Judul: The Wealth Money Can’t Buy: The 8 Hidden Habits to Live Your Richest Life
Penulis: Robin Sharma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (Indonesia) / Penguin Random House (Internasional)
Tahun Terbit: 2024 (Internasional) / 2025 (edisi Indonesia)
Jumlah Halaman: 448 halaman
Kategori: Pengembangan Diri, Motivasi, Bisnis & Ekonomi
ISBN: 978-0593798515
Robin Sharma adalah penulis, motivator, dan penggugah semangat yang jempolan. Dari pilihan diksi judul buku-bukunya, Sharma adalah penulis yang sedari awal ingin menarik pembacanya ke dalam bukunya seintim-intimnya dan sedalam-dalamnya. Lihat misalnya buku The Monk Who Sold His Ferrari (1996), Who Will Cry When You Die (1999), The 5 AM Club (2018), The Saint The Surfer and The CEO (2002), The Leader Who Had No Tittle (2012), dan buku lainnya langsung akan memantik rasa penasaran untuk membaca isi bukunya.
Tak pelak, Sharma memang pandai memilih judul provokatif untuk bukunya. Dalam terjemahan bebasnya, “Pendeta/biarawan yang menjual Ferrarinya”, “Siapa yang Akan Menangis Saat Engkau Meninggal”, dan “Kekayaan yang Uang tidak Dapat Beli” rasanya sudah cukup membuat rasa penasaran untuk mencari tahu lebih jauh tentang isi bukunya. Pembaca akan langsung penasaran dengan pemaknaannya. Gaya penulisan Robin Sharma secara umum ditandai dengan narasi cerita yang kuat dan pesan motivasi yang mudah dipahami. Ia sering menggunakan perumpamaan dan metafora untuk menjelaskan konsep-konsep kompleks, serta menggabungkan cerita fiksi dengan prinsip-prinsip pengembangan diri. Gaya ini membuat bukunya mudah dijangkau oleh berbagai kalangan pembaca dan memberikan inspirasi untuk perubahan positif dalam kehidupa
Kini ia datang dengan buku baru, The Wealth Money Can’t Buy, The 8 Hidden Habits to Live Your Richest Life (2024). Meski ide buku The Wealth Money Can’t Buy mungkin dalam beberapa hal berisi pengulangan dari buku sebelumnya, Robin Sharma tetap tampil dengan ciri khasnya: menyapa kedalaman jiwa dengan tutur dan cerita yang mengalir kuat. Salah satu quote yang sangat mengena dan membekas kuat dalam buku The 5 AM Club, misalnya, adalah “kesuksesan tidak dapat dikejar, kesuksesan harus diraih”.
Buku ini mengenalkan perspektif bahwa masyarakat modern sering berada dalam jebakan kesuksesan. Dikatakan jebakan karena sesungguhnya, menurut Sharma, kekayaan yang diraih pada dasarnya adalah kekayaan artifisal. Mereka berkecukupan ataupun malah lebih dalam hal kepemilikan finansial, tapi mereka hampa, frustasi, dan penuh penyesalan dalam menjalani dan mengelolanya.
Masyarakat modern memaknai kesuksesan dalam batas yang mereka pahami sendiri, yakni kekayaan hanya diukur dari harta benda, status sosial, atau pencapaian material. Sharma menantang pandangan ini dengan mengusulkan definisi kekayaan yang lebih holistik yang mencakup aspek-aspek non-materi seperti kesehatan, hubungan, kebahagiaan, dan dampak sosial.
Buku ini memperkenalkan The 8 Forms of Wealth Model, sebuah “kerangka kerja” yang mendefinisikan kekayaan melalui delapan pilar: pertumbuhan pribadi (growth), kesehatan (wellness), keluarga (family), pekerjaan bermakna (craft), keuangan (money), komunitas (community), petualangan (adventure), dan pelayanan (service). Sharma menekankan bahwa kekayaan sejati bukan hanya tentang uang, tetapi tentang kehidupan yang seimbang dan penuh makna.
Melalui delapan “kerangka kerja” ini, Sharma mencoba menyentuh titik sadar bahwa kita bisa memaknai kekayaan dalam makna yang hakiki. Elaborasi delapan kategori kekayaan sejati tersebut secara umum adalah pertumbuhan pribadi (growth) yang diraih dengan mengembangkan diri melalui pembelajaran dan refleksi, lalu kesehatan fisik dan mental (wellness) yang dapat dicapai melalui pola menjaga tubuh dan pikiran sebagai fondasi kehidupan, kemudian konteks keluarga (family) yang dapat dimilki dengan membangun hubungan yang kuat dan penuh cinta dengan keluarga.
Seterusnya, Sharma melihat bahwa dalam bekerja, kita juga dapat melihatnya sebagai pekerjaan bermakna (craft) dengan cara menemukan tujuan dalam pekerjaan yang selaras dengan nilai pribadi. Saat mendapat rejeki, Sharma tidak lupa mengingatkan pentingnya aspek keuangan (money) dengan mengelolanya dengan bijak tanpa menjadikannya tujuan utama. Sharma melihat, uang bukanlah tujuan akhir, tapi bagaimana dengan kondisi keuangan yang ada tersebut dapat memberi manfaat bagi sesama.
Kelima kategori tersebut dapat dikatakan sebagai kategori internal karena merujuk pada bagaimana kekayaan dimaknai dalam konteks individu. Lebih dari itu, dalam relasi tersebut, Sharma memandang bahwa kekayaan hakiki selanjutnya adalah komunitas (community) yang dapar diraih dengan cara berkontribusi pada lingkungan sosial dan membangun koneksi. Selebihnya, makna “kekayaan” yang juga tidak kalah penting adalah petualangan (adventure). Buku ini melihat, menjalani hidup dengan semangat eksplorasi dan pengalaman baru adalah juga merupakan hal yang sangat penting. Pada puncak dari memaknai aspek kekayaan hakiki tersebut, Sharma melihat pelayanan (service). Dalam konteks ini, memberikan dampak positif bagi dunia melalui tindakan nyata merupakan puncak aspek kekayaan hakiki.
Salah satu kekuatan buku ini adalah gaya bertutur Robin Sharma. Pendekatannya yang kerap memakai bahasa metaforis dan gaya bertutur membuatnya menempati posisi tersendiri bagi pemerhati buku motivasi diri (self help). Untuk mencapai itu, Sharma memakai quote-quote yang dapat kita temui di dalam buku bukunya. Sisi kekuatan lain dari buku ini adalah bahwa Sharma berhasil menggeser paradigma pembaca dari kekayaan materi ke kekayaan holistik yang mencakup kebahagiaan, kesehatan, dan hubungan. Ia melengkapi perspektif ini dengan pendekatan praktis dan dengan strategi dan alat yang jelas, yakni The 8 Forms of Wealth Model yang dapat langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, buku ini terasa menyasar semua usia karena disusun dengan bahasa yang mudah dipahami dan sederhana namun penuh semangat.
Meski demikian, buku ini bukan tanpa kekurangan. Saat membahas keuangan, buku ini sama sekali tidak menyajikan pembahasan tentang manajemen keuangan, melainkan fokus pada aspek psikologis dan filosofis. Buku ini juga rasanya mengandung perulangan (redundancy) dalam beberapa bagian yang dapat mengurangi gairah membaca. Walau begitu, bagusnya, Sharma mampu memberi energi baru pada beberapa hal yang mungkin sudah familiar bagi kita.
Saiful Maarif, (bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam)