Fadhly Azhar (ASN Direktorat Pesantren, Kemenag)
Setiap 20 Mei, bangsa Indonesia mengenang tonggak sejarah Kebangkitan Nasional—momen ketika kesadaran kolektif tentang pentingnya persatuan dan kemandirian mulai menyala. Namun, peringatan ini tak boleh membeku dalam seremoni tahunan. Ia harus menjadi ruang evaluatif sekaligus momentum untuk menata ulang arah kebangkitan: dari semata-mata pembebasan politik menuju pembebasan ekologis dan spiritual.
Dalam konteks ini, pesantren sebagai institusi pendidikan dan dakwah Islam klasik, memiliki posisi yang tak tergantikan. Pesantren bukan hanya lembaga yang mentransmisikan ajaran agama, tetapi juga pusat hikmah hayati—kebijaksanaan hidup yang diwariskan para ulama melalui kitab-kitab turats. Di sinilah akar bagi dakwah ekologis bisa tumbuh: dakwah yang tidak hanya membimbing umat kepada keselamatan akhirat, tapi juga kepada keselamatan bumi.
Turats dan Ekosentrisme Islam: Perspektif Klasik yang Relevan
Dalam tradisi turats, para ulama klasik telah menempatkan relasi manusia dan alam dalam satu kesatuan spiritual. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, misalnya, Imam al-Ghazali menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) sebagai pintu untuk membangun harmoni dengan semesta. Jiwa yang bersih tidak akan menebang pohon tanpa alasan, tidak akan mencemari sungai, dan tidak akan menggali bumi tanpa pertimbangan maslahat.
Lebih jauh lagi, Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Miftah Dar as-Sa’adah mengajukan prinsip al-‘adl (keadilan) sebagai hukum alam yang universal. Alam rusak karena manusia melampaui batas—zulm. Maka menjaga lingkungan adalah bentuk keadilan ekologis; dan kezaliman terhadap bumi adalah dosa sosial.
Konsep ini berpadu dengan teori maqashid al-syari‘ah yang dikembangkan Imam al-Syatibi. Salah satu tujuan syariat adalah menjaga nafs (jiwa) dan maal (harta), yang dalam konteks ekologis bisa diperluas menjadi menjaga keberlanjutan kehidupan dan sumber daya alam. Di sinilah pesantren bisa mengambil peran strategis: menyambungkan kembali ajaran fikih dengan dimensi kosmologis dan ekologis Islam.
Pesantren sebagai Motor Kebangkitan Ekologis
Pesantren memiliki warisan pedagogi yang selaras dengan prinsip keberlanjutan. Tradisi hidup sederhana, mandiri pangan, dan berbasis komunitas menjadikan pesantren sebagai model “ekosistem pendidikan” yang tidak hanya mendidik akal, tetapi juga menanamkan sikap hidup berkesadaran. Kini, tantangannya adalah mentransformasikan nilai-nilai ini ke dalam gerakan dakwah ramah lingkungan yang lebih terstruktur.
Sebagian pesantren telah memulai langkah-langkah kecil: pertanian organik, pengolahan sampah mandiri, konservasi air dan energi. Ini semua adalah bentuk mu’āmalah baru yang mengekspresikan maqashid dakwah dalam dimensi ekologis. Artinya, dakwah tidak lagi dibatasi pada mimbar dan majelis, tapi menjelma dalam tindakan konkret menjaga bumi. Di sinilah pesantren berperan membumikan kembali akhlak Islam sebagai jalan kebangkitan ekologis.
Integrasi Dakwah dan Teori Ramah Lingkungan Klasik
Tradisi pemikiran lingkungan klasik seperti land ethic dari Aldo Leopold yang menekankan “kesetaraan moral antara manusia dan alam” sebenarnya memiliki resonansi kuat dengan prinsip khilafah fil-ardh dalam Islam. Sebagai khalifah, manusia tidak memiliki hak absolut atas bumi, melainkan amanah untuk merawatnya. Ini sangat serupa dengan konsep deep ecology oleh Arne Naess yang memandang seluruh makhluk hidup memiliki nilai intrinsik.
Dalam Islam, nilai ini disebut karamah—bukan hanya milik manusia, tetapi juga milik seluruh ciptaan Allah. Seperti disebut dalam QS. Al-An’am:141, manusia diperintahkan untuk tidak melampaui batas ketika memanen hasil bumi. Ini adalah bentuk dari prinsip keseimbangan (mīzān) yang sangat ekologis.
Ketika prinsip-prinsip ini dihidupkan kembali melalui narasi dakwah pesantren, maka akan lahir wajah baru dari kebangkitan nasional—yakni kebangkitan yang tidak lagi antroposentris, tetapi ekosentris dan holistik.
Menuju Gerakan Nasional Pesantren Ramah Lingkungan
Saat ini Indonesia menghadapi krisis lingkungan yang makin nyata: banjir, kekeringan, deforestasi, dan pencemaran. Di tengah tantangan tersebut, pesantren dapat menjadi simpul peradaban alternatif yang menawarkan model hidup thayyib—baik dan ramah bumi. Perlu dorongan kebijakan dari negara agar gerakan pesantren ramah lingkungan menjadi bagian dari desain besar pembangunan berkelanjutan nasional.
Gerakan ini tidak sekadar teknis, tetapi ideologis. Ia lahir dari kesadaran bahwa bumi bukan komoditas, tapi amanah. Ia juga merupakan bentuk jihad kultural—menyelamatkan masa depan dari bahaya ekosida melalui pendidikan moral dan spiritual. Inilah yang membuat pesantren tetap relevan dalam membangun Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat secara ekologis.
Kebangkitan dari Hati, untuk Bumi
Kebangkitan Nasional tidak bisa hanya dibatasi dalam tafsir historis. Ia harus ditarik ke masa kini dan masa depan—sebagai gerakan menyelamatkan bangsa dan bumi secara bersamaan. Dan pesantren, sebagai institusi yang mengakar kuat dalam spiritualitas dan kearifan lokal, memegang kunci penting dalam proses ini.
Dakwah tidak boleh berhenti di atas mimbar. Ia harus turun ke sawah, ke sungai, ke hutan—menyapa semesta sebagai bagian dari makhluk Allah yang patut dihormati. Maka, ketika kita memperingati Kebangkitan Nasional, marilah kita niatkan untuk bangkit bersama bumi, bersama pesantren, dan bersama nilai-nilai turats yang kita warisi dengan penuh hikmah.
Fadhly Azhar (ASN Direktorat Pesantren, Kemenag)