“Saya terpisah dengan bapak yang sedang mengidap hipertensi dan gula darah”, keluh Dewantara (bukan nama sebenarnya), jemaah haji asal Salatiga sembari berkaca-kaca. Ia melanjutkan kata-katanya, “Saya sudah ijin ketua kloter agar bisa mendampingi bapak. Tapi justru saya terpisah hotel. Bahkan beda sektor. Kasihan bapak saya…”, lirihnya.
Di tempat lain, arah menuju terminal Syib Amir, seorang suami mendorong istrinya dengan kursi roda yang ia sewa SR250 (sekitar Rp.1,1 juta) untuk thawaf dan sa’i. Tetiba ia mencolek pundak petugas sembari memelas, “Kami terpisah dari rombongan. Bingung ini arah mana. Kami mau ke Jarwal”, suaranya terbata. Handoko, petugas berkemeja biru langit dengan rompi biru tua itu dengan sigap membantu pria lansia dan mengambil alih kursi rodanya. Sambil mengajak minggir pasutri itu agar tidak benturan dengan jemaah lain, petugas itu menyapa, “Bapak dan Ibu aman, tenang saja kami akan antar”. “Ini minum dulu”, petugas itu menyodorkan air mineral dari sakunya.
Cerita di atas hanya snapshot dari ratusan kasus yang terjadi sejak pekan awal kedatangan jemaah haji ke Mekah. Ketua rombongan yang terpisah dengan jemaahnya, suami pisah hotel dengan istrinya (muhrim), dan lansia dengan pendampingnya (mahram) adalah pemandangan umum yang terjadi di semua sektor daerah kerja (daker) Mekah. Belum lagi koper dan bagasi yang terpisah dengan pemiliknya. Ada jemaah yang melaporkan kopernya sudah 3 hari tak ditemukan. Jemaah lain mengeluh tak bisa ke Masjidil Haram karena belum menerima kartu nusuk (identitas sekaligus ‘tiket’ bagi jemaah haji untuk masuk ke Mekah dan memperoleh layanan di setiap tahapan haji). Dinamika lapangan ini berjalin berkelindan dengan kesibukan ekstra para petugas haji yang pontang-panting melayani jemaah.
Sejak pekan pertama kedatangan petugas di Mekah, kasus ‘terpisahnya orang dan barang’ dan isu kartu nusuk mendominasi jagat medsos dibandingkan perjuangan, dedikasi dan peluh para petugas haji di lapangan yang tak kenal lelah. Siang malam 24 jam petugas bekerja menerima tamu-tamu Allah yang datang bergelombang. Belum selesai menangani dhuyufur-rahman yang didorong dari Madinah (gelombang I), datang menyusul ribuan jemaah yang landing di Jeddah langsung umrah wajib memasuki Mekah, dengan varian masalah yang tak kalah rumit. Ibarat mengurai benang kusut, petugas kloter, karom (ketua rombongan), karu (ketua regu), ketua sektor dan perangkatnya hampir putus asa karena tak tahu dari mana harus menarik benang agar tak makin kusut.
Di tengah terik matahari 43 derajat celcius, di antara komplain jemaah yang susul-menyusul, dan di sela keriuhan ‘suara yang tak-disuarakan’, pelayan tamu-tamu Allah itu bergeming. 24 jam mereka stand-bye. Peluh membasahi seragam kebanggaannya yang telah sepekan tak sempat dicuci. Serak kerongkongan ditingkahi batuk akibat tak sempat meneguk air. Nafas tersengal menggendong lansia dan mendorong kursi roda. Hilir mudik kesana kemari men-scan koper bagasi dan mencocokkan nama pemiliknya. Hiruk-pikuk anggota linjam (perlindungan jemaah) dan seksi transportasi memindah dan mengangkut orang dan barang dari hotel satu ke hotel lainnya. Dari sektor satu ke sektor lainnya.
***
Musim haji tahun ini merupakan tahun penuh ujian bagi petugas haji Indonesia. Melayani jemaah reguler yang mencapai 203.320 orang, di balik pergerakan massal tersebut, terdapat ribuan petugas haji yang menjadi tulang punggung operasional dan pelayanan di lapangan. Data dari Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) menyebutkan lebih dari 79% jemaah Indonesia tergolong risiko tinggi (risti) dengan penyakit bawaan seperti hipertensi, diabetes, dan gangguan pernapasan. Belum lagi penanganan darurat medis dan pemantauan konsumsi obat. Dari kategori ini sebanyak 47.384 jemaah adalah lanjut usia (lebih dari 40% berusia di atas 60 tahun). Tahun ini juga terdapat 457 jemaah penyandang disabilitas dan sekitar 23 orang dengan pendampingan. Dengan profil jemaah yang makin kompleks ini dapat dibayangkan tantangan berat yang harus dihadapi petugas.
Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan, sampai dengan 29 Mei 2025 terdapat 25 dari total 617 jemaah calon haji Indonesia yang tengah dirawat di rumah sakit Arab Saudi mengalami gangguan pada sistem muskuloskeletal, yakni mencakup tulang, otot, dan persendian. Cedera yang dilaporkan meliputi dislokasi dan patah tulang (fraktur). Mayoritas dari mereka yang mengalami cedera tulang dan sendi adalah jemaah lansia. Banyak di antaranya mengalami fraktur atau dislokasi akibat terjatuh, terdorong saat turun dari bus, maupun terpeleset ketika menjalankan ibadah seperti tawaf dan sai, atau tergelincir di kamar mandi (timesindonesia.co.id, 1/6/2025). Makanya kalau ada petugas yang sedang membopong atau menggendong jemaah turun dari bus atau menuntun kakek-kakek keluar dari mas’a (tempat sa’i antara Shafa dan Marwah), itu bukan pemandangan yang langka.
Jika lansia perlu perhatian ekstra. Hal yang sama berlaku bagi penyandang disabilitas. Kelompok ini sangat bergantung pada petugas dari banyak aspek. Mobilisasi di bandara, hotel, dan –apalagi nanti di Armuzna– bukan saja memerlukan effort yang tak-ringan, tapi cara penanganan yang tepat. Penyandang disabilitas, menurut Komisi Nasional Disabilitas (KND), bukan hanya soal fisik. Ada sejumlah disabilitas yang tidak terlihat. Kalau fisik, mudah dikenali. Berbeda halnya dengan symptom psikis yang tidak terlihat. Petugas haji meski bersikap tanggap dan memahami cara melayani jemaah haji disabilitas. Plus kesabaran tingkat dewa.
Itu persis yang dialami Herlambang, petugas Perlindungan Jemaah dan Penanganan Krisis dan Pertolongan Pertama pada Jemaah Haji (PKP2JH) yang dibentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi tahun 2025. Saat kepergok penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda di dekat lift hotel, ia refleks langsung membantu si jemaah tanpa bertanya terlebih dulu. Alih-alih berterima kasih, jemaah itu menolak sambil meronta ketakutan. Ternyata memegang kursi roda bagi penyandang disabilitas sama seperti memegang anggota tubuhnya karena kursi roda adalah pengganti kakinya. Jika mau membantu, prinsip yang perlu ditekankan, “selalu tanyakan lebih dulu apakah mereka membutuhkan bantuan”. Kenapa? Sebagian besar penyandang disabilitas tidak terlalu membutuhkan pertolongan ekstra. Hal itu lantaran, biasanya difabel membutuhkan bantuan karena ada hambatan lingkungan atau sosial. Jika hambatan individual terhadap penyandang disabilitas bisa diatasi, hambatan sosial dan lingkungan terhadap mereka bisa dieliminasi.
***
Cerita tentang pelayanan petugas pada jemaah lansia, kelompok risti, dan penyandang disabilitas barangkali sebanyak jumlah mereka dalam angka. Petugas yang tergabung dalam bimbingan ibadah (binbad) pun memberikan atensi khusus pada kelompok ini. Pasalnya, banyak di antara jemaah tidak memiliki pemahaman manasik yang cukup. Mereka bergantung pada pembimbing ibadah secara penuh selama proses haji. Meskipun manasik dilaksanakan jauh hari sebelum berangkat, dibimbing selama perjalanan oleh petugas kloter, sampai pendekatan individual selama di pesawat, saat landing dan menuju Madinah atau Mekah. Tetap saja namanya orang banyak ada saja yang lupa niat umrah. Masih ada jemaah lelaki yang memakai CD (celana dalam) padahal sudah mengenakan ihram. Bahkan ditemukan beberapa jemaah yang mengaku batal (maaf: kentut) sebelum selesai thawaf. Beberapa larangan ber-ihram mereka langgar karena lupa atau tidak faham hukumnya.
Prof Oman Fathurahman, ketua Mustasyar Diny (penasehat bidang ibadah yang dibentuk PPIH) bercerita beberapa jemaah melakukan jima’ (berhubungan badan) sebelum tahallul. Padahal berhubungan badan sebelum tahallul saat ihram dalam haji dan umrah hukumnya haram dan menyebabkan hajinya batal. Pelanggar harus menuntaskan hajinya dan membayar fidyah (kurban seekor unta atau sapi, atau puasa). Jika berhubungan badan dilakukan setelah tahallul awal, haji tidak batal, tetapi jemaah harus membayar dam (denda seekor kambing).
Itulah suka-dukanya menjadi petugas haji. Bukan saja menguras energi, tenaga, dan pikiran serta waktu. Menjadi petugas juga harus siap mengorbankan perasaan dan menanggalkan status apapun demi melayani jemaah. Betapa banyak jemaah yang tersesat di Raudhah atau Masjidil Haram, tidak tahu arah pulang ke pemondokan atau terpisah dengan rombongan/pendampingnya. Petugas sektor khusus (seksus) biasanya sigap membantu jemaah. Berapa banyak jemaah yang mengalami kelelahan, cedera, atau terhimpit di eskalator karena berdesakan dalam kerumunan. Hanya sekedar bertanya dimana beli adaptor charger, jemaah mencari petugas. Apatah lagi mengurus kartu nusuk, mengganti SIM card dengan provider di Saudi, atau membuka aplikasi Satu Haji, Kawal Haji, dan Tawakkalna. Di semua lini ini menjadi ladang amal petugas.
Unik dan menarik. Kadang petugas tertawa geli membayangkan dirinya berbicara dengan jemaah yang tak bisa berbahasa Indonesia. Jangankan mengerti, ia sulit menerjemahkan apa mau si jemaah yang dengan penuh harap menyampaikan maksudnya dengan bahasa daerah yang tak difahami si petugas. Kurang sabar apa petugas Sektor yang menerima umpatan dan kadang kata-kata kasar jemaah dengan senyuman sembari melenguh “astaghfirullah”. Dengan cara apa lagi petugas-jaga di hotel-hotel lokasi drop-off jemaah yang komplain kopernya hilang, paspornya tak ditemukan, atau lama menunggu di lobi tak segera masuk kamar. Strategi manjur kayak apa yang dicoba petugas untuk menenangkan hati jemaah yang terpisah dengan pasangannya. Hati seluas apa yang disiapkan petugas untuk menerima kenyataan bahwa ada perbedaan antara manifes keberangkatan jemaah haji Indonesia yang disusun Kementerian Agama dengan manifes yang digunakan oleh syarikah di Arab Saudi, yang berdampak sistemik dan massif dalam layanan pada jemaah.
Sistem multi-syarikah yang menggantikan pelayanan haji ala Muassasah mau tak mau harus diterima oleh petugas PPIH Arab Saudi dengan legowo meski awalnya ngedumel. Penyesuaian kloter dengan basis syarikah dan markaz (dulu: maktab), penggabungan pasangan terpisah, pemberian tanda khusus saat akan terbang dari embarkasi, rekonfigurasi petugas, hatta negosiasi ulang dengan pihak syarikah sudah dilakukan PPIH. Mekanisme pembayaran dam sudah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Agama dan Edaran Dirjen Penyelengaraan Haji dan Umrah (PHU). Namun saat beredar keputusan fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menyebutkan “Penyembelihan hewan dam atas haji tamattu’ atau qiran dilakukan di Tanah Haram. Jika dilakukan di luar tanah haram hukumnya tidak sah”, petugas dan jemaah sama-sama bingung. Ketua PPIH klarifikasi. Mustasyar Diny dan pembimbing ibadah sibuk menyiapkan penjelasan dan rujukan fatwa. Petugas Media Center Haji (MCH) dikerahkan untuk memberi penjelasan secara proporsional dan meneduhkan agar tidak menimbulkan kegaduhan di ruang publik.
Kini, situasi lebih berat bakal dialami petugas saat akan memasuki puncak haji (Armuzna). Naga-naganya sudah muncul. Hilal-nya sudah terbit. Skema pemberangkatan atau mobilisasi jemaah dari Mekah menuju Arafah pada tanggal 8 Dzulhijjah menjadi penentu apakah pemisahan dan penggabungan jemaah di markaz berdasarkan syarikah ini akan berjalan mulus atau tidak. Sistem kloter sudah tak bisa digunakan. Database jemaah yang dimiliki PPIH dengan syarikah mesti sinkron untuk akurasi penempatan jemaah di tenda-tenda Arafah. Untuk meminimalkan risiko terulangnya keterpisahan jemaah di Armuzna, tampaknya PPIH menerapkan kaidah akhaffud-dharurain (mengambil pilihan yang minim risiko).
Ibarat perang, hari-hari menjelang Armuzna adalah saat merancang strategi yang jitu. Pasukan perang berjumlah 4.200 bernama petugas haji telah siap ke medan laga. Harus ada komando. Ada satuan. Membentuk batalyon, menetapkan regu. Menyiapkan jalur logistik dan peralatan tempur. Kepala satuan operasional (Kasatops) diperintahkan untuk memimpin dan menggerakkan sumberdaya petugas secara maksimal dengan pembagian kerja yang jelas. Siapa bertugas apa. Siapa melakukan apa. Pengawal Arafah, mobilisator jemaah, petugas logistik, tim kesehatan, linjam (perlindungan jemaah), penjaga Muzdalifah, pasukan gerak cepat sepanjang jalur Mina-Jamarat, tim liputan, bahkan pasukan cadangan, dan sebagainya.
Strategi murur (melintas) dari Arafah ke Muzdalifah bertujuan untuk memecah konsentrasi jemaah agar tidak menumpuk di jalur padat saat berbarengan dengan pergerakan jemaah melalui sistem taraddudi (shuttle). Bagi anggota jemaah yang sakit atau tengah uzur, panglima tertinggi (Amirul Hajj) memfasilitasi safari wukuf agar mereka tetap bisa melaksanakan wukuf di Arafah. Sementara untuk mengurangi penumpukan jemaah dan menghindari terjadinya crowded di Mina, panitia haji membuat exit strategy melalui tanazul, yakni pergerakan jemaah haji dari Mina pada 10 Dzulhijjah ke Jamarat untuk melontar jumrah Aqabah lalu langsung kembali ke hotel, dan tidak menginap lagi di tenda Mina.
Walhasil, Armuzna adalah battle ground sesungguhnya dari petugas haji. Semua sumberdaya manusia, peralatan dan sarana prasarana, logistik, material, finansial, dan informasi dikerahkan untuk memenangkan peperangan. Namun, Armuzna bukanlah akhir dari pergerakan pasukan perang. Karena masih ada mobilisasi jemaah kembali ke pangkalan di Mekah. Lalu ke Madinah dan Jedah. Lalu kembali ke tanah air, Indonesia.[]
Mastuki (Kepala Pusbangkom SDM Pendidikan dan Keagamaan/K0ordinator Sekretariat Monev Haji 2025)