Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo dijuluki begawan ekonomi di Indonesia. Jika ada begawan ekonomi, siapakah begawan lingkungan hidup, tiada lain ialah Prof. Dr. Emil Salim. Emil Salim dikenal di dalam dan di luar negeri sebagai tokoh lingkungan hidup dan ekonom Indonesia paling senior pada saat ini. Pada 8 Juni 2025 beliau mencapai usia 95 tahun dalam keadaan sehat wal afiat.
Keponakan pejuang dan pahlawan nasional Hadji Agus Salim asal Koto Gadang Sumatera Barat itu lahir 8 Juni 1930. Ia memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1959), Master of Arts (1962) dan Doctor of Philosophy yang populer disingkat Ph.D (1964) pada Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat. Ia menjadi dosen FE-UI sejak 1959 dan dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi UI tahun 1976.
Teladan Pengabdian
Emil Salim menjabat menteri pada beberapa Kabinet Pembangunan Orde Baru, yaitu Menteri Penertiban Aparatur Negara/Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (1972 – 1973), Menteri Perhubungan (1973 – 1978), Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (1978 – 1983), dan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1983 – 1988). Selain itu, Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI), Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan beberapa tugas lain.
Apa rahasianya Emil Salim dapat menjadi menteri selama empat periode pada zaman pemerintah Jenderal Soeharto? Soal ini pernah ditanyakan Eka Budianta dalam wawancara dengan Emil Salim. “Kalau kamu katakan putih di depanku, katakan putih juga di belakangku. Begitu yang disukai Pak Harto. Kamu harus dapat dipercaya,” kata Emil Salim.
Sebagai perantau Minang, Emil Salim pernah menjadi Ketua Umum GEBU Minang (Gerakan Seribu Minang, dan sekarang Gerakan Ekonomi dan Budaya Minangkabau) yang dibentuk tahun 1990. Ia aktif dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) sejak berdiri 7 Desember 1990. Emil Salim berpesan agar para cendekiawan muslim menghidupkan ajaran-ajaran Al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Emil Salim penggagas Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) yang dibentuk atas dukungan pemerintah dan lembaga internasional. Pembentukan Yayasan KEHATI sejalan dengan amanat Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 dan Deklarasi Tokyo tahun 1993, di mana tiga negara Amerika Serikat, Jepang dan Indonesia sepakat bekerja sama untuk membantu program pelestarian keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Yayasan KEHATI memusatkan programnya pada tiga isu besar (the triple planetary crisis) yaitu kehilangan keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan pencemaran lingkungan, termasuk isu sampah.
Pengabdian Emil Salim sebagai tokoh nasional di bidang lingkungan hidup belum tergantikan sampai saat ini. Emil Salim adalah putra Indonesia pertama yang mencetuskan gagasan agar isu lingkungan menjadi gerakan dalam masyarakat dan menandatangani deklarasi “Satu Bumi untuk Semua Generasi”.
Karakter kepemimpinan Emil Salim bermahkotakan kejujuran, keikhlasan, kelugasan dan bersih dari korupsi. Semua Presiden Republik Indonesia pasca Pak Harto hingga Prabowo Subianto hormat dan respect kepada Emil Salim. Ia dihormati dan disegani bukan lagi karena jabatannya, tapi karena ilmu pengetahuan dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara serta integritas pribadinya yang layak diteladani. Emil Salim merupakan saksi hidup jatuh bangunnya politik dan ekonomi Indonesia. Kadang ia menyampaikan kritik, bukan karena benci, tapi karena cinta dan peduli kepada bangsa dan negara.
Sumitro Djojohadikusumo dalam buku 70 Tahun Emil Salim Revolusi Berhenti Hari Minggu (2000) menyebut Emil Salim yang dikenalnya sejak 1952-1953 sebagai mahasiswa tingkat II Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia adalah seorang teknokrat cemerlang dan patriot sejati.
Suatu keberuntungan yang tidak dialami generasi sesudahnya yakni pengalaman Emil Salim memperoleh bimbingan bapak bangsa Bung Hatta dalam kelompok study club mahasiswa FE-UI beranggotakan 15 orang di masa itu antara tahun 1953 – 1955. Harun Zain dalam buku 70 Tahun Emil Salim dan Emil Salim sendiri dalam buku Bung Hatta Pribadinya Dalam Kenangan, menuturkan pertemuan diadakan di Istana Wakil Presiden RI, dan di ruang tamu belakang rumah kediaman resmi Wakil Presiden di Medan Merdeka Selatan, sekali dua minggu (Kamis sore). Dalam pertemuan tersebut mereka membahas berbagai soal, ekonomi, sosial maupun politik. Bung Hatta selama diskusi hanya mendengar, tidak memberi arahan, bahkan tidak melakukan interupsi. Baru pada akhir diskusi, Bung Hatta memberi komentar, kritik dan saran, misalnya mengajarkan cara-cara berdialog, cara berdiskusi untuk menghindari dialog yang bertele-tela, serta menunjukkan jalan keluar tentang masalah yang diperdebatkan.
Pelajaran berharga dari Bung Hatta terbukti di kemudian hari sangat berguna bagi Emil Salim dan kawan-kawan setelah menjalani karier masing-masing. Bung Hatta seorang Wakil Presiden yang disibukkan dengan urusan kenegaraan masih bersedia meluangkan waktu untuk membimbing mahasiswa.
Kata Pengantar Emil Salim selaku Ketua Dewan Redaksi Karya Lengkap Bung Hatta (Penerbit LP3ES, edisi pertama jilid 1 tahun 1998) menegaskan, apabila kita kini dalam perjalanan kehidupan bangsa mengalami berbagai krisis dan kesulitan, maka timbul kebutuhan untuk menggali kembali sumber-sumber inspirasi kemerdekaan dari para Bapak-Ibu Pendiri Republik Indonesia untuk dijadikan masukan bagi pemantapan orientasi ke arah cita-cita kemerdekaan semula.
Pemikiran Ekoteologi
Dalam makalahnya, “Lingkungan Hidup dan Pembangunan”, Emil Salim mengemukakan Indonesia menghadapi masalah lingkungan hidup yang cukup serius sejak tahun 1970-an dan merasakan kebutuhan untuk menanganinya secara nasional. Masalah lingkungan bukan monopoli negara maju. Negara berkembang pun menderita pengrusakan lingkungan akibat desakan kemiskinan.
Ada tiga sebab utama mengapa Indonesia perlu menangani masalah lingkungan hidup, yaitu:
Pertama, Indonesia menghadapi masalah lingkungan hidup yang cukup serius, seperti banjir, peningkatan pengendapan lumpur di sungai dan semakin kotornya laut Jawa yang menyulitkan nelayan menangkap ikan. Singkatnya, gejala sistem lingkungan hidup kita sudah diganggu oleh ketidakseimbangan.
Kedua, kepentingan untuk mewariskan kepada generasi mendatang sumber-sumber alam yang bisa diolah secara berkesinambungan dalam proses pembangunan jangka panjang.
Ketiga, kepentingan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, tidak hanya maju dalam segi materiil, tetapi juga kaya dalam segi spirituil. Maka, kualitas nilai pembangunan menjadi penting untuk mencegah kemerosotan keadaan lingkungan hidup ke arah yang lebih parah lagi. Untuk itu perlu diikhtiarkan memulihkan dan mengembangkan kelestarian berbagai sumber-sumber alam.
Emil Salim mengingatkan, pokok kerusakan dan penyelamatan lingkungan hidup adalah manusia. Manusia tidak bisa hidup terpisah dari lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.
Dalam buku kumpulan tulisannya berjudul Lingkungan Hidup dan Pembangunan (1991: 60 – 87), Emil Salim menyajikan satu bab khusus “Islam dan Lingkungan Hidup”. Berbicara kesadaran dan sikap hidup manusia, Emil Salim yakin bahwa motivasi yang ampuh adalah keyakinan agama.
Manusia, ungkap Emil Salim, lebih sempurna dari hewan, tumbuh-tumbuhan, jin bahkan malaikat sekalipun. Mengapa? Karena manusia dibekali Allah Swt dengan akal, perasaaan, nafsu dan syahwat. Kelahiran manusia di bumi adalah untuk memenuhi amanah Allah. Dalam rangkaian surat-surat dalam Al Quran tersimpul bahwa amanah Ilahi mencakup kewajiban dan tanggungjawab manusia terhadap Allah Swt, terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, dan terhadap alam. Dalam Islam, akal manusia harus dikendalikan oleh iman.
Kemampuan manusia merubah alam dan membuat hal-hal baru turut mempengaruhi keseimbangan lingkungan hidup. Dengan mengutip ayat-ayat Al Quran dan Hadis, Emil Salim menyimpulkan sikap hidup seorang muslim haruslah bersahabat dengan alam dan isinya, dan menghindarkan diri dari merusak alam. Bahkan perusakan alam dianggap perbuatan orang-orang munafik sebagaimana tercermin dalam ayat 204 – 205 surat Al-Baqarah. Hakikat pokok dalam pengembangan lingkungan hidup adalah terpeliharanya keseimbangan alam dan keseimbangan lingkungan sosial. Apabila lingkungan hidup terganggu keseimbangannya, maka timbul reaksi dan bangkitlah kekuatan-kekuatan balasan, baik dari alam maupun dari manusia, yang bisa melahirkan bencana.
Ia menjelaskan lebih lanjut, terputusnya lingkaran keseimbangan mengubah peranan air dari zat yag tadinya menghidupi alam dan manusia, menjadi banjir yang bisa merusak dan mematikan manusia. Begitu pula hubungan timbal balik antara manusia dengan tanah, udara dan lainnya. Pada dasarnya pelestarian lingkungan hidup adalah bagian dari ibadah manusia untuk bersyukur dan memuja keesaan dan kebesaran Allah. Pemikiran di atas dalam istilah yang kini dikembangkan sebagai program prioritas Menteri Agama tahun 2025 – 2029 dikenal sebagai ekoteologi.
Peran agama sangat sentral dalam menanamkan kesadaran lingkungan. Dalam Al-Quran ditegaskan, “Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash [28]: 77).
Dalam seminar “Relevansi HAM dan 50 Tahun Hari Lingkungan Hidup Sedunia” di Jakarta, tahun 2022, Emil Salim menggambarkan bagaimana sulitnya upaya pelestarian lingkungan hidup disebabkan masih banyaknya manusia yang mengutamakan mencari keuntungan pribadi dibanding menjaga kelestarian alam. Kalau melestarikan hutan, tidak ada uang dari melestarikan hutan, tetapi kalau hutan dibuka, apakah itu perkebunan atau ekspor kayu ataukah untuk apa, uang dollar, devisa, dan kekuasaan. Menurut Emil Salim, upaya menjaga lingkungan tidak bisa dilakukan hanya lewat ceramah dan seminar, namun perlu upaya lebih untuk menegakkan moral, menghargai hak asasi manusia, dan menghargai lingkungan versus kepentingan pribadi.
Pembangunan Berkelanjutan
Dalam tulisannya, “Peradigma Pembangunan Berkelanjutan,” dihimpun oleh Iwan Jaya Azis dan kawan-kawan pada buku Pembangunan Berkelanjutan Peran dan Kontribusi Emil Salim (2010), Emil Salim memaparkan secara gamblang bahwa pembangunan konvensional telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi gagal dalam aspek sosial dan lingkungan. Sebabnya, karena pembangunan konvensional meletakkan ekonomi pada pusat persoalan pertumbuhan, dan menempatkan faktor sosial dan lingkungan pada posisi yang kurang penting.
Paradigma Pembangunan Berkelanjutan sesuai yang diperjuangkan Emil Salim membutuhkan perubahan fundamental sebagaimana diungkapkannya meliputi:
Pertama, mengubah perspektif jangka pendek menjadi jangka panjang. Dalam perspektif jangka panjang, bukan eksploitasi alam yang diutamakan, melainkan pengayaan sumber daya alamlah yang akan memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan serta meniadakan degradasi dan deplesi (penipisan) sumber daya alam.
Kedua, mengurangi posisi dominan aspek ekonomi dan menempatkannya pada tingkat yang sama dengan pembangunan sosial dan lingkungan.
Ketiga, mengubah perubahan kebijakan secara fundamental agar kepentingan publik ditempatkan di atas kepentingan pribadi.
Keempat, mengoreksi kegagalan pasar dan menolak pandangan yang menganggap bantuan bencana alam menjadi penggerak ekonomi dalam meningkatkan pendapatan nasional.
Kelima, pemerintah bisa dan harus mengoreksi kegagalam pasar lewat kebijakan yang tepat.
Singkatnya, pembangunan berkelanjutan harus merombak habis paradigma pembangunan konvensional yang saat ini berlaku. Pergeseran paradigma membutuhkan perubahan nilai dan orientasi, tegas Emil Salim.
Dalam usia senja 95 tahun, Emil Salim masih sehat dan pikirannya masih jernih. Meski berjalan pakai tongkat, namun beliau masih kuat berpidato berdiri di podium. Salah satu pesan peduli lingkungan dari Emil Salim, “Alam tidak boleh dikeruk terus- menerus karena alam akan melakukan perlawanan dengan melahirkan bencana,” tandasnya.
Semoga Bapak Emil Salim sehat selalu dan berkah Allah terus menyertainya.
M. Fuad Nasar, mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro UIN Imam Bonjol Padang.