Investigasi terbaru mengungkap bahwa Kepolisian New Orleans telah menggunakan teknologi pengenalan wajah secara terus-menerus untuk mencari tersangka selama dua tahun terakhir tanpa pengawasan yang memadai.
Temuan ini mencuat setelah laporan dari The Washington Post mengungkap bahwa departemen kepolisian setempat memanfaatkan jaringan kamera milik pribadi untuk mengidentifikasi dan melacak individu yang dicurigai, tanpa mematuhi regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah kota.
Dikutip Engadget, Rabu (21/5/2025), sejak diberlakukannya peraturan kota pada tahun 2022, penggunaan teknologi pengenalan wajah oleh aparat kepolisian seharusnya dibatasi hanya untuk pencarian tersangka dalam kasus kejahatan kekerasan, dengan kewajiban untuk melaporkan setiap penggunaan sistem tersebut kepada dewan kota.
Namun, laporan investigasi menunjukkan adanya penyimpangan signifikan terhadap aturan ini, di mana pihak kepolisian tidak mengungkapkan ketergantungan mereka pada teknologi pengenalan wajah dalam berbagai dokumen resmi terkait penangkapan. Lebih mengkhawatirkan lagi, tidak ada satu pun dari kasus yang melibatkan teknologi ini yang dicantumkan dalam laporan wajib yang diajukan kepada dewan kota.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi serta perlindungan privasi publik. Nathan Freed Wessler, Wakil Direktur dari American Civil Liberties Union (ACLU), menyoroti bahwa praktik semacam ini berpotensi mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan pemerintah.
“Ini adalah skenario mimpi buruk yang selama ini kami peringatkan. Pemerintah memberikan dirinya sendiri kekuasaan tanpa batas untuk melacak siapa pun dan dalam hal ini, seluruh masyarakat saat mereka menjalani kehidupan sehari-hari di ruang publik,” ujar Wessler.
Lebih jauh, Wessler menyebut bahwa ini adalah kasus pertama yang diketahui di kota besar Amerika Serikat di mana polisi secara sistematis menggunakan pengenalan wajah berbasis kecerdasan buatan dalam umpan kamera langsung untuk mengidentifikasi individu secara real-time demi tujuan penangkapan segera.
Temuan ini semakin memperkuat kekhawatiran bahwa teknologi pengawasan yang seharusnya digunakan dalam batasan hukum, justru dioperasikan dengan cara yang tidak transparan dan berpotensi melanggar hak privasi masyarakat.
Penggunaan teknologi pengenalan wajah oleh aparat penegak hukum telah menjadi topik perdebatan selama bertahun-tahun. Meskipun beberapa pemerintah daerah dan negara bagian telah menerapkan peraturan ketat terkait penggunaan teknologi ini, pengungkapan terbaru menunjukkan bahwa regulasi semacam itu tidak akan efektif jika terus diabaikan oleh pihak yang seharusnya menegakkannya. Kepercayaan publik terhadap sistem penegakan hukum menjadi semakin tergerus ketika mekanisme pengawasan tidak dijalankan secara transparan.
Seiring dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap pengawasan berbasis AI, para pakar kebijakan menekankan perlunya regulasi yang lebih kuat dan mekanisme kontrol yang lebih ketat terhadap penggunaan teknologi ini.
Tanpa pengawasan yang akurat serta kepatuhan terhadap regulasi, teknologi pengenalan wajah yang seharusnya membantu meningkatkan keamanan dapat berubah menjadi alat pemantauan yang menekan kebebasan individu dan melanggar hak dasar masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.
Kasus di New Orleans ini menjadi peringatan penting bagi kota-kota lain yang mempertimbangkan penerapan sistem pengenalan wajah dalam sistem keamanan publik mereka.
Kejelasan regulasi serta transparansi dalam pelaksanaannya harus menjadi prioritas utama untuk memastikan bahwa teknologi ini digunakan dengan tujuan yang benar dan tetap menghormati hak privasi warga negara.