanskap Keamanan Siber 2024 yang dirilis oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Ancaman sosial seperti penipuan online, konten pornografi, judi daring, dan penyebaran disinformasi kini sejajar bahayanya dengan serangan teknis seperti phishing, malware adaptif, dan ransomware.
Bahkan, kemunculan konten deepfake dan penyalahgunaan kecerdasan buatan (AI) oleh aktor jahat memperparah situasi.
Menanggapi hal ini, PT Datacomm Diangraha, perusahaan keamanan siber terkemuka di Indonesia, menyerukan pentingnya adopsi solusi keamanan berbasis Artificial Intelligence atau AI-driven security untuk semua sektor, baik publik maupun swasta.
Ancaman Siber Semakin Adaptif dan Cerdas
Muhammad Haikal Azaim, Cybersecurity Operations and Detection Manager PT Datacomm Diangraha, menjelaskan bahwa karakteristik serangan kini telah berubah drastis.
“Ancaman siber kini berkembang layaknya entitas hidup—belajar, beradaptasi, dan menyerang secara masif dan presisi. AI bahkan digunakan oleh threat actor untuk membuat malware cerdas yang sulit dideteksi,” jelas Haikal.
Jenis-jenis serangan siber yang kini marak antara lain:
- Web Defacement
- Phishing berbasis AI
- Malware Adaptif yang dapat menghindari deteksi antivirus konvensional
- Serangan DDoS yang mampu mengubah pola dalam hitungan detik
- Ransomware Cerdas yang secara otomatis memilih target paling rentan
Lebih dari itu, laporan global dari firma keamanan siber Team8 mengungkapkan bahwa 1 dari 4 CISO (Chief Information Security Officer) telah mengalami serangan siber berbasis AI dalam 12 bulan terakhir.
Namun, angka ini diyakini lebih besar karena banyak ancaman AI yang menyerupai perilaku manusia dan sulit dilacak tanpa metrik lanjutan seperti time-to-exploit dan velocity indicators.
Dimensi Sosial: Social Engineering Tak Kalah Mengancam
Ancaman sosial dalam dunia digital juga meningkat tajam. Serangan yang dikenal dengan istilah social engineering ini memanfaatkan kepercayaan dan emosi manusia untuk masuk ke dalam sistem.
“Disinformasi bahkan disebut sebagai risiko global jangka pendek paling serius menurut World Economic Forum,” ujar Haikal.
Di Indonesia sendiri, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat lebih dari 10 juta konten negatif telah ditangani sepanjang 2024, mayoritas berupa penipuan, judi online, dan pelanggaran hak cipta.
AI Sebagai Pilar Baru Pertahanan Siber
Untuk menjawab tantangan ini, PT Datacomm Diangraha menghadirkan DTrust, solusi keamanan berbasis cloud yang mengintegrasikan AI dalam setiap lapisan pertahanannya. DTrust bukan sekadar alat pelindung, tapi sistem cerdas yang mampu:
- Mendeteksi dan merespons ancaman secara real-time
- Mengidentifikasi pola penipuan digital dan phishing dengan akurasi tinggi
- Melindungi reputasi institusi dari manipulasi sosial
- Mengotomatiskan pemulihan dan isolasi sistem dari ancaman hanya dalam hitungan detik
Tidak hanya menyediakan teknologi, DTrust juga menyediakan program edukasi keamanan digital untuk organisasi guna memperkuat kesadaran individu terhadap ancaman siber berbasis rekayasa sosial.
Dalam menghadapi situasi yang semakin mengkhawatirkan ini, PT Datacomm Diangraha mendorong organisasi di seluruh Indonesia untuk segera mengambil tiga langkah strategis:
- Beralih ke sistem keamanan berbasis AI, bukan hanya sebagai pertahanan tetapi juga sebagai sarana untuk menekan potensi kerugian sebelum terjadi.
- Meningkatkan literasi keamanan digital di semua lapisan organisasi, mulai dari level staf hingga eksekutif.
- Menyusun kebijakan keamanan siber yang menyentuh aspek teknis, sosial, hingga operasional secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Menurut Haikal, keamanan siber tidak lagi bisa dipandang sebagai biaya operasional tambahan, melainkan sebagai investasi strategis dalam membangun kepercayaan publik dan daya saing digital.