Salah seorang petugas Wukala sedang mengatur kedatangan jemaah haji Indonesia sambil meneriakkan “Ya Hajj, Satu baris…!”
Jeddah (Kemenag) — Suara lantang itu kembali terdengar di tengah kepadatan Terminal Haji Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. “Ya Hajj… satu baris! Satu baris!” seru seorang petugas Arab Saudi berseragam wukala sambil mengangkat tangannya memberi aba-aba. Ucapannya terbata-bata, tapi jelas: dalam bahasa Indonesia.
Tanpa banyak protes, jemaah haji asal Indonesia pun langsung menata diri. Rombongan demi rombongan membentuk barisan rapi menuju ruang pavilion transit atau pun langsung menuju bus penjemputan bagi jemaah yang masuk terminal fast track. Pemandangan ini berulang setiap hari selama musim kedatangan jemaah. Dan selalu, selalu saja mengundang decak kagum.
Bagi Abdul Basir, Kepala Daerah Kerja (Kadaker) Bandara PPIH Arab Saudi 2025, ini adalah salah satu momen paling menyentuh sekaligus membanggakan dalam pengabdiannya di sektor bandara.
“Saya sudah beberapa kali bertugas di sini. Tapi tiap kali mendengar petugas lokal meneriakkan ‘satu baris’, hati saya bergetar,” kata Basir saat ditemui di sela tugasnya, Rabu (28/5/2025).
“Mereka tidak diwajibkan bisa bahasa Indonesia, tapi mereka belajar. Demi jemaah kita lho,” tutur pria asal Wonosobo itu.
Bahasa yang Menyatukan
Basir bercerita, para wukala yang merupakan petugas lokal penyedia layanan jemaah di bandara, kini rutin berlatih ucapan-ucapan penting dalam bahasa Indonesia. Kata-kata seperti satu baris, ikuti petugas, tunggu di sini, atau selamat datang ibu bapak menjadi kosakata wajib di musim haji.
“Mereka berinteraksi paling awal dengan jemaah. Jadi ketika mereka bisa bicara dalam bahasa kita, jemaah merasa lebih aman dan dihargai,” jelas Basir.
“Inilah wajah pelayanan yang saling belajar, saling menghormati,” imbuhnya.
Ketaatan yang Mencerahkan
Tentu bukan hanya karena faktor bahasa, ketertiban jemaah Indonesia pun menjadi bagian tak terpisahkan dari pemandangan inspiratif ini. Ribuan jemaah datang setiap hari, namun selalu bergerak dengan tertib. Tidak berebut, tidak gaduh, dan tidak menyulitkan.
Menurut Basir, ini adalah buah dari pembinaan panjang sejak di Tanah Air. “Mereka datang dengan kesiapan mental dan spiritual. Mereka tahu ini bukan sekadar perjalanan fisik, tapi ibadah yang memerlukan akhlak,” katanya.
Petugas wukala pun menyampaikan hal yang sama. “Indonesia jiddan muntazim (sangat tertib),” ujar salah satu petugas dengan senyum bangga.
“Kami senang melayani mereka,” sambungnya.
Sebuah Baris yang Sarat Makna
Di balik seruan “satu baris”, tersembunyi makna mendalam. Ini bukan sekadar pengaturan lalu lintas manusia di bandara, tapi gambaran harmoni antara pelayanan dan penghormatan. Antara kesiapan spiritual dan kematangan sosial.
Basir mengungkapkan, kerja di Daker Bandara bukan hal mudah. Ini titik awal segalanya: kesan pertama, tantangan teknis, dan tekanan waktu. Tapi saat semua pihak—petugas Indonesia, wukala, dan jemaah—bisa bekerja sama dengan hati, semua jadi lebih ringan.
“Kita belajar bahwa haji bukan hanya soal rukun dan syarat, tapi juga tentang saling menghormati dalam tindakan sehari-hari,” ucapnya.
Cermin Indonesia di Tanah Suci
Bagi jemaah seperti Dasti, 69 tahun, asal Indramayu, momen saat petugas Arab menyambut mereka dengan bahasa Indonesia adalah pengalaman yang mengharukan. “Ternyata bisa bahasa Indonesia ya. Tadi juga bilang, selamat datang ibu,” tutur Dasti sambil tersipu.
Dan ketika langkah demi langkah jemaah mengayun menuju bus yang membawa ke Makkah, suara itu masih terdengar…
“Ya Hajj… satu baris… satu baris…”
Suara yang kini bukan hanya pengingat arah, tapi pengingat jati diri bangsa. Ini juga simbol kedekatan dua bangsa, kala petugas Indonesia dan Arab Saudi sama-sama berseru: “Ibu.. Bapak.. satu baris.. satu baris..!”.