Mayoritas sekolah swasta di Indonesia mengalami kesulitan pembiayaan pendidikan. Dan kebijakan pendidikan dirasakan semakin kurang berpihak kepada sekolah-sekolah swasta, sementara jumlah lembaga pendidikan swasta jaug lebih banyak. Apakah pendidikan yang berkualitas dan merata akan tercapai ? Penting affiirmasi kebijakan pendidikan berkeadilan bagi sekolah swasta.
Salah satu persoalan mendasar pendidikan di tanah air dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025 – 2045, adalah ketimpangan kualitas sekolah dan guru di sekolah swasta dan negeri. Ada satu ironi terjadi pada dosen swasta di Indonesia, yakni beban kerja mereka setara dosen ASN, tetapi tunjangan kinerja mereka jauh berbeda (Kompas, 5 Mei 2025). Hal yang sama juga dialami oleh Guru-guru swasta di Indonesia, sama-sama mendidik anak bangsa dengan beban kerja sama (bahkan lebih berat) tetapi kesejahteraan mereka sangat jauh berbeda dengan Guru-guru ASN.
Sekolah Negeri Vs Swasta
Thema Hari Pendidikan Nasional 2025: ”Partisipasi Semesta Mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”, bersifat imperatif bagi para pemangku kebijakan pendidikan akan pentingnya partisipasi, kolaborasi pemerintah dengan penyelenggara pendidikan swasta. Peran penting pendidikan swasta dalam menjalan tugas mencerdaskan bangsa, sebagaimana mandatori UUD 1945 sangat signifikan.
Data sekolah di Indonesia berjumlah 439.049 sekolah (Kemendikbud Ristek 6 November 2024 dan data BPS 2023), terdiri dari: PAUD/TK 205.645 sekolah (hampir 90 % Swasta), SD 149.489 sekolah (15 % Swasta), SMP 43.455 (43.17 % Swasta), SMA 14.793 (52 % Swasta), SMK 14.265 (69.3% Swasta). Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) 10.908, SLB 2.375, mayoritas dikelola oleh masyarakat/swasta.
Dan sekolah binaan Kementerian Agama 91,75 % dikelola oleh swasta; 31.172 RA/Madrasah, 351.608 Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Madrasah Alya (MA) 9.827 sekolah, dan (972 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam; 59 Negeri, 790 Swasta; Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen; 8 Negeri, 384 Swasta; Perguruan Tinggi Keagamaan Katolik; 1 Negeri, 23 Swasta; Perguruan Tinggi Keagamaan Hindu; 5 Negeri, 9 Swasta; Perguruan Tinggi Keagamaan Buddha; 2 Negeri, 10 Swasta) dengan jumlah keseluruhan peserta didik mencapai 20 juta serta pendidik, dan tenaga kependidikan berjumlah hampir 2,5 juta hampir 90 % sekolah swasta, tahun 2023/2024, (https://emis.kemenag.go.id).
Dalam Statistik Pendidikan Tinggi 2023 yang dikeluarkan oleh Kemendiktiristek, terdapat 184.145 dosen swasta, sementara dosen ASN hanya berjumlah 86.675 orang. Jumlah dosen swasta di Indonesia sangat significant 2023, sebanyak 68 % dari total jumlah dosen, sementara dosen ASN hanya 32 %. Berdasarkan data yang tersedia di Pangkalan Data Dikti (PDDIKTI) per tanggal 18 April 2025 pukul 06.00, di Indonesia tercatat sebanyak 2.683 PTS, 125 PTN, 171 perguruan tinggi kedinasan, 1.316 perguruan tinggi keagamaan, dan 98 perguruan tinggi lainnya. Artinya, 61 persen dari total perguruan tinggi dikelola swasta. Jumlah guru dan dosen swasta pun jauh lebih besar sehingga kontrbusinya terhadap dunia pendidikan jauh lebih besar dari kontrobusi guru dan dosen ASN.
Sekolah swasta semakin kesulitan dalam hal pembiayaan pendidikan, anggaran untuk sekolah swasta masih sangat minim. Dalam Anggaran APBN 2024 untuk fungsi pendidikan Rp. 665 Trilliun; terdiri dari Rp. 346,56 Trilliun transfer ke daerah (52,1%); Kemendikbudristek Rp. 98.99 Trilliun (14,9%). Kementerian Agama memperoleh Rp. 74,068 trilliun, untuk fungsi pendidikan Rp. 62,3 Trilliun, dan hanya 9 % dari anggaran pendidikan secara nasional (APBN) dikelola oleh Kementerian Agama, sementara jumlah Perguruan Tinggi Keagamaan yang dibina jumlahnya sangat signifikan (hampir 50 % dari total jumlah Perguruan Tinggi di Kemendikti), dan PT Keagamaan hampir 95 % Swasta dan Sekolah/Madrasah swasta 90 % lebih.
Perlu kebijakan pendidikan yang lebih berkeadilan bagi sekolah swasta untuk membangun kualitas sekolah dan guru secara merata sesuai dengan arah pembangunan untuk transformasi Indonesia, pendidikan berkualitas yang merata, mewujudkan pembangunan kewilayahan yang merata dan berkeadilan (Agenda/Misi Presiden Prabowo – Gibran).
Nasaruddin Umar Menteri Agama, dihadapan Komisi 8 DPR RI menyampaikan keprihatinannya: “Sekolah-sekolah Swasta, seperti Pesantren 42.000 dan 20.000 lebih Madrasah, sekolahnya 90 % swasta, dan selama puluhan tahun diperlakukan tidak adil. Jangan ada penjoliman sesama anak bangsa. Sekolah swasta membiayai sendiri sekolahnya, gaji gurunya ada yang hanya Rp.100.000,- perbulan, sarana dan prasarananya sangat minim. Sementera sekolah negeri semuanya ditanggung oleh pemerintah”. Menteri Agama berharap agar dalam revisi UU Sisdiknas oleh DPR, sekolah-sekolah Swasta (Madrasah) diberikan subsidi, ada affirmasi kebijakan anggaran yang berkeadilan.
Pendidikan memiliki peran sentral dalam mengembangkan potensi manusia secara holistik, baik dalam aspek jasmani maupun rohani untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan berdaya saing, wujud cita-cita Indonesia Emas 2045. Pemerintah diharapkan hadir bagi warga masyarakat miskin sesuai mandatori Undang-undang Dasar 1945, Psl. 31 ayat 1, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Artinya, bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak dasar untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas, dan pemerintah harus memastikan akses pendidikan yang merata dan berkualitas bagi seluruh warga negara.
Kemitraan
Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mendukung kebijakan pendidikan berkeadilan adalah dengan memperkuat kemitraan antara pemerintah dan sekolah swasta. Kemitraan ini dapat dilakukan dengan kerja sama dalam pembangunan infrastruktur pendidikan, penyediaan sumber daya manusia (guru) yang berkualitas, serta pengembangan kurikulum dan program pendidikan yang relevan dengan kebutuhan indsutri dan lokal (daerah). Kemitraan pemerintah dengan swasta dapat juga dilakukan dengan membantu meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu khususnya untuk mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah (3 T) dan perkotaan.
Fowler (2000), kemitraan memiliki karakteristik antara lain jangka panjang, tanggungjawab bersama, kesetaraan, saling menguntungkan dan seimbang dalam kekuasaan. Dalam buku Giude to Patnership Building (2016), menjelaskan bahwa ada 3 hal penting dalam kemitraan yaitu: pertama, equality (kesetaraan), kedua, transparency (transpransi) dan ketiga mutual benefits (kemanfaatan) bersama. Bayle dan Dolan (2011) mengatakan bahwa, kemitraan adalah tingkatan hubungan kerja yang paling tinggi antara orang yang berkomitmen (responsibility) untuk membangun kerja sama, tujuan bersama, diikat oleh visi yang sama untuk membangun Indonesia yang maju.
Lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta adalah mitra pemerintah dalam membangun dunia pendidikan demi terwujudnya Pendidikan Bermutu untuk Semua. Salah satu bentuk kemitraan pemerintah dan swasta, organisasi masyarakat yaitu komite sekolah, serta organisasi alumni serta pihak dunia indsutri dan dunia usaha. Bagaimana pun juga pemerintah belum mampu untuk mendanai semua pemenuhan sarana di semua sekolah karena keterbtasan anggaran pemerintah, karena itu peran dan partisipasi masyarakat dan pihak swasta/industri merupakan salah satu solusi.
Kemitraan pemerintah dan swasta bidang pendidikan sudah banyak dipraktikkan di banyak negara. Menurut Patrinos (2009:2), partisipasi swasta dalam pendidikan telah meningkat secara dramatis selama dua dekade terakhir di seluruh dunia, melayani semua kelompok masyarakat – dari keluarga berpenghasilan tinggi hingga keluarga berpenghasilan rendah. Meskipun pemerintah tetap menjadi penyandang dana utama pendidikan (setidaknya pendidikan dasar dan menengah), di banyak negara agen swasta memberikan kontribusi besar di bidang pendidikan.
Peran penting pemerintah membangun kemitraan dengan sekolah-sekolah swasta, dimana anak-anak yang tidak berkesemapatan masuk sekolah negeri bisa dibiayai oleh pemerintah bersekolah di sekolah swasta. Kemitraan (Public Private Patnership) tujuannya dalam kebijakan strategis bukan semata-mata karena adanya keterbatasan anggaran pemerintah tetapi untuk meningkatkan kualitas layanan yang lebih berkualitas kepada masyarakat (Parker & Bradlay 2002).
Dr. Salman Habeahan, Direktur Pendidikan Katolik, Dosen Pescasarjana Univ. Budiluhur Jakarta.