Bersamaaan dengan pelaksanaan ibadah haji di tanah suci, umat Islam yang tidak sedang berhaji disunahkan untuk mengerjakan sejumlah ibadah, antara lain puasa sunah Arafah, sholat Idul Adha, dan menyembelih hewan kurban. Keseluruhan ini termasuk dalam rangkaian hari raya “Idul Adha”. Perayaan ini erat kaitannya dengan peristiwa besar yang dialami oleh Ibrahim ‘alaihis salam (a.s.) ketika diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putera tersayangnya, Ismail.
Secara etimologis Idul Adha dapat dijelaskan sebagai berikut. “Id” berarti perayaan atau kembali dan “adha” bentuk jamak dari “udhiyah” yang berarti hewan kurban. Disebut demikian karena hari raya ini ditandai dengan penyembelihan hewan kurban yang selalu dirayakan kembali setiap tahunnya. Idul Adha disebut dengan Hari Raya Kurban karena ada persembahan berupa penyembelihan hewan ternak untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
“Kurban” berasal dari bahasa Arab yang berarti persembahan, pengorbanan, atau kedekatan/mendekatkan diri kepada Tuhan. (Lihat Q.S Al-Maidah/5: 27 tentang kisah dua orang putera Adam a.s. yang melakukan persembahan kepada Allah SWT. Satu diterima dan satunya ditolak. Yang diterima karena dilakukan atas dasar takwa). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti: 1) persembahan kepada Allah (seperti sapi, kambing, domba, kerbau yang disembelih pada Hari Raya Idul Adha), 2) sesuatu yang dikorbankan (nyawa, jiwa, dsb) demi mencapai maksud tertentu.
Dari kata “kurban” diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “korban”. Dalam KBBI “korban” memiliki arti, antara lain: 1) orang, binatang, atau sesuatu yang dibinasakan (dengan cara dipenggal, dibakar, atau ditenggelamkan) sebagai persembahan kepada Tuhan, dewa, dsb. 2) barang yang sengaja diberikan untuk menunaikan suatu nazar atau maksud keagamaan lainnya. Jika dikaitkan dengan kata asalnya maka dapat ditemukan hubungannya bahwa untuk mendekatkan diri kepada (apa/siapa saja yang hendak dituju) dibutuhkan pengorbanan (apapun bentuknya).
Menikmati Ujian
Ismail bagi Ibrahim a.s. adalah karunia Allah SWT yang luar biasa. Ismail lahir dari doa dan harapan panjang melalui rahim istrinya, Hajar, di saat usia Ibrahim a.s. sudah tidak muda lagi. Sulit digambarkan betapa besarnya cinta Ibrahim a.s. kepada puteranya, Ismail.
Di tengah kebahagiaannya ujian datang menghampiri. Ibrahim a.s. harus membawa sang bayi beserta ibunya keluar dari tanah kelahiran, Syam, atas permintaan Sarah, istri pertama Ibrahim a.s. yang cemburu karena perhatian Ibrahim a.s. beralih kepada Ismail dan ibunya, Hajar. Allah menuntun mereka sampai ke tempat yang sangat jauh. Tibalah mereka di suatu lembah tandus yang disebut Bakkah (sekarang: Mekah). Hanya mereka berdua, tidak ada yang lain. Dengan hanya dibekali sedikit makanan dan air, Ibrahim a.s. meninggalkan Hajar bersama bayinya.
“Wahai Ibrahim! kemana engkau hendak pergi meninggalkan kami di lembah yang tidak berpenghuni dan tidak ada apapun di sini?” seru Hajar berulang-ulang. Ibrahim a.s. bergeming. Tak kuasa dia untuk menjawabnya. Ia khawatir jawabannya menyakiti hati istrinya. Sungguh berat ujian yang diterima. “Apakah Allah yang memerintahkan hal ini kepadamu?” “Benar.” jawab Ibrahim dengan tegas. Hajar menimpali, “kalau begitu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” (HR Bukhari nomor 3364). Kemudian, Ibrahim a.s. meninggalkan istri dan buah hatinya untuk kembali lagi ke Syam seraya menengadahkan tangannya dan berdoa kepada Allah SWT (Q.S. Ibrahim/14: 37).
Ujian sangat berat datang kembali ketika Ismail menginjak usia remaja. Ibrahim a.s. bermimpi agar dia menyembelih putera kesayangannya itu. Mulanya Ibrahim ragu dengan mimpinya sampai akhirnya mimpi itu terulang kembali dan membuatnya yakin bahwa mimpi itu wahyu Allah SWT.
“Wahai anakku, sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?” kata Ibrahim a.s. “Wahai ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah engkau mendapatiku termasuk orang yang bersabar atas keputusan ini.” Dialog anak dan ayah yang diabadikan dalam Q.S. al-Shaffat/37: 102 sungguh mengaduk-aduk emosi. Dialog yang sarat dengan makna. Seorang ayah dengan keyakinan penuh atas perintah Allah harus minta persetujuan kepada puteranya yang bakal menjadi “calon” korbannya. Dan sang anak karena patuh dan yakin bahwa ayahnya mencintainya merelakan diri untuk dikorbankan.
Ibrahim dan Ismail adalah pribadi teladan bagaimana hubungan ayah-anak terjalin. Ibrahim sadar akan hak anak untuk memahami akibat dari tindakan yang diambilnya. Jika Ibrahim melakukannya serta merta, maka tindakannya didorong oleh ego, bukan karena cinta. Atas dasar kecintaanya untuk melaksanakan perintah Sang Maha-Cinta, pengorbanan mereka tidak sia-sia. Allah menggantinya dengan sembelihan yang besar (dzabhun ‘adziim)
Konteks Sosial
Perintah Allah kepada Ibrahim a.s. untuk menyembelih puteranya terjadi di tengah masyarakat yang menganut paganisme dimana praktik pengorbanan binatang, hasil bumi, dan bahkan manusia kepada dewa-dewa adalah ritual yang lazim terjadi. Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 2000) dalam penjelasannya tentang Q.S. al-Shaffat/37: 102-107 menyebutkan bahwa kaum terdahulu biasa mengorbankan manusia kepada dewa-dewa mereka, terutama anak sulung.
Praktik seperti ini sudah merata di berbagai belahan pusat peradan dunia ketika itu, seperti Mesopotamia, Kanaan, dan Mesir bahwa pengorbanan manusia, termasuk anak-anak adalah bentuk dedikasi tertinggi dalam paganisme (Frazer, 1922). Al-Qur’an mengabarkan realitas sosial ini seperti tersirat di dalam Surat al-An’am/6: 137.
Keimanan yang tulus mendorong Ibrahim dengan sepenuh hati berusaha meraih cintanya Sang Maha-Cinta. Ketika mereka berdua menunjukkan totalitas penghambaan atas ketetapan Tuhan, saat itulah Allah menunjukkan cinta-Nya atas perbuatan baik mereka (melaksanakan perintah Tuhan).
Berbeda dengan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada masanya, peristiwa yang dialami oleh Ibrahim a.s. mengoreksi praktik yang terjadi bahwa sebuah tindakan itu harus lahir dari tuntunan iman, bukan nafsu. Jika bukan karena iman, yang dilakukan oleh Ibrahim sama saja dengan praktik yang sudah umum terjadi. Semuanya akan berakhir dengan kesia-siaan.
Ketika di balik pengorbanan masih terselip keinginan untuk mendapatkan keuntungan atau menghindari kerugian, sebenarnya itu bukan tindakan cinta, melainkan dorongan ego yang mengkonstruksi keabsahan imaginer dalam pikiran manusia. Tindakan cinta tidak membutuhkan alasan, selain cinta itu sendiri. Darah dan daging tidak mencapai (keridlaan) kepada Allah, tetapi takwa dan ketulusan cinta yang mengantarkannya (Q.S. al-Hajj/22: 37). Oleh karena itu, ketika menerima perintah penyembelihan, Ibrahim a.s. tidak pernah takut akan kehilangan anak yang dicintainya, Ismail.
“Jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena berharap surga, haramkan surga untukku, dan jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu jangan Engkau hilangkan keabadian-Mu dariku,” kata seorang Sufi perempuan kenamaan, Rabi’ah al-Adawiyah (Margareth Smith, 1928). “Cinta adalah kekuatan yang menggerakkan seluruh semesta menuju asalnya: Tuhan. Cinta menyembuhkan, menghancurkan ego, dan mempersatukan jiwa dengan Yang Mutlak,” demikian kata Jalaluddin Rumi (Reynold A. Nicholson, 1940).
Itulah sebabnya Idul Adha patut dirayakan. Bukan karena adegan penyembelihan dan melimpahnya daging kurban, melainkan pada simbol kemenangan cinta atas ego. Cinta siap dengan pengorbanan, ego mencari korban atau yang dikorbankan. Cinta bisa menghidupkan (hati) yang mati, ego mematikan nurani. Wallahu a’lamu.
Syafi’i (Kepala Pusbangkom Manajemen, Kepemimpinan dan Moderasi Beragama Kemenag)