Tantangan Implementasi Kurikulum di Madrasah
Di tengah riuh pergantian kurikulum nasional, guru-guru madrasah swasta masih setia menanti kepastian nasib mereka. Setiap kebijakan baru di bidang pendidikan selalu hadir dengan semangat perubahan, namun seringkali luput menyentuh realitas para pelaksana di lapangan. Sejak era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, berlanjut ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013 yang dinilai terlalu padat dan berorientasi hasil, hingga Kurikulum Merdeka yang mulai diterapkan sejak 2024, perubahan demi perubahan terus bergulir. Kini, Kementerian Agama menunjuk 12 madrasah se Indonesia menjadi piloting Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai pendekatan humanis untuk menjawab berbagai kelemahan kurikulum sebelumnya (baca: Pendis.go.id.; 13 Mei 2025). Namun di balik jargon-jargon ideal itu, guru-guru madrasah, khususnya yang di wilayah swasta dan pelosok, masih bergulat dengan persoalan lama: kesejahteraan minim, sarana terbatas, beban administrasi berat, serta tuntutan profesionalisme yang tak sebanding dengan dukungan yang mereka terima.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya sejumlah tantangan yang perlu segera direspons—sebuah ironi ketika kurikulum berbasis “cinta” justru berhadapan dengan ketidakcintaan sistem terhadap guru-guru madrasah swasta. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mencatat 60% guru honorer di sekolah/madrasah swasta digaji di bawah UMR, dengan kisaran Rp1,2-1,8 juta per bulan (baca: kompas.com/edu/read/2023). Angka yang jauh dari layak untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi membiayai pelatihan kurikulum baru. Padahal, di pundak merekalah beban ganda itu bertumpu: menyusun administrasi kurikulum yang humanis sambil mengajar dengan fasilitas seadanya, bahkan tak jarang harus merogoh kocek pribadi untuk mencetak modul atau membeli kuota internet. Bagaimana mungkin pendidikan berbasis cinta bisa tumbuh subur, jika gurunya sendiri hidup dalam tekanan ekonomi yang tidak manusiawi?
Salah satunya dirasakan Bu Siti, guru MTs swasta di pesisir utara pulau jawa yang bertahan dengan honor Rp1,2 juta per bulan—angka yang justru termasuk “lebih baik” dibandingkan rekan-rekannya di daerah lain. Bahkan Menteri Agama mengakui secara gamblang masih adanya guru madrasah swasta yang digaji Rp100 ribu per bulan (Koran Tempo, 17 Maret 2025), sebuah angka yang lebih pantas disebut “uang transport” ketimbang upah layak. Pelatihan Kurikulum Merdeka saja belum tuntas, sekarang harus menyiapkan perangkat Kurikulum Cinta, keluh Bu Siti, menggambarkan betapa kebijakan progresif seringkali mentok di dinding realitas: mustahil meminta guru berkonsentrasi menebar cinta dalam pembelajaran, ketika mereka sendiri hidup dalam tekanan ekonomi yang justru tidak mencintai martabatnya. Kisah-kisah semacam ini bukan sekadar keluhan, melainkan alarm darurat: transformasi pendidikan tak bisa hanya berhenti pada wacana kurikulum, tetapi harus dimulai dari memanusiakan para pelaksananya.
Data Lapangan yang Perlu Menjadi Perhatian
Penelitian Shobiroh Nia Ulfa Kurniyawati (2022) Inequality Of Basic Education In Indonesia: Policy Between MI And SD menyoroti ketidaksetaraan yang signifikan dalam fasilitas antara Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Indonesia. Madrasah sering kekurangan infrastruktur, sumber daya, dan dukungan yang memadai dibandingkan dengan sekolah umum, yang menyebabkan perbedaan dalam kualitas pendidikan.. Ketidaksetaraan ini mempengaruhi tidak hanya lingkungan fisik tetapi juga perkembangan keseluruhan dan peluang yang tersedia bagi siswa di madrasah dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di sekolah umum. Kesenjangan yang sama ditemukan dalam Riset RISE (Research on Improving Systems of Education Indonesia (2023), bahwa hanya 35% madrasah yang memiliki laboratorium sains secara layak, sementara di sekolah umum angkanya mencapai 65%. Kesenjangan digital pun mengkhawatirkan, bahwa akses internet di madrasah 40% lebih rendah, memperparah ketertinggalan pembelajaran berbasis teknologi.
Berikutnya kesenjangan juga terjadi pada kualitas kelembagaan madrasah yang terkotak oleh status institusi. Data akreditasi madrasah tahun 2023 mengacu pada laporan BAN-P/M (sebelumnya bernama BAN-S/M) sebagai bagian dari masa transisi kebijakan akreditasi.) menunjukkan 60% madrasah swasta hanya berakreditasi B/C, jauh di bawah madrasah negeri (85% akreditasi A). Sertifikasi guru pun timpang, tercatat bahwa kurang dari separuh guru madrasah swasta yang tersertifikasi, berbanding 80% di madrasah negeri. Ini memperlihatkan bagaimana kebijakan pemerintah belum menyentuh akar masalah kesenjangan mutu.
Tidak hanya masalah fasilitas pendidikan dan kualitas kelembagaan madrasah. ketimpangan anggaran masih menjadi persoalan utama yang memperlebar kesenjangan antara madrasah dan sekolah umum. Sekolah umum mendapatkan pendanaan dari berbagai jalur, baik secara vertikal dari pemerintah pusat maupun horizontal melalui transfer daerah, ditambah BOS Reguler dan BOS Kinerja. Sementara itu, madrasah, khususnya yang swasta, hanya bergantung pada dana BOS dari Kementerian Agama, tanpa akses ke sumber lain. Kondisi ini membatasi fleksibilitas madrasah dalam meningkatkan kualitas layanan pendidikan. Menteri Agama pun menegaskan bahwa perbedaan sistem pengelolaan anggaran ini menjadi faktor yang memperlebar ketimpangan. (baca: pendis.kemenag.go.id, 17 Maret 2025). Ketergantungan madrasah pada pendanaan Kemenag menciptakan kesenjangan kualitas. Tanpa kebijakan afirmatif, madrasah berpotensi semakin tertinggal dalam kompetisi mutu pendidikan nasional.
Strategi Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta di Madrasah
Kurikulum Berbasis Cinta hadir sebagai sebuah terobosan penting dalam dunia pendidikan Indonesia, menempatkan nilai-nilai empati, penghargaan terhadap kemanusiaan, dan suasana belajar yang ramah bagi peserta didik sebagai pusat perhatian. Gagasan ini diharapkan mampu menjadi solusi atas berbagai persoalan pendidikan yang selama ini terlalu menekankan aspek kognitif semata, dengan mulai membangun ekosistem pembelajaran yang memanusiakan manusia, membina karakter, serta memperkuat relasi sosial yang sehat di lingkungan madrasah.
Namun idealisme kurikulum ini berisiko menjadi slogan semata bila tidak dibarengi kesiapan nyata di lapangan. Terutama bagi madrasah swasta dan madrasah di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), tantangan implementasi jauh lebih berat dibandingkan sekolah di wilayah perkotaan. Untuk itulah, perbaikan mutu pendidikan madrasah harus dimulai dari pondasi yang kokoh. Ada lima langkah mendasar sekaligus sejumlah strategi solutif yang perlu segera dilakukan agar Kurikulum Berbasis Cinta benar-benar berjalan efektif:
1. Komitmen Kepemimpinan Pendidikan di Semua Level
Perbaikan pendidikan harus diawali dari komitmen kuat para pimpinan di bidang pendidikan, mulai dari pejabat pusat, daerah, hingga kepala madrasah dan guru di tingkat satuan pendidikan. Kebijakan yang baik tanpa kemauan politik dan keseriusan pemimpin pendidikan untuk mengawal pelaksanaannya hanya akan menjadi formalitas administratif. Pemimpin madrasah perlu menjadi motor penggerak perubahan di lingkungan masing-masing, memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar diterapkan secara konsisten di ruang-ruang kelas.
2. Perubahan Pola Pikir dan Pola Tugas Pengambil Kebijakan
Selain komitmen, hal yang paling mendasar adalah perubahan mindset para pengambil kebijakan pendidikan. Mereka harus meninggalkan pola pikir normatif yang hanya mengejar kelengkapan administrasi, menuju kesadaran pentingnya menyiapkan generasi yang taat beragama, kuat secara moral dan mental, serta hebat dalam kompetensi. Kesadaran inilah yang akan memandu arah kebijakan, pola tugas, dan prioritas program yang lebih berpihak kepada kebutuhan nyata di lapangan.
3. Kesejahteraan Guru sebagai Fondasi Implementasi
Tidak dapat dipungkiri, kesejahteraan guru adalah kunci utama keberhasilan implementasi kurikulum. Guru tidak bisa diminta mengajar dengan penuh cinta, empati, dan totalitas bila hidupnya sendiri masih dalam tekanan ekonomi. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak guru madrasah swasta, khususnya di daerah 3T, menerima honor di bawah standar kelayakan. Padahal, mereka dituntut melaksanakan kurikulum berbasis kemanusiaan yang memerlukan kehadiran emosional dan moral yang kuat. Peningkatan kesejahteraan guru harus menjadi prioritas utama dalam setiap agenda pendidikan, agar mereka bisa bertugas dengan tulus sebagai pendidik, bukan sekadar pekerja administrasi.
4. Pembinaan dan Pendampingan yang Serius dan Berkelanjutan
Guru bukan hanya perlu dilatih, tetapi juga didampingi secara serius dan kontinyu. Pelatihan tidak cukup berupa seminar daring atau teori sesaat, melainkan harus berbasis praktik langsung di ruang kelas. Supervisi pendidikan pun perlu direformasi dari sekadar kontrol administratif menjadi supervisi akademik dialogis yang bersifat pembinaan, pendampingan, dan refleksi bersama. Dengan demikian, guru akan merasa didukung, bukan diawasi secara kaku, sehingga suasana belajar yang ramah dan penuh cinta bisa tercipta.
5. Optimalisasi SDM: Kunci Kurikulum Ada pada Kesadaran Guru
Pada dasarnya, keberhasilan sebuah kurikulum—apapun namanya, apakah Kurikulum 2013, Kurikulum Merdeka, maupun Kurikulum Berbasis Cinta—sangat bergantung pada kesiapan dan kesadaran pelaksananya di lapangan. Kurikulum hanyalah panduan; sedangkan ruh pendidikan ada di tangan guru yang menghidupkannya di ruang-ruang kelas. Karena itu, perbaikan pendidikan mestinya tidak sekadar berfokus pada pergantian kurikulum, tetapi lebih kepada membangun budaya kerja yang dilandasi tanggung jawab moral, profesionalisme, dan keteladanan di lingkungan madrasah. Ketika guru menjalankan tugasnya dengan kesadaran penuh sebagai pendidik dan pembimbing generasi, serta didukung lingkungan yang kondusif dan kepemimpinan yang berpihak, maka InsyaaAllah kurikulum apa pun akan berjalan dengan baik, karena bersumber dari keikhlasan dan panggilan hati.
6. Strategi Teknis Pendukung Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta
Agar Kurikulum Berbasis Cinta benar-benar berjalan efektif di madrasah, khususnya madrasah swasta dan di wilayah 3T, diperlukan dukungan strategi teknis yang konkret dan dapat diterapkan di lapangan. Strategi ini sekaligus menjadi panduan operasional bagi pimpinan madrasah, guru, dan pejabat pendidikan untuk memastikan pelaksanaan kurikulum tidak berhenti di tataran konsep. Beberapa langkah strategis yang perlu segera dilakukan antara lain:
Pertama, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi kurikulum sebelumnya, khususnya Kurikulum Merdeka. Evaluasi ini penting untuk memetakan kesiapan sumber daya manusia, ketersediaan sarana prasarana, serta kekuatan anggaran yang dimiliki madrasah sebagai dasar penyusunan program yang lebih realistis dan sesuai kebutuhan lapangan.
Kedua, menata ulang sistem pendanaan madrasah, khususnya dalam hal alokasi dana BOS. Perlu afirmasi anggaran yang berpihak kepada madrasah swasta dan madrasah di wilayah 3T agar memiliki kemampuan finansial memadai dalam mendukung program-program pembelajaran berbasis karakter, kegiatan pendampingan, serta penguatan kurikulum secara menyeluruh.
Ketiga, memperbanyak pelatihan guru berbasis praktik langsung di ruang kelas. Pelatihan ini bukan hanya teori atau seminar daring, melainkan pendampingan nyata yang melibatkan guru senior atau pelatih praktik sebagai mitra pembelajaran. Dengan demikian, guru dapat langsung mempraktikkan pendekatan pembelajaran yang ramah, humanis, dan sesuai karakter peserta didik.
Keempat, mengembangkan skema kemitraan antar madrasah, khususnya antara madrasah di kota dan di desa. Melalui pendampingan antar madrasah sebagai mitra berbagi pengalaman dan penguatan kapasita ini, akan terjadi transfer pengalaman, berbagi metode, serta penguatan kapasitas guru secara lebih cepat dan merata. Kepala madrasah dapat memfasilitasi pertukaran kunjungan, forum berbagi praktik baik, hingga pelatihan kolaboratif lintas wilayah.
Kelima, mereformasi pola supervisi pendidikan yang selama ini cenderung bersifat administratif menjadi supervisi akademik dialogis. Supervisi harus menjadi ruang diskusi, refleksi, dan pembinaan, di mana pengawas berperan sebagai mitra pengembangan mutu, bukan sekadar pemeriksa berkas. Kepala madrasah juga perlu menginisiasi supervisi internal berbasis coaching untuk mendampingi para guru secara berkala.
Dengan menerapkan strategi-strategi ini secara konsisten, Kurikulum Berbasis Cinta akan lebih mudah dioperasionalkan di lapangan, serta memberi dampak nyata terhadap mutu pendidikan dan kenyamanan belajar peserta didik di madrasah.
Rekomendasi Kebijakan Kemenag
Sebagai langkah strategis, Kemenag dapat memprioritaskan tiga hal: (1), Membuka akses pendanaan multi-sumber (misalnya: kolaborasi dengan Kemendikbud, CSR, atau APBD) untuk menunjang kesejahteraan guru madrasah swasta (2) Membentuk tim ahli kurikulum di tiap wilayah untuk pendampingan langsung kurikulum berbasis praktik, dan (3) Memangkas beban administratif guru dengan menyederhanakan sistem pelaporan kurikulum. Dengan ini, Kurikulum Berbasis Cinta akan lebih mudah diimplementasikan dengan semangat kolaborasi.
Dengan rekomendasi kebijakan di atas, Kurikulum Berbasis Cinta dapat diimplementasikan secara manusiawi dan berkeadilan. Guru madrasah tidak lagi sekadar ‘menanti’, tetapi menjadi pelaku aktif perubahan. Maka, mari kita jadikan Kurikulum Berbasis Cinta bukan sekadar kebijakan, melainkan sebuah gerakan bersama demi pendidikan madrasah yang lebih bermartabat dan menyejahterakan hati. ***** Wallāhu a’lam bish-shawāb.
Dr. A. Umar, MA (Dosen FITK UIN Walisongo Semarang)