Dalam suasana dan momentum ‘Idul Adlha atau yang disebut juga dengan ‘Idul Qurban yang istimewa ini, marilah kita berupaya menghayati dan mengaktualisasikan makna esensi dan pesan-pesan luhur (maqashid syariah) ibadah qurban dalam Islam, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai Khalifatullah, baik sebagai umat maupun warga bangsa yang tidak terlepas dari misi utama agama untuk menghadirkan kemaslahatan dan kesejahteraan kepada sesama.
Ma’asyiral muslimin, jama’ah sholat ‘Idul Adlha yang berbahagia.
Sebagaimana kita fahami, bahwa ibadah qurban yang diajarkan syariat Islam, sesungguhnya tidak terlepas dari peristiwa historis kenabian Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam yang sangat monumental. Karenanya, suatu saat Rasulullah SAW pernah ditanya oleh sahabatnya mengenai apa makna penting dari ibadah udlhiyah (penyembelihan qurban) dalam Islam, beliau menjawab dengan tegas, هذه سنّة أبيكم إبراهيم (ibadah qurban ini adalah ajaran bapak kalian, Ibrahim AS).
Nabi Ibrahim AS hidup pada abad 18 SM, suatu masa yang dikenal dalam sejarah manusia sebagai era terjadinya persimpangan jalan pikiran tentang maraknya praktek qurban manusia yang dipersembahkan kepada dewa-dewa atau tuhan-tuhan mereka. Sementara perintah Allah Swt. kepada kholilullah Ibrahim AS untuk menyembelih puteranya, Ismail lantaran diilhami dari suatu ru’yah (mimpi kenabian) yang diterima dari Allah, sebagaimana dikisahkan dengan penuh hikmah dalam Al-Quran surat As-Shaaffat: 102:
فلمّا بلغ معه السعي قال يا بنيّ إنّي أرى في المنام أنّي أذبحك فانظر ماذا ترى قال يآبت افعل ما تؤمر ستجدني إن شآء الله من الصبرين.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkan apa pendapatmu!” Ia (Ismail) menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar”.
Disebutkan juga dalam akhir kisah tersebut, Allah SWT memberikan pengganti seekor domba yang besar atas keberhasilan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam melaksanakan perintah dan ujian yang amat sangat berat itu, seperti diungkap Al-Quran (As-Shaaffat: 107):
وفديناه بذبح غظيم
“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.
Peristiwa monumental ini mengandung ‘ibrah (pelajaran), bahwa Allah SWT sangat sayang dan menjunjung tinggi harkat, martabat dan jiwa manusia, sehingga Ia sama sekali tidak memperkenankan manusia dijadikan qurban penyembelihan (baca; pembantaian) atau sebagai tumbal untuk kepentingan apapun yang pada akhirnya mengakibatkan tercucurnya darah atau lenyapnya nyawa manusia. Bahkan Islam mengutuk keras perbuatan semacam itu dan menggolongkannya dalam prilaku kesyirikan dan dosa yang amat besar.
Karena itu, ajaran Islam tidak pernah mentolerir terjadinya kekerasan, kezaliman dan penindasan dalam bentuk apapun yang mengakibatkan tertumpahnya darah atau penderitaan umat manusia. Islam dengan tegas juga mengharamkan dan mengutuk perbuatan bunuh diri, membunuh sesama atau membuat kerusakan apapun di muka bumi ini, baik berupa kejahatan kemanusiaan maupun kerusakan lingkungan. Allah SWT berfirman:
…. من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعا ومن أحيا ها فكأنما أحيا الناس جميعا (المائدة: 32)
Artinya “siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan akan dia telah membunuh semua manusia. Sebaiknya, siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia”. (Al-Maidah:32)
Dengan menangkap pesan dan ‘ibrah dari peristiwa besar yang tidak ada duanya dan tidak akan terulang kedua kalinya dalam sejarah umat manusia itu, dapat disinyalir bahwa muslim sejati adalah yang memiliki kecintaan dan kepatuhan mutlak kepada Allah SWT melebihi kecintaannya kepada siapapun dan apapun. Kecintaan manusia kepada siapa dan apa saja selalu didasari karena kecintaannya kepada Allah SWT. Perjuangan Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS hendaknya dapat dijadikan wahana introspeksi diri atas ketaatan manusia dalam memegang teguh syariat Islam, untuk selanjutnya ritualitas qurban diharapkan mampu membentuk pribadi muslim yang peduli terhadap masyarakat dan lingkungan sekelilingnya, sebagai manusia yang siap berkorban dan mengulurkan tangan untuk membantu dan meringankan penderitaan dan beban kehidupan kepada sesama, terutama kepada umat yang lemah dan membutuhkan (kaum dlu’afa dan masakin).
Di tengah kondisi masyarakat, bangsa dan bahkan dunia yang saat ini sedang tidak baik-baik saja kondisi ekonomi dan sosialnya karena dampak krisis kemanusiaan dan kemiskinan yang semakin tinggi sebagaimana tercermin dari data Bank Dunia, pada tahun 2024, ada 60,3% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat angka pengangannguran telah melampaui 5,8%, sementara angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga terus meroket dengan jumlah lebih dari 85 ribu penduduk Indonesia terdampak PHK. Kondisi ini diperparah dengan situasi dunia yang semakin tidak menentu dan diwarnai berbagai krisis dan peperangan, penjajahan Israil kepada Pelestina, konflik di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika serta beberapa peperangan di berbagai kawasan yang membuat krisis dunia semakin memprihatinkan. Inilah sesungguhnya momentum paling tepat untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dan pesan utama ajaran qurban dalam realitas kehidupan. Membumikan syariat qurban bukan sekedar ritual penyembelihan binatang akan tetapi merupakan pesan mendasar ajaran Islam untuk peduli dengan kemanusiaan, merawat lingkungan dan menghadirkan kesejahteraan melalui aksi-aksi nyata kemanusiaan seperti membuka lapangan kerja, berbagi kepada sesama dan menghindari priaku boros demi terwujudnya kemaslahatan dan kesejahteraan bersama.
Dapat dipastikan, bahwa seluruh ibadah dalam syari’at Islam pasti mengandung dua dimensi sekaligus, ilahiyyah (ketuhanan) dan insaniyyah (kemanusiaan), ia laksana dua sisi mata uang logam yang tidak pernah dapat dipisahkan. Syar’iat qurban misalnya, secara harfiyah berarti “mendekatkan” dimaksudkan sebagai sarana pendekatan manusia kepada Allah melalui pendekatan dirinya dengan sesama umat manusia, terutama kaum dlu’afa (orang-orang lemah). Ketika baginda Rasulullah SAW mengatasnamakan ibadah qurban untuk diri, keluarga, dan semua umatnya yang tidak mampu (Naiyl Al-Awthar 5 : 197 – 200), maka sesungguhnya, ia telah menegaskan bahwa ibadah qurban adalah ibadah yang sarat dengan pesan sosial dan nilai kemanusiaan, ia bukan sekedar ritus persembahan untuk meningkatkan kualitas sepiritual seseorang, bukan juga kesempatan buat orang mampu untuk menunjukkan kesalehan individu dengan harta kekayaannya, akan tetapi ibadah qurban pada hakikatnya bertujuan memperkuat dan mempertajam kepekaan muslim terhadap kondisi dan keprihatinan masyarakat sekitarnya. Ibaratnya naik meraih rahmat langit dengan memakmurkan kehidupan di bumi. Ibadah qurban telah mencerminkan pesan Islam: Kita hanya dapat dekat dengan Allah, apabila kita telah dekat dengan saudara-saudara kita, terutama yang lemah dan berkekurangan. Islam tidak pernah memerintahkan pemeluknya untuk membunuh hewan di altar pemujaan, di tepi lautan, di kawah gunung atau di tengah hamparan tanah lumpur, lalu sembelihan itu diserahkan kepada Tuhan agar dapat memberkatinya. Namun sebaliknya, Al Quran justru berseru kepada manusia:
. . . فكلوا منها وأطعموا البآئس الفقير
”lalu makanlah sebagian dari dagingnya dan beri makanlah (dengan bagian yang lain) kepada orang fakir yang menderita hidupnya (Al-Haj : 28).
Banyak orang mendekatkan diri kepada Allah SWT hanya sebatas mengisi ruang masjid atau rumah ibadah yang sunyi, padahal lain dari itu, Islam juga sangat menganjurkan umatnya mendekatkan diri kepada Allah dengan mengisi perut-perut hambaNya yang kosong, memberikan asupan gizi kepada yang terkena busung lapar, memberi obat kepada mereka yang terpapar sakit, mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan dan menebarkan kebajikan serta kasih sayang kepada sesama. Bukankah ketika Nabi Musa AS bertanya kepada Tuhan “Ya Allah, di mana aku harus mencari-Mu?” Allah langsung menjawabnya: “carilah Aku di tengah-tengah orang yang hatinya merana, di gerombolan orang-orang yang terzalimi nasibnya dan di bilik-bilik orang yang sengsara kehidupannya”.
Diriwayatkan dalam hadist qudsi, bahwa nanti di hari qiyamat, Allah SWT mendakwa kepada hamba-hamba-Nya: “dahulu Aku lapar dan kalian tidak memberi-Ku makan, dahulu Aku telanjang dan kalian tidak memberi-Ku busana, dahulu Aku sakit dan kalian tidak memberi-Ku obat”. Waktu itu yang didakwa menjawab: “Ya Allah bagimana mungkin aku memberi-Mu makan, pakaian dan obat, padahal Engkau Ghaniyyun ‘anil ‘alamin (Maha Kaya atas semesta alam), lalu Allah berfirman : “Dahulu ada hamba-Ku yang lapar, telanjang dan sakit. Seandainya waktu itu kamu mendatangi mereka yang susah, mengenyangkan perut mereka yang lapar, menutup tubuh mereka yang telanjang dan memberi obat kepada mereka yang terkapar sakit, niscaya kamu mendapati Diriku di sisi mereka”. Karenanya, dengan spirit dan pesan utama Ibadah qurban, mari kita selamatkan dan ulurkan tangan kepada mereka yang terkorban, niscaya Allah membersamai kasih sayangNya kepada kita.
Dr. H. Khoirul Huda Basyir, Lc., S.Ag, M.Si. (Pengasuh PPTQ. Al Kaukab Bojongnangka, Gunung Putri, Bogor dan Pegawai Kementerian Agama RI)