Thobib Al Asyhar (Direktur GTK Madrasah)
“Tak semua orang bisa naik haji, apalagi tanpa antre bertahun-tahun dan tanpa biaya pribadi pula”.
Itulah kalimat pertama dari salah seorang tenaga kesehatan haji Kloter 28, Gorontalo saat diwawancara. Dia menggambarkan betapa “mahalnya” kursi petugas haji dari tenaga kesehatan yang menyertai jemaah, sejak di tanah air hingga selama di tanah suci dan kembali ke tanah air.
Petugas Nakes tersebut bernama Syahrin. Menurutnya, untuk bisa menjadi petugas Nakes haji bukan hal mudah. Harus melewati proses ketat dengan syarat pemenuhan prosedur. “Tahun ini adalah pertama kalinya saya mendapatkan kehormatan ini. Sangat membanggakan. Sungguh ini anugerah luar biasa dari Allah swt”, katanya.
Dirinya tak pernah membayangkan akan bisa menjejakkan kaki di Tanah Suci sebagai bagian dari tim kesehatan. “Tidak disangka. Bisa terpilih dan berada di sini, itu sungguh luar biasa,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Rasa syukurnya semakin dalam karena tugas yang diembannya bukan tugas biasa. Ia diberikan kewenangan untuk menjaga kesehatan para jemaah haji, sebagian besar di antaranya adalah lansia dengan risiko tinggi. Ada sekitar 30 persen dari kloternya tergolong rentan, dengan keluhan dominan berupa hipertensi, batuk, dan flu akibat kelelahan dan cuaca ekstrem.
Hingga beberapa hari di Mekah, dirinya belum menemukan jemaah sakit yang membutuhkan perawatan khusus. “Berkat kerjasama dengan tim sektor dan KKHI, serta ketangguhan para petugas, semua tantangan itu bisa dihadapi dengan mulus. Hanya satu jemaah yang sempat dirawat di rumah sakit karena salah makan. Sisanya, bisa ditangani dengan baik”, jelasnya saat wawancara berlangsung.
Bagi Syahrin, tugas ini bukan sekadar pekerjaan medis. Ini adalah ibadah. “Mabrurnya seorang petugas itu dari cara dia melayani jemaah,” katanya mantap. Ia tidak hanya mengobati, tetapi juga mendampingi dengan hati. Bahkan ketika diminta untuk mengawal jemaah disabilitas dalam umrah wajib di tengah malam, ia tidak mengeluh. Ia mendorong kursi roda di lantai dua Masjidil Haram, menempuh putaran yang lebih jauh demi memastikan jemaah bisa beribadah dengan nyaman.
“Bangga sekali. Meski lelah, rasanya ringan karena yang kita bantu sedang ibadah. Sungguh pengalaman spiritual yang mendalam.”
Saat ditanya pengalamannya pertama kali melihat Ka’bah, air mata Syahrin tak terbendung. Rasa haru dan takjub menyelimuti dirinya. “Luar biasa. Tidak bisa diceritakan dan digambarkan dengan kata-kata. Hanya bisa dirasakan. Saya datang ke sini tanpa biaya, tanpa antre. Ini hadiah dari Allah,” ujarnya dengan suara serak akibat sangat terharu.
Menjelang Armuzna, masa puncak ibadah haji yang penuh tantangan, ia tak henti mengingatkan jemaah untuk menjaga diri. Ia membagikan tips sederhana tapi krusial, banyak minum, konsumsi oralit setiap dua jam, jangan menunggu haus. Ia juga menyarankan membawa semprotan air untuk menjaga suhu tubuh tetap stabil, karena heatstroke menjadi ancaman nyata di suhu ekstrem.
Pengalaman spiritual ini menorehkan kesan mendalam bagi Syahrin. Ia tidak hanya menyaksikan ibadah orang lain, tapi juga menjadi bagian di dalamnya. Menjadi tangan yang menopang, mata yang mengawasi, dan hati yang selalu siaga. Dalam diamnya, ia tahu bahwa apa yang ia lakukan bukan pekerjaan biasa. Ini adalah bentuk lain dari ibadah. Ia pun bersyukur kepada pemerintah yang telah memberinya kesempatan untuk mengabdi dalam tugas mulia ini.
Dan di antara semua rasa letih dan lelah, satu hal yang paling membekas dalam hati Syahrin, bahwa membantu jemaah dalam ibadah haji adalah jalan sunyi yang penuh berkah. Jalan yang mungkin tak terlihat gemerlap dari luar, tapi justru di sanalah letak kemuliaannya. []
Thobib Al Asyhar (Direktur GTK Madrasah)