Ibnu Khaldun (732 – 808 H/1332 – 1406 M) filosof berkebangsaan Tunisia dikenal sebagai Bapak Sosiologi di Dunia Islam, mengatakan bahwa tiap-tiap bangsa membentuk negara menurut apa yang baik sesuai pilihannya. Para pemikir politik dalam membicarakan relasi negara dan agama hingga abad ke-20 selalu berpikir dalam teori bipolarisasi negara sekuler atau negara agama sesuai agama mayoritas yang dianut penduduknya.
Dalam negara sekuler, agama tidak mempunyai tempat dalam tatanan kenegaraan atau setidaknya kehidupan bernegara tidak mempunyai hubungan dengan kehidupan beragama. Menurut teori dan praktiknya negara sekuler memisahkan secara mutlak agama dari kehidupan publik.
Negara Republik Indonesia yang lahir setelah Perang Dunia II mengenalkan pola ketiga, pola moderat. Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler, melainkan negara berketuhanan atau disebut negara yang agamais. Dalam konsepsi negara berketuhanan sesuai landasan Pancasila, negara tidak lepas tangan terhadap kehidupan beragama, tapi tidak pula terlalu banyak campur-tangan terhadap wilayah internum umat beragama.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ditegaskan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila disepakati menjadi landasan bernegara oleh para pendiri bangsa sebagai ideologi jalan tengah, tapi bukan ideologi sekuler atau sekularisme. Para perancang konstitusi tidak menyebut negara berdasar atas Pancasila, melainkan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Ketuhanan merupakan “urat tunggang” Pancasila yang merangkai keempat sila lainnya dari sila pertama sampai sila kelima.
Pancasila adalah ideologi anti-imperialisme dan anti-kapitalisme. Bangsa Indonesia sangat tepat menggunakan Pancasila sebagai kompas dalam mengarungi percaturan geopolitik global. Dasar negara Pancasila merupakan hasil kesepakatan agung atau gentlemen agreement para pendiri bangsa. Gagasan besar bernegara yang digariskan oleh para tokoh perancang Undang-Undang Dasar menetapkan konsepsi negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasar kekuasaan belaka (machtsstaat). Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme atau kekuasaan yang tidak terbatas. Sistem demokrasi dan asas kedaulatan rakyat secara keseluruhan mengangkat nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang terdapat dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Indonesia dibentuk sebagai negara bangsa (nation state) dalam format yang modern. Para pendiri bangsa atau founding fathers menyusun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang mempunyai ciri khas sendiri, tidak menjiplak dari negara-negara Barat. Dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan, seperti diutarakan oleh Mr. Achmad Soebardjo dalam autobiografinya Kesadaran Nasional, bangsa Indonesia melakukannya atas dasar prinsip-prinsip percaya pada diri sendiri, tidak menggantungkan nasib pada bantuan luar, menentukan nasib sendiri dan non-koperasi yang sekarang menjadi Non-Blok.
Pancasila adalah ideologi pemersatu yang merangkum nilai-nilai keindonesiaan dalam lima silanya. Mengutip keterangan Mohammad Hatta dalam buku Pengertian Pancasila, uraian Soekarno tanggal 1 Juni 1945 tentang lima sila yang bersifat kompromistis pada waktu itu dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama.
Suatu fakta sejarah yang tak dapat dilupakan ialah kesediaan Ki Bagus Hadikusumo, tokoh senior yang mewakili aspirasi Islam dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, menghapus 7 kata mengenai syariat Islam dalam rancangan Mukaddimah Undang-Undang Dasar sebagaimana disarankan Bung Hatta tanggal 18 Agustus 1945. Kunci pengesahan Pembukaan UUD 1945 yang memuat dasar negara Pancasila saat itu berada di tangan Ki Bagus Hadikusumo. Tujuh kata dimaksud menjadi dokumen historis kesepakatan awal pembentukan negara yang dikenal sebagai Piagam Jakarta/Jakarta Charter, menurut nama yang diberikan Prof. Mr. Muhammad Yamin.
Prawoto Mangkusasmito dalam kutipan Endang Saifuddin Anshari pada buku Piagam Jakarta 22 Juni 1945 bertanya kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang arti istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jawab Ki Bagus singkat saja, yaitu “Tauhid”. Hal yang sama dikonfirmasi kepada Mr. Teuku Moehammad Hasan, saksi sejarah yang hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945, tokoh asal Aceh itu tidak membantahnya.
Walaupun demikian, Pancasila merupakan filsafat dasar negara yang memayungi seluruh agama/kepercayaan, menaungi ras, etnik dan suku bangsa bahkan menjadi titik temu beragam ideologi yang menginspirasi anak bangsa sejak masa perjuangan kemerdekaan. Pancasila seyogianya menjadi sumber etika publik dalam hidup bernegara, mengutip cendekiawan dan budayawan Yudi Latif, “Pancasila harus dihidupkan sebagai ideologi kerja.”
Dalam pidato peringatan Hari Lahir Pancasila yang diadakan pertama kali pada 1 Juni 1964, Presiden Soekarno sang penggali Pancasila menyatakan bahwa Pancasila adalah suatu weltanschauung, suatu pandangan hidup, suatu falsafah hidup. Pancasila bergema di forum internasional melalui lidah Bung Karno yang berpidato dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1960 dan sidang Kongres Amerika Serikat dalam kunjungannya ke negara tersebut tahun 1956.
Pancasila adalah ideologi besar, tetapi tidak mungkin menggantikan agama. Sejak menjelang kemerdekaan Bung Karno menegaskan, “Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan.” Dalam dekade terakhir masa kekuasaannya ucapan Bung Karno yang terkenal dan menjadi judul pidatonya tahun 1960-an ialah “Celaka negara yang tidak ber-Tuhan.”
Dalam Kuliah Umum berjudul “Negara Nasional dan Cita-cita Islam” di Universitas Indonesia (UI) Jakarta tanggal 7 Mei 1953 Bung Karno menguraikan kedudukan Pancasila dan Islam dengan mensitir ucapan Mohammad Natsir: “Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku tidak bisa mengatakan lebih daripada itu dan mensitir Saudara Pemimpin Besar Masyumi, Mohammad Natsir. Di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan ceramah di hadapan Pakistan Institute for International Relation beliau mengatakan bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lain.” Bung Karno mengingatkan bahwa kita mempunyai Undang-Undang Dasar yang dengan tegas berdiri di atas dasar Pancasila, yang salah satu daripadanya ialah dasar demokrasi, musyawarah, bukan mana suara yang terbanyak adalah benar, ujarnya.
Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik dan diselenggarakan dengan sistem pemerintahan Presidensiil. Dalam episode terakhir revolusi kemerdekaan pasca Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda tahun 1949 terjadi perubahan bentuk negara menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Akhirnya dengan dorongan “mosi integral” Mohammad Natsir di Parlemen pada 3 April 1950 dan aspirasi dari daerah-daerah, terhitung mulai 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan yang oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta disebut “Proklamasi Kedua”. Jika belakangan muncul usulan kepada pemerintah melalui MPR-RI agar tanggal 3 April 1950 ditetapkan sebagai Hari NKRI, sangat beralasan.
Menilik sejarah, semenjak 18 Agustus 1945, hubungan negara dan agama telah final sejak disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam naskah Pembukaannya memuat lima prinsip dasar negara Pancasila. Untuk itu Pancasila sebagai ideologi pemersatu perlu dihayati oleh seluruh elemen bangsa.
Dalam menjamin hubungan negara dan agama, sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) secara aklamasi menerima usulan K.H.M Saleh Suaidy, K.H. Abu Dardiri dan M. Sukoso Wirjosaputro, “Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama jangan disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan tersendiri.”
Oleh karena itu dibentuk Kementerian Agama pada 3 Januari 1946. Menteri Agama Pertama H.M. Rasjidi dalam Konperensi Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta tanggal 17 –18 Maret 1946 menguraikan sebab-sebab dan kepentingannya Pemerintah Republik Indonesia mendirikan Kementerian Agama. Menurut Rasjidi, Kementerian Agama didirikan adalah untuk memenuhi kewajiban Pemerintah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Bab XI pasal 29, yang menerangkan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (ayat 1 dan 2). Jadi, lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang bersangkut-paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya,” tegas Menteri Agama.
Konstitusi negara kita bukan sekadar konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi yang mengutamakan kesejahteraan rakyat sesuai cita-cita proklamasi. Para pendiri bangsa menggariskan sistem ekonomi konstitusional sebagai antitesa sistem ekonomi kolonial yang memproduksi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan rakyat Indonesia selama berabad-abad.
Sistem ekonomi konstitusional sesuai Pancasila berlandaskan pada asas kekeluargaan yakni koperasi, bukan asas persaingan bebas atau sistem ekonomi pasar yang menganut paham liberalisme dan individualisme. Bangsa kita sekarang memerlukan revitalisasi Pancasila sebagai “ideologi pembangunan” yang mengawal perkembangan bangsa dan sekaligus tolok-ukur atau alat koreksi terhadap regulasi, kebijakan dan pelaksanaan pembangunan agar tidak menyimpang apalagi mengkhianati prinsip-prinsip Pancasila yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Pemimpin dan penyelenggara negara datang dan pergi silih berganti pada waktunya. Setiap pemimpin tidak tahu apa yang akan terjadi sesudah masanya. Tetapi negara Republik Indonesia insya Allah akan tetap berdiri. Dalam kaitan ini generasi muda tidak boleh terasing dari gagasan dan cita-cita para pendiri bangsa. Para pendiri bangsa telah mewariskan dasar negara Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan merajut persatuan dari Sabang sampai Merauke dengan mengerahkan segenap pikiran, perjuangan dan karya terbaik mereka untuk kejayaan Indonesia yang dicita-citakan.
Kekeliruan dan kesalahan dalam politik dan pemerintahan yang pernah terjadi di masa lampau akibat salah perhitungan dan salah memberi penilaian, diharapkan tidak terulang dalam perjalanan bangsa ke depan. Penyelewengan Pancasila dalam sejarah pernah terjadi salah satunya oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menyalahgunakan konsep Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) yang digagas Bung Karno.
Pelaksanaan Pancasila perlu diperkokoh di tengah gejala lunturnya nasionalisme yang mungkin semakin dirasakan di hari-hari mendatang. Dalam dunia yang sedang berubah, peribahasa, “Hujan emas di negeri orang hujan batu di negeri sendiri, lebih baik di negeri sendiri,” mungkin tidak realistis bagi sebagian anak muda dalam masyarakat global.
Jika menginginkan negara yang berdasarkan Pancasila tetap kokoh dan mampu mensejahterakan rakyatnya meski di tengah gejolak dunia, maka literasi sejarah perjuangan bangsa, wawasan nusantara dan nilai-nilai bernegara perlu ditanamkan kepada Generasi-Z sebagai pelanjut estafet perjuangan bangsa. Pembinaan karakter bangsa dan penguatan mental ideologi perlu dilakukan secara berkelanjutan. Pembinaan ideologi Pancasila dengan pendekatan rasional-kontekstual dan dialogis penting dikembangkan melalui institusi pendidikan maupun dalam masyarakat.
Semoga Pancasila sebagai ideologi kontekstual menjadi kompas penuntun tindakan setiap generasi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025 dengan tema memperkokoh ideologi Pancasila menuju Indonesia Raya. Mari terus merawat Indonesia dengan cinta dan tanggungjawab kepada Tuhan.
M. Fuad Nasar, mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro UIN Imam Bonjol Padang