Ribuan jemaah haji Indonesia saat ini sudah berada di Tanah Suci Mekkah dan Madinah termasuk jemaah haji asal Provinsi Aceh, sebagian telah berangkat ke Tanah Suci mulai 18 Mei 2025.
Tahun ini ada 4.378 jemaah haji asal Aceh yang akan melaksanakan ibadah haji. Mereka terbagi dalam 12 kelompok terbang (kloter) dan termasuk dalam gelombang kedua keberangkatan seperti tahun sebelumnya. Jemaah Aceh akan terlebih dahulu menuju Makkah hingga selesai puncak haji, kemudian sekitar 8 atau 9 hari sebelum kepulangan, mereka akan bergerak ke Madinah.
Menjadi bagian dari jemaah haji merupakan sebuah kehormatan, kemuliaan, sekaligus karunia agung dari Allah SWT. Karena tidak semua orang mendapat kesempatan istimewa ini. Mereka adalah tamu-tamu Allah yang diundang langsung oleh-Nya untuk beribadah di Tanah Suci, Makkah Al-Mukarramah, serta menziarahi makam Baginda Rasulullah SAW di Madinah Al-Munawwarah.
Ini adalah panggilan mulia, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Hajj ayat 27:
“Dan serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27).
Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Para haji dan orang yang berumrah adalah tamu-tamu Allah. Jika mereka berdoa kepada-Nya, Allah akan mengabulkannya. Dan jika mereka meminta ampun, Allah akan mengampuninya.”
Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat dahsyat, membutuhkan kemampuan fisik, finansial dan kesabaran. Termasuk juga sabar menunggu antrian selama bertahun-tahun. Ia merupakan ibadah badaniyah, ibadah ruhaniyah, dan juga ibadah maliyah, serta salah satu ibadah yang paling baik sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadisnya.
Tentu, berbagai persiapan maksimal dan bekal terbaik telah dilakukan oleh jemaah sebagai bentuk ikhtiar untuk kesempurnaan dalam pelaksanaan ibadah haji tahun ini.
Fokus Ibadah di Tanah Suci
Menjadi tamu Allah dan berada di tempat yang mulia serta waktu yang istimewa adalah momen berharga yang harus dimanfaatkan untuk beribadah secara maksimal dan khusyuk.
Jemaah hendaknya fokus menjalani rangkaian manasik (amalan) haji, serta menghindari kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan ibadah, apalagi dalam cuaca yang panas berbeda dengan di tanah air. Menjaga kesehatan pun menjadi hal yang sangat penting.
Begitu juga dalam menghadapi berbagai dinamika lainnya disana, baik itu akomodasi,konsumsi, transportasi dan juga keramaian, khususnya saat puncak haji. Maka perlu kesiapan dalam menghadapi beberapa kondisi tersebut dengan tetap sabar, kompak dan saling membantu. Karena kepedulian, kepekaan terhadap lingkungan dan kerendahan hati menjadi salah satu wasilah meraih haji yang mabrur.
Fokus utama ibadah haji adalah melaksanakan amalan-amalan secara ikhlas, mulai dari rukun, wajib, sunnah, hingga amalan lainnya yang dianjurkan. Jemaah tidak perlu terlalu sibuk dengan hal-hal duniawi seperti belanja berlebihan atau jalan-jalan yang bisa melalaikan dari tujuan utama. Bukan tidak boleh, tapi jangan sampai menguras stamina yang sangat dibutuhkan untuk melaksanakan puncak ibadah haji.
Di Tanah Suci, jemaah hendaknya meningkatkan ketakwaan dan memperbaiki hubungan spiritual dengan Allah SWT melalui amalan kebaikan seperti zikir, shalawat, membaca Al-Qur’an dan amaliah lain yang dianjurkan, serta berbuat baik kepada sesama dan meninggal perdebatan.
Bagi jemaah lanjut usia atau yang memiliki keterbatasan fisik, tidak perlu memaksakan diri mengejar amalan sunah yang bisa berdampak buruk bagi kesehatan. Umrah berulang-ulang sebaiknya tidak dilakukan jika kemampuan fisik tidak memungkinkan. Lebih baik mempersiapkan tenaga untuk puncak ibadah haji.
Momen Ibadah haji ini sejatinya menjadi ajang latihan spiritual untuk memperkuat hubungan vertikal (hablum minallah) dan horizontal (hablum minannas). Haji adalah proses pembinaan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Kesempatan untuk membersihkan hati dari kesombongan, ego, dan sifat-sifat tercela, lalu menggantinya dengan akhlak mulia dan kepedulian sosial.
Karena itu, penting bagi para jemaah untuk memahami dan menyiapkan bekal manasik secara utuh, bukan hanya teknis, tapi juga makna dan nilai-nilai filosofisnya. Jika semua tahapannya dipahami secara mendalam, ibadah ini akan melahirkan pribadi yang lebih taat, peduli, dan penuh kebaikan.
Haji bukan hanya soal menunaikan syarat dan rukun, tapi juga merenungi makna di balik tiap amalan. Misalnya, tawaf mengajarkan kesetaraan dan ketundukan, di mana semua orang melebur dalam gerakan yang sama tanpa memandang status sosial, warna kulit, atau jabatan.
Mengharap Haji Mabrur
Setiap jemaah tentu mendambakan haji yang mabrur, yakni haji yang diterima oleh Allah dan membuahkan kebaikan. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa balasan bagi haji yang mabrur adalah surga.
Dalam panduan manasik haji Kementerian Agama, haji mabrur adalah haji yang dijalankan sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, dengan memenuhi syarat, rukun, dan adab, serta menjauhi segala larangan, dilakukan secara ikhlas semata-mata untuk mengharap ridha Allah. Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa saja yang berhaji, lalu tidak berkata keji dan tidak berbuat dosa, maka ia akan pulang seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Para ulama menyebutkan ciri-ciri haji mabrur dengan beragam. Ada yang menjadikan barometer dari semangat menyambung silaturahmi, rajin bersedekah, memperbanyak ibadah, dan menebar kebaikan.
Ada pula yang menilai dari dampak pasca haji, yaitu semakin taat beribadah, menjauhi maksiat, serta tumbuhnya kepedulian sosial. Ada juga yang berpendapat haji yang mabrur adalah haji yang tidak tercampuri kemaksiatan dan dibalas dengan pahala serta kebaikan. Pertanda diterimanya haji seseorang dapat dilihat dari perubahan diri menjadi lebih baik dan tidak lagi mengulang dosa-dosa sebelumnya.
Peluang untuk meraih haji mabrur terbuka bagi semua jemaah. Salah satu jalannya adalah dengan mengamalkan nilai-nilai mabrur sejak awal dengan niat yang benar, pelaksanaan manasik yang khusyuk, kepedulian terhadap sesama, serta semangat untuk terus berbuat baik.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jemaah, di antaranya yang paling penting adalah memperbaiki dan meluruskan niat semata-mata karena Allah SWT.
Pelaksanaan ibadah haji ini adalah wujud ketaatan terhadap perintah agama dan pemenuhan rukun Islam yang kelima. Bukan untuk meningkatkan status sosial, pamer kesalehan, atau karena gengsi.
Kemudian bekal ilmu manasik haji, menguasai bacaan doa pada setiap tahapan ibadah serta penghayatan terhadap makna dan filosofi ibadah haji. Selain itu, menjaga kesehatan, membersihkan jiwa, dan menata diri agar tumbuh kepedulian terhadap sesama juga menuntun ke mabrur.
Oleh karena itu, di Tanah Suci, hendaknya fokus pada hal-hal yang substantif dan mengutamakan kekhusyukan dalam menjalankan rukun dan wajib haji. Miqat dan ihram adalah titik awal menuju keberhasilan spiritual tersebut.
Kunci utama dari semua itu adalah kesabaran dan keteladanan dalam menjalani setiap ritual haji. Terlebih saat berada di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), yang menuntut kekuatan fisik, kesabaran, dan kepedulian.
Akhir kata, doa kami panjatkan untuk seluruh jemaah haji, khususnya jemaah dari Aceh, agar dimudahkan segala urusannya dan dapat melaksanakan seluruh rangkaian ibadah dengan lancar. Selamat jalan para tamu Allah. Selamat menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi SAW. Semoga menjadi haji yang mabrur dan maqbul. Aamiin. Aamiin ya Rabbal ‘Alamin. []
Muhammad Nasril, Lc. MA (ASN Kemenag Aceh Besar & Mahasiswa S3 Hukum Islam UIN Jakarta – Awardee BIB Kemenag-LPDP)