Pagi itu, langkahku terasa ringan namun jantungku berat. Berat oleh rindu yang bertahun-tahun disimpan. Rindu yang mengental dari setiap kali sujud di tanah air, yang mengarah ke titik yang belum pernah kutapaki. Hari ini, untuk pertama kalinya, aku melangkah masuk ke pelataran Masjidil Haram. Tempat di mana arah ribuan salatku selama puluhan tahun bermuara. Di sinilah, jantung spiritual Islam berdetak: Ka’bah.
Ketika kubentangkan pandangan dan melihat Ka’bah berdiri hitam pekat seperti batu obsidian yang jatuh dari langit, air mata tak terbendung. Ada getaran yang tak bisa dijelaskan. Barangkali, ini bukan hanya bangunan. Ia adalah simbol agung dari keterhubungan manusia dengan Tuhan—dari Adam hingga Muhammad, dari Ibrahim hingga aku yang kerdil ini. Istriku, Maya, juga tak kuasa membendung tangisnya. Di titik ini, kami tahu: kami telah sampai ke pusat semesta spiritual kami.
Ka’bah bukan hanya bangunan kotak berlapis kiswah hitam yang menjadi kiblat umat Islam. Ia adalah monumen tauhid pertama. Dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 96, disebutkan: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat ibadah manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” Menurut banyak ulama, termasuk Imam Al-Qurtubi, Ka’bah dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan Ismail setelah sebelumnya didirikan oleh Nabi Adam. Maka tidak heran jika Haji menjadi rukun Islam kelima—sebuah ikatan warisan spiritual lintas zaman.
Hari itu, kami memulai rangkaian ibadah umrah wajib sebagai bagian dari haji tamattu. Tawaf menjadi awalnya. Kami mengelilingi Ka’bah tujuh kali, berdesakan dengan ribuan umat dari segenap penjuru bumi. Tapi tak ada keluh. Yang ada hanya hening dan kesyahduan. Bagaikan elektron mengelilingi inti atom, kami hanyut dalam pusaran zikir yang tak putus. Di garis sejajar dengan Hajar Aswad, kami dianjurkan membaca: “Bismillahi Allahu Akbar”—Dengan nama Allah, Allah Maha Besar.
Hajar Aswad sendiri memiliki sejarah panjang. Konon batu ini berasal dari surga, diturunkan kepada Nabi Adam sebagai penanda tempat ibadah pertama. Ketika Ka’bah dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim, Hajar Aswad ditempatkan kembali di salah satu sudut bangunan. Ia bukan untuk disembah, tapi disentuh sebagai jejak kesetiaan kepada tradisi para nabi.
Yang mengagumkan adalah meski jumlah jamaah yang hadir ratusan ribu, mereka mengelilingi Ka’bah dan melakukan sai dalam desakan yang padat, namun tak ada kemarahan atau saling bersitegang. Seperti ada bisikan gaib yang menyadarkan semua bahwa di tanah suci ini, di tanah kota kelahiran para nabi, tak boleh ada amarah dan kesombongan. Semua harus merasa sama, semua adalah hamba di hadapan Tuhan. Dalam pusaran itu, batas antara suku, bangsa, dan bahasa lenyap. Hanya pakaian ihram putih dan hati yang berserah.
Dan pada pagi hari, ketika langit Mekah mulai menyingsing, ada pemandangan yang mencengangkan: ribuan burung terbang melingkar di atas kepala para jamaah. Mereka seolah-olah ikut menyambut para tamu Allah. Mereka beterbangan dengan irama yang serasi, seperti mengikuti koreografi langit. Anehnya, ketika jamaah mulai meninggalkan pelataran Ka’bah, burung-burung itu perlahan menghilang. Padahal, tanah ini tandus, nyaris tak memiliki pohon rindang. Dari mana mereka datang? Mengapa mereka hadir hanya di waktu-waktu tertentu?
Burung-burung itu mengingatkanku pada kisah burung Ababil. Kisah yang tak hanya terukir dalam folklore, tapi termaktub dalam Al-Qur’an, Surah Al-Fil. Ketika Raja Abrahah dari Yaman hendak menghancurkan Ka’bah dengan pasukan gajah, Allah mengutus segerombolan burung Ababil. Mereka membawa batu dari neraka dan menghancurkan pasukan besar itu. “Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Tuhanmu bertindak terhadap tentara bergajah? … Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung Ababil yang melempar mereka dengan batu dari sijjil” (Al-Fil: 1–4).
Kisah itu bukan hanya tentang kekuatan Tuhan. Tapi tentang penjagaan-Nya terhadap simbol tauhid. Hari ini, burung-burung yang terbang itu seperti gema abadi dari kisah tersebut. Bukan untuk menghancurkan, tapi menyambut, memberi teduh dan damai.
Seusai tawaf, kami melanjutkan dengan sai—lari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Di sinilah kisah perempuan luar biasa terabadikan: Hajar, ibu dari Nabi Ismail. Dalam kehausan dan keputusasaan, ia berlari mencari air bagi bayinya. Dari kegigihannya, muncullah mata air zamzam yang hingga kini tak pernah kering. Sai adalah peringatan bahwa perjuangan seorang ibu dalam pengabdian kepada Tuhan bisa menjadi ritual sakral. Kata Imam Al-Ghazali, “Di balik gerak tubuh ada gerak jiwa. Hajar bukan hanya lari mencari air, tapi lari menuju harapan.”
Sai adalah kisah iman dan ketekunan. Ia mengajarkan bahwa kadang, harapan tak ditemukan dalam satu arah saja. Kita harus menjemputnya dengan usaha dan pasrah dalam waktu yang sama. Begitulah ajaran haji—sebuah dialog hening antara kehendak manusia dan takdir Tuhan.
Jelang subuh, kami menyudahi rangkaian ibadah. Masjidil Haram mulai berselimut cahaya fajar. Aku salat Subuh di depan Ka’bah. Di hadapan rumah Tuhan itu, tak ada kata yang cukup menggambarkan syukurku. Kenikmatan yang melimpah ruah, seperti mata air yang tiba-tiba memancar di gurun gersang hatiku. Tuhan, terima kasih. Kau izinkan aku bersujud di hadapan-Mu, di tempat yang menjadi pusat sujud seluruh Muslim di dunia.
Pulang ke hotel Zahrat Al Saad 3, aku merasa ringan. Seperti karung-karung beban hidup perlahan dicopot dari pundak. Hati terasa sejuk dan teduh. Di usia senja, aku ingin lebih dekat dengan Tuhan. Aku ingin menjadi seperti Ibrahim yang rela meninggalkan segalanya demi panggilan-Nya. Atau seperti Hajar, yang yakin bahkan dalam ketidakpastian.
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah pernah berkata: “Haji adalah perjalanan ke rumah-Nya. Tapi hakikat haji adalah perjalanan ke hati kita sendiri.” Dan benar adanya. Sayangnya, banyak orang yang pulang dari tanah suci, namun tak terlihat bekas haji pada dirinya. Tak ada revolusi batin, tak ada jejak ibadah dalam laku sosial. Padahal, semestinya haji adalah tonggak transformasi. Ia seharusnya membentuk jiwa yang rendah hati, bukan membentuk gelar tambahan di belakang nama.
Ada pula yang menunaikan haji berkali-kali, namun masih bersikap angkuh dan memandang dunia dengan keserakahan yang sama. Padahal, secara psikologis dan spiritual, haji adalah momentum pelepasan ego. Ketika mengenakan ihram, manusia meletakkan segala simbol status, harta, dan kehormatan dunia. Dalam pakaian putih tanpa jahitan itu, semua sama di hadapan Tuhan. Inilah puncak keberagamaan yang seharusnya melahirkan empati, bukan keangkuhan; kepasrahan, bukan kehendak dominasi.
Haji adalah ziarah jiwa. Sebuah proses pembakaran hawa nafsu dan pembersihan batin. Seorang psikolog Muslim modern, Dr. Malik Badri, menyebut haji sebagai bentuk “terapi spiritual paling mendalam”—karena ia melibatkan tubuh, pikiran, dan jiwa secara bersamaan. Dalam haji, ada aspek katarsis: melampiaskan tangis, membongkar luka, menyampaikan keluhan kepada langit, dan akhirnya menerima kembali hidup dengan dada lapang.
Dan ketika aku duduk memandangi Ka’bah dalam diam, aku merenungi perjalanan hidupku yang telah melewati enam dekade. Ya Tuhan, betapa banyak dosaku, betapa besar kelemahanku, namun Engkau masih berkenan memanggilku ke rumah suci-Mu. Aku malu, sebenarnya, untuk meminta, untuk mengadukan sesuatu. Tapi aku tahu dan aku yakin: Engkau Maha Mendengar, Maha Pengampun. Engkau tak menolak siapa pun yang datang, bahkan orang seperti aku. Dalam hati yang hancur dan pasrah ini, aku hanya ingin Engkau menerimaku… sebagai hamba yang pulang.
Pergi haji di masa lalu adalah kemewahan spiritual yang hanya bisa diraih segelintir orang. Perjalanannya bisa lebih dari enam bulan, menempuh samudra dengan kapal laut. Mereka yang berangkat sering tak kembali. Naik haji adalah pamitan. Dan bagi sebagian besar, meninggal di tanah suci dianggap sebagai anugerah, sebab ganjarannya adalah surga.
Ayahku tak sempat menikmati kehormatan itu. Ia wafat pada tahun 1974, seorang petani sederhana dengan sepuluh anak yang masih kecil-kecil. Ia menunda haji karena lebih memikirkan pendidikan anak-anaknya. Ketika ia berpulang, kami belum siap berdiri sendiri. Tapi kini, saat aku berdiri di tanah haram ini, aku akan menunaikan umrah untuk ayahku. Aku masih lama di kota suci ini. Waktu masih panjang. Semoga ruhnya damai di sisi-Nya. Semoga ini menjadi amal kecilku untuk lelaki yang hidup dalam kesunyian sawah dan kerja keras yang tak kenal lelah.
Elza Peldi Taher (Jemaah Haji Kloter 47, Tangerang Selatan, Banten)