Perlombaan untuk merevolusi cara kita menjelajah internet kini memasuki babak baru: browser berbasis kecerdasan buatan (AI). Setelah dominasi Chrome dan Safari selama lebih dari satu dekade, sejumlah perusahaan teknologi kini mencoba menyusup lewat pendekatan yang lebih pintar dan lebih mahal.
Salah satu yang terbaru adalah Comet, browser buatan startup AI populer, Perplexity. Berbasis Chromium, Comet dirancang bukan sekadar untuk browsing, tapi juga untuk berdiskusi dengan pengguna.
Apa yang membuat Comet berbeda? Di luar tampilannya yang familiar seperti browser lain, terdapat sidebar AI yang bisa diajak berinteraksi. Misalnya, pengguna bisa menyorot sebuah paragraf, gambar, atau kata, dan Comet akan langsung menawarkan ringkasan, diskusi, hingga bantuan menyusun itinerary liburan.
Bahkan, menurut Perplexity, semua proses AI dilakukan secara lokal, tanpa mengirim data pengguna untuk pelatihan AI mereka. Ini tentu menjadi nilai jual tersendiri di tengah meningkatnya kekhawatiran soal privasi digital.
Namun, semua kehebatan ini datang dengan harga yang tidak murah karena harus berlangganan $200 per bulan. Sebuah banderol yang membuat Comet terasa lebih seperti produk premium untuk kalangan terbatas, bukan penantang massal Chrome.
Perplexity bukan satu-satunya yang mengincar pasar browser AI. OpenAI juga dilaporkan tengah mempersiapkan browser milik ChatGPT yang sepenuhnya terintegrasi dengan asisten cerdas mereka.
Tak ketinggalan yaitu Opera dengan agen AI “Aria”, Microsoft Edge yang dipersenjatai Copilot, Google Chrome yang terus menambah fitur AI seperti overview pintar dan penjelasan gambar hingga startup seperti The Browser Company yang sedang menggarap konsep “browser operator”.
Tantangan utama bagi browser AI seperti Comet adalah mengubah kebiasaan pengguna. Chrome dan Safari sudah menguasai lebih dari 90% pasar. Menggeser dominasi ini bukan perkara fitur, tapi kenyamanan, integrasi, dan harga.
Melansir ulasan dari TechRadar, AI browser mungkin memiliki potensi besar. Mereka bisa menyederhanakan tugas harian, membuat pengalaman online lebih efisien, dan membuka pintu baru dalam personalisasi internet. Tapi, seperti banyak inovasi lain dalam teknologi, semuanya akan kembali pada adopsi massal.
Apakah ini akan menjadi sistem operasi “Linux-nya” dunia browser? Disukai segelintir pengguna tech-savvy, tapi sulit menembus pasar umum?
Atau justru menjadi masa depan browser yang tak terhindarkan, seperti transisi dari ponsel biasa ke smartphone?