“Perbedaan itu lukisan Tuhan, jangan ada yang merusak. Perbedaan itu rahmat, kita harus pelihara. Perbedaan itu adalah kekuatan Indonesia. Mari kita merawat.” Pernyataan ini disampaikan Prof. Dr. Nazaruddin Umar, Menteri Agama Republik Indonesia dalam perayaan Waisak di Wihara Ekayana Arama, Indonesia Buddhist Centre Jakarta Barat.
Dalam dunia yang semakin riuh oleh kebisingan identitas dan tembok prasangka, pernyataan ini hadir seumpama angin sejuk. Prof. Nazaruddin tidak hanya berbicara tentang toleransi, tetapi juga meneguhkan kesadaran terdalam manusia, bahwa hidup dalam perbedaan adalah bagian dari tugas suci manusia di dunia.
Perbedaan bukanlah ciptaan manusia, melainkan guratan kuasa Ilahi di atas kanvas kehidupan. Jika kita percaya bahwa Tuhan Maha Sempurna, maka setiap perbedaan adalah bagian dari kesempurnaan itu sendiri. Maka merusaknya, atau menolaknya, bukan hanya pengingkaran terhadap realitas, tetapi juga manifestasi dari kesombongan spiritual, seolah kita ingin menggambar ulang mahakarya Tuhan dengan tangan yang lemah dan terbatas.
Jembatan Kasih
Apa yang disampaikan Prof. Nazaruddin Umar sejalan dengan bening renung Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti, ensikliknya tentang persaudaraan manusia, bahwa setiap manusia diciptakan setara dalam hak, martabat, dan cinta yang layak diterima. Tidak ada sekat dalam kasih. Tidak ada “yang lain” dalam pandangan cinta ilahi. Semua adalah saudara, yang didekap bukan karena sama, tetapi justru karena berbeda.
Begitu pula dalam ajaran Buddha, kita mendengar bisikan bijak Dalai Lama, bahwa kedamaian bukan hasil dari keseragaman, melainkan buah dari pemahaman. Bahwa setiap insan memandang dunia dari jendela batinnya sendiri, dan dari sanalah tumbuh akar toleransi yang sejati.
Dalam lintasan spiritual Hindu melalui Mahatma Gandhi, kita pun menemukan benang merah serupa. Bagi Gandhi, setiap jalan iman adalah jejak yang mengarah ke sumber yang satu. Dengan itu, Gandhi mengajak kita untuk melihat lebih jauh dari dogma, dan menyelami pesan-pesan ketuhanan yang melintasi batas agama.
Pernyataan Prof. Nazaruddin Umar, yang disampaikan dalam perayaan Waisak, sebuah momen sakral yang mengenang kelahiran, pencerahan, dan parinirvana Buddha, menjadi simbol yang kuat. Di tengah cahaya lilin dan meditasi umat Buddha, ia hadir bukan sekadar sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai penjaga jembatan kasih. Dalam diam dan damai itu, kita menyaksikan wajah Indonesia yang seharusnya: teduh, terbuka, dan bersaudara.
Dan ketika Prof. Nazaruddin Umar menyebut bahwa perbedaan adalah kekuatan Indonesia, kita meyakini, ia tidak sedang menabur kata-kata kosong. Justeru, ia sedang mengingatkan pada akar bangsa ini, yang tumbuh dari ribuan pulau, bahasa, budaya, dan keyakinan. Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan nasional, tetapi doa yang tidak boleh kehilangan ruhnya. Doa itu hanya dapat hidup jika ia dirawat, bukan dengan kata, tapi dengan perbuatan: dalam mendengar, menghargai, dan menjalin simpul-simpul kemanusiaan.
Suatu saat, semasa hidup, Syekh Ali Jaber konon pernah berkata, “perbedaan itu ujian.” Dan memang begitulah adanya. Kita tidak sedang diuji dalam keserupaan, tapi dalam keberbedaan. Pada saat kita saling menatap satu sama lain sebagai saudara, bahkan ketika tak sependapat dalam iman. Pada saat kita tetap berjabat tangan, meski suara hati berbeda irama dalam keyakinan.
Laku Spiritual
Merawat perbedaan bukan sekadar tugas sosial, ia adalah laku spiritual. Sebuah jalan sunyi yang mengajak kita menyelami makna syukur: bahwa dunia yang beraneka ini adalah cerminan cinta Tuhan yang luas tak terperi. Bahwa kita tidak dipanggil hanya untuk hidup bersama, tapi juga untuk saling memahami, saling menumbuhkan, dan saling menguatkan.
Dalam renungan Imam Ali bin Abi Thalib, kita mendengar getar kebenaran lembut namun dalam, “manusia itu ada dua macam: saudaramu dalam iman, atau saudaramu dalam kemanusiaan.” Melalaui pernyataan ini, kita kemudian tahu bahwa setiap wajah yang berbeda bukanlah musuh, ia adalah cermin lain dari diri kita sendiri. Bahwa setiap suara yang tak sama bukan ancaman, tapi kesempatan untuk belajar lebih dalam tentang cinta yang tak bersyarat.
Dan pada akhirnya, bukankah perbedaan adalah cara Tuhan mengajarkan kita untuk rendah hati? Untuk berhenti merasa paling tahu, dan mulai mendengar. Untuk berhenti menuntut keseragaman, dan mulai menghargai keberagaman sebagai wujud dari keagungan-Nya.
Seturut dengan pernyatan Prof. Nazaruddin Umar, marilah kita jaga lukisan Tuhan yang bernama perbedaan ini. Bukan untuk diseragamkan, tapi untuk dihargai, dirayakan, dan dihidupi. Sebab di sanalah, kita bukan hanya menjadi warga negara, tetapi makhluk spiritual yang sesungguhnya. Manusia yang saling menghidupkan, bukan saling menghapuskan. Allahua’lam[]
Radea Juli A. Hambali (Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung