Sosok Paus Leo XIV terus memenuhi dunia sejak ia terpilih dalam konklaf, 8 Mei 2025. Dari semua berita dan artikel tentang Paus Leo XIV yang saya baca, artikel Ignatius Danu Kusworo “Trump dan Paus Leo XIV, Dua Amerika Terkuat di Bumi” Kompas.id (14 Mei 2025) membuat saya tergerak untuk “membagikannya kembali” dengan sedikit ‘marginalia’ dalam judul yang lebih humoris: Dari Politik ke Pulpit: Dua Amerika yang Sama-Sama Tak Bisa Dibantah.
Trump memenangi Pilpres AS pada 4 November 2024, dan sejak dilantik pada 20 Januari 2025, ia menjadi Presiden AS ke-47. Pemimpin negara superpower dunia. Saya bersepakat dengan Ignatius Danu Kusworo bahwa terpilihnya Paus Leo XIV, Paus kelahiran AS pertama, untuk memimpin 1,4 miliar umat Katolik di dunia, dapat diartikan bahwa dua orang ”paling berkuasa” di planet bumi saat ini adalah orang Amerika.
Meski siapa saja -di antara para Kardinal elektor- bisa terpilih jadi Paus, begitu besarnya kekuatan Amerika dan dominasinya dalam geopolitik dunia, menjadi semacam “hidden battle” Vatikan untuk tidak memilih seorang Amerika menduduki takhta Petrus sepanjang sejarah negara yang hampir 250 tahun itu. Mungkin itu tidak lebih dari sebuah purbasangka. Tapi bukan tanpa alasan. Gereja pernah jatuh dalam kondisi terburuk sejarahnya ketika kekuasaan Paus menyatu dengan imperium.
Terpilihnya Kardinal Robert F Prevost dari Chicago, dalam konklaf 8 Mei menjadi Paus ke-267 dengan nama Pontifical Leo XIV mematahkan keraguan itu. Apakah intuisi politik para Kardinal elektor yang menyebabkan Kardinal Prevost dipilih, atau sebaliknya Prevostlah menghadirkan dirinya sebagai seorang Amerika yang lain, sebagai cakrawala baru dengan tantangan yang menggoda?
Yang pasti Gereja Katolik percaya bahwa Roh Kudus telah membimbing konklaf untuk memilih warga AS ini menjadi penerus takhta Petrus ke-267. ”Ironi dari pemilihan Paus Leo XIV,” barangkali terletak dalam rumusan David Gibson, Direktur Pusat Agama dan Budaya Universitas Fordham, sebagaimana ditulis Danu Kusworo. Banyak orang di seluruh dunia akan melihat Paus Leo XIV sebagai tanda harapan. Sementara seorang Amerika berharap Paus Leo XIV dapat berbicara untuk negaranya daripada bertindak melawan mereka.
Apapun spekulasinya. Defacto dari politik ke pulpit, dua Amerika ini sama-sama tak terbantahkan meski dalam peran dan ranah yang berbeda. Sebagai seorang Amerika, Paus pasti terpatri di hati orang Amerika. Dan Amerika juga ada di hati Paus. Tapi hati Sang Paus tidak bergantung pada Amerika.
Trump tampil heroik dengan visi “Make America Great Again.” Untuk mewujudkan visinya, Trump tidak suka berbagi perhatian atau keutamaan sebagaimana pendekatan kebijakan luar negerinya yang ”mengutamakan Amerika.” Ia ingin mengendalikan dunia secara mekanistik. Dengan politik pragmatis ia berjuang untuk penguasaan sumber ekonomi dan kekuasaan. Ia bahkan menampilkan penormalan pameran gaya hidup dan manipulasi.
Paus Leo XIV muncul di Balkon Basilika St. Petrus dalam kepolosan menyapa kota dan dunia: “Damai Sejahtera bagi kamu”. Bagi Paus Leo XIV manusia dan dunia adalah entitas hidup yang harus dirawat secara utuh, bukan dikendalikan secara mekanistik. Karena itu ia muncul dengan menyampaikan Shalom, Damai Sejahtera yang telah dimenangkan Kristus berkat penebusan-Nya.
Damai Sejahtera ini bukanlah sekadar keadaan tenang tanpa perang. Shalom adalah keteduhan hati yang terberkati, kekuatan rahmat ilahi di tengah badai kehidupan, kegembiraan batin dalam duka derita sekalipun. Dengan shalom ini, Paus Leo XIV memperjelas arah yang ingin dituju sebagai penerus takhta Petrus: Membangun jembatan, berdialog, menerima semua orang dengan tangan terbuka dan cinta kasih. Jangan lagi ada perang.
Trump dengan segaja menciptakan suatu simulakrum untuk mengkonstruksikan citranya dan menggarap penampilan, gerak-gerik dan outfit menjadi pemimpin dunia. “Siapa pun yang tersinggung, tidak bisa menerima lelucon,” ungkap Trump dengan santai perihal gambar dirinya yang dibuat dengan AI saat berpakaian seperti paus selama hari-hari berkabung untuk Paus Fransiskus, menjawabi protes umat Katolik dan Italia. Ia tidak ambil pusing meskipun candaannya menghilangkan komunikasi otentik kemanusiaan.
Paus Leo XIV justeru memberikan pengalaman sebaliknya: Bukan citra yang membuat ia menjadi pemimpin dunia, tetapi pribadinya menciptakan citranya sendiri dan dengan itu ia membangun citra Gereja yang dipimpinnya. Kepolosan dalam penampilannya yang tidak mempersyaratkan apa-apa ini, menegaskan bahwa Paus Leo XIV adalah jenis orang Amerika yang lain di panggung dunia.
Ia mungkin seorang paus dari “dunia lain” yang dapat membimbing Gereja memasuki abad baru yang lebih terbuka melampaui chronos dan bahkan juga Kairos. Ke suatu masa depan yang layak dijadikan tujuan yang tidak sia-sia untuk menjadi kekuatan moral dalam masyarakat yang beradab.
Mungkin terlalu dini untuk mengatakan, namun penampilan Paus Leo XIV sejak pemilihannya, meyakinkan Gereja dan dunia bahwa para kardinal elektor have nothig to lose and they have everything to gain dengan memilih seorang Paus dari negeri yang mencemaskan karena selama ratusan tahun menguasai geopolitik dan ekonomi dunia. Sosok Paus Leo XIV-lah yang paling tepat memimpin Gereja Katolik saat ini, menggantikan Paus Fransiskus.
Tantangan yang dihadapi Paus Leo XIV tentulah tidak akan mudah. Dunia kini menghadapi krisis sosial dan konflik bersenjata yang tak kunjung usai. Saat perang Rusia-Ukraina dan konflik Israel-Palestina terus memanas, titik panas muncul di perbatasan India-Pakistan, serta ancaman setiap saat akibat sengketa wilayah di Laut China Selatan. Juga kecerdasan buatan yang menimbulkan tantangan baru bagi martabat dan keadilan manusia. Dan tentu saja Amerika -bangsanya- turut bermain di dalam percaturan ini.
Sebagai lembaga agama dalam dunia dengan jumlah umat terbesar, Gereja sudah merupakan “politicum” maka seorang paus dalam artian yang longgar – juga seorang politikus yang mempunyai dampak pada dunia. Bahwasannya realitas politik penuh dengan ambiguitas, godaan dan ancaman, itu tak perlu dipungkiri. Sampai tingkat tertentu, kebanyakan alienasi itu bersifat sosial yang berhubungan dengan struktur dasar sistem ekonomi dunia yang kita huni bersama.
Selaku kepala Gereja pembawa warta gembira yang mengumandangkan pembebasan semua manusia, seorang paus tidak boleh tinggal diam terhadap pesoalan yang digumuli masyarakat dunia. “Gereja memiliki tanggung jawab untuk menanggapi revolusi teknologi saat ini, sebagaimana Paus Leo XIII menanggapi revolusi industri pada masanya,” tegas Paus Leo XIV dalam pidato pelantikannya (Kabar Vatikan, 10 Mei 2025). Ini mengirimkan pesan yang jelas: keadilan sosial tetap menjadi misi utama Gereja dalam konteks apa pun.
Dan dunia tahu, Paus Leo XIV memasuki kepausan setelah mengkritik Wakil Presiden JD Vance, tokoh Katolik paling terkenal dalam politik Amerika, di media sosial. Ia berselisih dengan pemerintahan AS dalam isu-isu kebijakan, seperti imigrasi dan lingkungan. Itu merupakan kesaksian aktip dari Gereja kalau masih mau disebut Gereja Kristus yang memancarkan keadilan dan cinta kasih.
Kejutan dan kegembiraan atas pemilihan Kardinal Prevost yang tadinya tidak begitu dikenal itu, kini beralih menjadi diskusi yang kuat tentang bagaimana puncak tatanan kekuasaan global yang diisi oleh dua orang Amerika ini yang sungguh amat berbeda ini. Apakah Paus Leo XIV akan mampu menghadapi dan menaklukkan tantangan zaman?
Trump muncul dengan slogan: “Berjuang!” Paus Leo XIV muncul dengan Shalom Damai bagi dunia. Mungkinkan Paus Leo XIV orang Amerika yang satu ini mempengaruhi orang Amerika yang lain (Trump) untuk bergandengan tangan “Berjuang mewujudkan perdamaian abadi dan keadilan sosial” tanpa kehilangan identitas dan jati diri serta tugas dan ranah kepemimpinan masing-masing yang memang berbeda dan khas?
Politik adalah Kunst des Moeglichen, the art of the possible, seperti kata Bismarck, suatu Well des Moeglichen, the world of possible. Tapi karya Tuhan selalu penuh kejutan. Seperti kata rasul Paulus kepada umat di Efesus, “kita jangan membatasi karya Allah dengan sempitnya pola pikir kita, biarlah Allah bekerja menurut kehendak-Nya, sesuai dengan kekayaan dan kemuliaan-Nya.”
Misa inaugurasi Paus Leo XIV, bukan hanya menjadi momentum spiritual, tetapi juga politik global, di mana para pemimpin dunia dan bangsawan berkumpul untuk menyaksikan awal kepemimpinan Paus Leo XIV. Juga menjadi ajang pertemuan diplomatik sejumlah kepala negara termasuk Presiden AS, yang diharapkan membawa perubahan positif bagi dunia.
Mungkin inilah waktunya bagi dunia untuk melihat bukan siapa yang memimpin, tetapi bagaimana mereka membawa perubahan menuju masa depan yang lebih baik. Dari Politik ke Pulpit: Dua Amerika yang Sama-Sama Tak Bisa Dibantah.
“In God We Trust.” Semboyan ini pertama kali muncul pada koin AS pada tahun 1864 dan secara resmi menjadi moto nasional AS pada tahun 1956. Selain itu, Amerika Serikat juga memiliki semboyan historis yang terkenal, yaitu “E Pluribus Unum” yang mencerminkan persatuan berbagai negara bagian dalam satu kesatuan negara. Dua semboyan ini mencerminkan identitas nasional AS, dengan fokus pada kepercayaan serta persatuan.
Moto kepausan Paus Leo XIV adalah “In Illo Uno Unum”. Dalam Yang Esa, kita adalah satu. Moto yang berasal dari Santo Agustinus ini mencerminkan nilai-nilai yang ingin dipromosikan Paus Leo XIV selama masa kepemimpinannya, yaitu persatuan dan persekutuan dalam Gereja dan dalam iman, sebagaimana dijelaskan dalam refleksi Santo Agustinus tentang Mazmur 127: “Meskipun kita banyak, dalam Kristus yang satu, kita adalah satu.”.
Kejutan dan kegembiraan atas pemilihan kardinal yang tadinya tidak begitu dikenal itu, kini beralih menjadi diskusi yang kuat tentang bagaimana puncak tatanan kekuasaan global yang diisi oleh dua orang Amerika yang sungguh amat berbeda ini.
Kita berdoa. Semoga perjalanan dua Amerika terkuat di bumi ini membawa kita lebih dekat pada dunia yang tidak lagi diwarnai oleh perpecahan, tetapi oleh keberanian untuk bersatu. Bersama membangun jembatan dialog yang saling mengangkat dalam keterlibatan politik dunia yang berakar pada kadilan sosial dalam konteks apapun. (*)
JB Kleden – (Dosen Program Studi Kepemimpinan Kristen pada Institut Agama Kristen Negeri Kupang)