Direktur GTK Madrasah Thobib Al Asyhar
Dalam kondisi normal, thawaf—ritual mengelilingi Ka’bah—bukanlah sesuatu yang berat. Justru terasa ringan dan menyenangkan. Secara fisik, ia bisa membakar kalori. Secara spiritual, atmosfernya begitu menenangkan. Ka’bah, sebagai simbol suci umat Islam, memancarkan daya tarik luar biasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bagi siapa pun yang pertama kali menyaksikannya, tak jarang air mata haru pun menetes—bahagia karena akhirnya bisa melihat langsung kiblat umat Islam sedunia.
Namun, suasana berubah drastis ketika thawaf dilakukan dalam kerumunan yang sangat padat. Desak-desakan, sesak, dan kondisi krodit membuat ibadah ini menjadi ujian yang sesungguhnya. Di sinilah kesabaran, kelapangan dada, dan keikhlasan benar-benar diuji. Kita tahu, orang yang thawaf pastilah mendambakan kedekatan spiritual tertinggi. Ia ingin sampai pada puncak batin, di mana hanya Allah tempat bergantung dan berharap.
Sayangnya, harapan itu kerap terusik oleh situasi yang mengganggu kenyamanan. Ada saja orang—atau rombongan—yang egois, menerobos dan mendorong dengan tenaga penuh, seolah hanya mereka yang berhak mendekat ke Ka’bah. Barisan pun terpecah, dan kekhusyukan terganggu. Perilaku seperti ini bisa memunculkan prasangka buruk. Bahkan kadang muncul dorongan untuk membalas, menegur, atau sekadar menyingkir. Tapi, berhenti sejenak. Ini saatnya melawan ego.
Inilah titik krusial thawaf—menguji sejauh mana kita mampu menahan diri. Mengejar keutamaan (afdlaliyat) seperti mencium Hajar Aswad atau berdoa di Multazam tak boleh dilakukan dengan menyakiti orang lain. Keinginan untuk menang sendiri, apalagi berbekal tubuh kuat dan besar, harus ditinggalkan. Pengendalian diri adalah kunci. Thawaf bukan arena pembuktian fisik, melainkan momen total menyerahkan jiwa dan raga kepada Sang Pemilik Ka’bah.
Tak hanya itu. Dalam kepadatan yang luar biasa, masih saja ada yang justru sibuk mengobrol. Entah apa topiknya. Di saat kita berusaha khusyuk berzikir dan berdoa, telinga justru disergap percakapan yang tak relevan. Kadang dari sesama jemaah lintas negara—India, Pakistan, Bangladesh, atau Asia Tengah. Bahasa mereka terdengar asing, namun cukup jelas untuk mengusik konsentrasi. Kita yang sedang mencoba menyatu dalam dzikir, malah terganggu oleh celoteh ringan yang seharusnya tak muncul di momen sakral ini.
Hal yang lebih mencengangkan lagi, ada pula yang thawaf sambil mengambil selfie, merekam video, bahkan siaran langsung di media sosial. Mereka membaurkan kepentingan ibadah dengan kepentingan eksistensi sosial—bahkan mungkin riya. Sulit dimengerti, bagaimana mungkin seseorang yang sedang menuju titik spiritual tertinggi masih sempat memikirkan citra diri di hadapan manusia?
Tak kalah mengkhawatirkan, ada pula sisi gelap lain dari thawaf dalam keramaian: pencopetan, kehilangan barang, bahkan pelecehan. Tidak semua orang hadir dengan niat ibadah yang lurus. Dalam kepadatan, muncul rasa was-was terhadap tas kecil yang diselempangkan atau digantung di leher. Kekhusyukan berdoa pun bercampur dengan kecemasan menjaga barang pribadi.
Semua ini memberi pesan jelas: thawaf bukan sekadar ritual fisik, tapi cermin sejati kepribadian manusia. Di tengah lautan manusia, tampaklah siapa yang egois, siapa yang sabar, siapa yang acuh, dan siapa yang benar-benar pasrah kepada Allah. Thawaf adalah media pembentuk watak. Ia membongkar lapisan terdalam dalam diri kita. Maka, jika ingin mengenali kualitas seseorang, lihatlah bagaimana ia thawaf.
Wallahu a’lam. []
Thobib Al-Asyhar (Direktur GTK Madrasah)