Prof. Dr. Ismail Fahmi Arrauf Nasution, MA (Rektor IAIN Langsa dan Anggota Tim Monev Haji 2025 Kemenag RI)
Ibadah haji adalah puncak perjalanan ruhani seorang Muslim. Di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, jutaan manusia bersimpuh dalam satu tujuan: menggapai ampunan dan ridha Allah SWT. Namun, dalam era digital saat ini, momen spiritual itu kadang bercampur dengan dorongan untuk eksis—mengabadikan setiap momen ibadah dalam bentuk foto dan video, lalu membagikannya ke media sosial. Ini perlu ditinjau kembali, agar tidak mengaburkan niat awal berhaji.
Allah SWT berfirman: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah: 196)
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan ibadah haji adalah semata karena Allah. Maka keikhlasan menjadi syarat utama. Dalam tradisi ulama, ikhlas berarti membersihkan niat dari segala tujuan selain Allah, termasuk keinginan untuk dipuji atau dilihat orang.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan: “Orang yang riya dalam ibadahnya, seperti orang yang mengisi wadah dengan debu. Dari jauh tampak penuh, tetapi ketika dibutuhkan, ternyata kosong.”
Dalam konteks ini, kebiasaan memamerkan aktivitas haji lewat unggahan yang berlebihan dikhawatirkan menggerus nilai ibadah itu sendiri. Bahkan, KH. Hasyim Muzadi (almarhum), salah satu tokoh NU dan mantan Ketua Umum PBNU, pernah mengingatkan:
“Haji itu perjalanan spiritual, bukan perjalanan wisata religi. Maka jangan sampai kita tergelincir pada kesombongan simbolik.”
Begitu pula Rais Aam PBNU saat ini, KH. Miftachul Akhyar, dalam berbagai kesempatan sering mengingatkan tentang pentingnya keikhlasan dalam beramal:
“Salah satu tanda amal diterima adalah jika tidak dipamerkan. Justru amal tersembunyi lebih dekat kepada rahmat Allah.”
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Karenanya, kita perlu menjaga hati. Boleh jadi satu unggahan yang terlihat biasa saja bagi kita, justru menimbulkan perasaan riya atau takabbur, atau menimbulkan kecemburuan dan prasangka di hati orang lain yang belum diberi kesempatan berhaji.
Berhaji bukanlah lomba konten. Biarlah keheningan doa, deraian air mata, dan lelah yang terbayar dengan pahala itu menjadi rahasia antara kita dan Allah SWT.
Haji adalah perjalanan yang harus dibungkus dengan keikhlasan, bukan eksistensi. Mari kita kembalikan esensi ibadah ini: hanya untuk Allah. Karena yang benar-benar mabrur, adalah yang kembali ke tanah air dengan jiwa yang lebih rendah hati, bukan hanya galeri yang penuh dokumentasi.
Prof. Dr. Ismail Fahmi Arrauf Nasution, MA (Rektor IAIN Langsa dan Anggota Tim Monev Haji 2025 Kemenag RI)