Sabtu (3/5/2025), John Sopaba meninggal. Negeri ini tentu saja tak berduka dan merasa kehilangan. Juga di Kementerian Agama. Berita kematiannya hanya menjadi kesibukan kecil para pegawai di Kantor Kementerian Agama Kota Kupang tempat ia bekerja. Dan sebagai seorang yang pernah bekerja di Kantor Kementerian Agama Kota Kupang, bersamanya, saya larut dalam kesibukan kecil itu dengan menuliskan sebuah obituari untuknya.
John Sopaba. Lengkapnya Yonathan Sopaba. Kami biasa memanggilnya pak John Sopaba. Saya mulai mengenalnya lebih dekat ketika bekerja bersamanya di Kantor Kementerian Agama Kota Kupang. Ketika saya baru masuk kerja di Kantor Kemenag Kota Kupang, suatu hari di bulan Januari 2019 yang basah, kali pertama ia masuk menemui saya.
“Bapak nama saya ditulis John bukan Jhon. Kalau Bapak tulis Jhon orang kira itu pak Pak Jhon Make. Saya John.” Sebuah kesalahan kecil, yang saya kira biasa-biasa saja, namun kemudian saya mengerti bahwa bagi seorang pegawai yang nyaris tak masuk dalam deret hitung, nama adalah identitas paling berharga. Dan itu kompatibel. Pelajaran pertama sebagai Kepala Kantor: seoang pegawai menunjukkan keprihatinan dan keberanian yang bersatupadu dengan sebuah Ausdauer yang tinggi
Pak John Sopaba termasuk seorang sosok yang jarang ditemui – bukan karena jarang masuk kantor – tetapi seorang PNS yang dengan segala keterbatasannya, berusaha untuk mengabdikan diri dengan sepenuh hati. Ia tidak memiliki gelar akademis yang tinggi, namun memiliki dedikasi, tanggung jawab, yang jauh melebihi apa yang bisa diajarkan oleh pendidikan formal.
Rutinitasnya (kala itu) menerima, mencatat surat masuk, dan mendistribuskannya ke semua unit. Juga mencatat dan meregistrasi surat keluar, memberi penomoran dan mengantarnya. Untuk hal ini memang ahlinya. Kecepatannya menyebut kode klasifikasi tata persuratan dinas di lingkugan Kementerian Agama, ketika saya bertanya, melebihi siapapun di Kemenag Kota Kupang kala itu. Ia punya keahlian lain, urus kijang tua Kantor Agama Kota Kupang.
Ketika sistem dan mekanisme kerja beralih ke online saat Pandemi Covid-19, ia datang menyampaikan keterbatasannya. Namun saya katakan kepadanya, saya tidak akan menggantikan perannya. Dengan sedikit memaksa saya mengharuskannya (bersama ibu Erly) mengikuti pelatihan persuratan elektronik yang diselenggarakan Kanwil Agama NTT di Asrama Haji dan mengharuskannya untuk belajar.
“Tak ada pekerjaan yang tidak bisa tidak dipelajari pak John, ” kata saya kepadanya. “Belajarlah dengan penuh kebebasan dan kegembiaraan. Saatnya membaharui pola kerja pak John. Kita bisa membangun rumah siput di antara tanah dan pasir yang membeku. Pak John hanya perlu ambil langkah pertama. Langkah kedua dan ketiga biarkan Tuhan dan teman-teman yang membantu. Kalau langkah pertama saja pak John tidak bisa, mau jadi apa.” Mungkin termakan provokasi saya, ia menerima pergi ikut pelatihan – meski dengan mendongkol karena harus membawa laptop.
Saya menelpon ibu Aida di Kanwil dan menyampaikan bahwa di antara semua utusan, mungkin Kota Kupang yang sama sekali tidak memiliki pengalaman apapun di bidang IT. Tapi saya tak punya pilihan lain, selain melatih mereka, jika kita ingin mendapatkan pegawai yang berkinerja sesuai dengan tuntutan dunia digital. Dan syukurlah bahwa panitia memahami maksud saya dan melatih mereka dengan sungguh-sungguh.
Saya terus memantau kehadirannya sebab saya kuatir beliau tidak ikut. Dan ternyata pak John bersungguh-sungguh dalam pelatihan itu. Saya lihat foto-foto kegiatan yang dibagikan di group bagaimana ia belajar menggunakan komputer untuk pertama kalinya (sebab selama ini ia ahli kerajinan tangan) sampai terduduk-duduk di lantai pelatihan.
Saya mengirim pesan berkelakar kepadanya, “Pak John bisa juga itu.” Dan ia menjawab dengan rendah hati. “Aduh Bapak. Ini pinggang mau patah. Kalau bisa Bapak ganti dengan mereka yang lebih mahir. Tapi saya tahu teman-teman sarjana tidak mau ini pekerjaan. Jadi Bapak musti banyak sabar dengan saya.” Pengalaman lain yag ia ajarkan bagi seorang pemimpin. Sabar.
”Pak John tak usah khawatir. Saya akan tetap dorong pak John dari belakang supaya bisa lebih cepat. Tapi kalau pak John hilang-hilang dari kantor pasti saya marah.” “Siap Bapak!”
Selanjutnya meski ada kendala di sana-sini, ia tetap menjalankan tugas itu sampai saya pindah dari Kantor Kementerian Agama Kota Kupang dua tahun lalu. Ia kadang mengeluh namun tak pernah meminta lebih. Ia tahu diri, bahkan kadang merasa “rendah diri” di antara rekan-rekan yang bergelar sarjana di ruangan, tetapi kinerjanya berbicara lebih lantang daripada sertifikat apa pun. Pelajaran ketiga yang saya terima.
Itulah kesan yang selalu saya simpan. Dan setiap kali ketemu temannya om Maksi dan om Gab, saya selalu tanya bagaimana pak John Sopaba, apakah beliau sudah ahli IT? Mereka hanya tertawa. “Neuk-neuk sa Bapa,” jawab mereka.
Sabtu 3 Mei 2025 malam, sepulang dari misa di BTN, ibu menyampaikan kabar duka ini: “Pak John Sopaba meninggal”. Saya terhenyak, orang baik ini telah pergi. Ibu lalu menceritakan beberapa pengalaman kecilnya, atas kerelaannya menemani ibu menunggu kedatangan ibu-ibu dharma wanita setiap kali rapat bulanan DWP.
John Sopaba. Lengkapnya Yonathan Sopaba. Kalau di hari-hari ini saya mengenangnya, bukan hanya ia seorang pegawai, rekan kerja, tetapi seorang pribadi yang jujur, pekerja keras, dan penuh tanggung jawab. Keberaniannya untuk mengoreksi Kepala Kantor tulis salah namanya, bukanlah modus supaya bisa masuk ruang Kepala Kantor seperti yang dibuat banyak pegawai sekadar mencari perhatian.
Kemampuannya melatih diri menggunakan perangkat IT, tidaklah dimotivasi oleh bayangan sukses – seperti kebanyakan orang- tetapi oleh ketabahan tanpa henti. Ia menghadapi kekecewaan atas penugasan yang saya berikan kepadanya dengan mata terbuka dan hati tawakal. Ia pergi menentang kesia-siaan yang tak terelakkan dengan sabar, karena ia sadar betul tak bisa berbuat banyak dengan pelatihan itu.
Inilah nilai yang ia ajarkan kepada saya selama bekerja bersamanya. Sebuah filosofi mengenai ke-belum-an sebagai sikap dasar yang harus dipertahankan untuk bisa bergerak terus menuju masa depan.
“Pak John, pahlawan bukan hanya orang yang menang atas nasib dan takdirnya, dan berdiri dengan penuh selebrasi memamerkan sertifikat-sertifikat, melainkan seseorang yang selalu berusaha tanpa pernah menyerah, meski tahu ia tak bisa memenangkan pertandingan. Dalam perspektif ini, engkau adalah Pahlawan. Mencoba untuk maju dengan segala keterbatasan tanpa pernah menyerah meski tahu akan kalah.”
Orang baik. Jejakmu akan tetap hidup dalam pekerjaan yang engkau tinggalkan, dalam kebaikan yang engkau sebarkan, dan dalam kenangan setiap orang yang pernah bekerja denganmu. Ruangan itu akan senyap dengan kehadiranmu.
Karena di antara ruang-ruang yang senyap itu, kami membaca sebuat etos harapan: ketabahan untuk bertahan dengan pekerjaan yang disepelekan banyak orang, adalah sebuah peringatan terus menerus tentang bahaya menggantikan harapan dengan kebanggaan masa kini yang semu.
Saya menulis obituari ini di Web Kementerian Agama Pusat, meski nama John Sopaba tak pernah dikenal di Jakarta. Tapi ia selalu dengan riang gembira mengantar pejabat-pejabat penting dari Kementerian Agama Jakarta, saat mereka melakukan perjalanan dinas di Kota Kupang di masa-masa yang lalu.
Selamat jalan, orang baik. Melalui kesetiaan pada pekerjaan kecilmu, engkau seakan menyadari kami tentang sense of purpose dan sense of mission dalam pekerjaan kami sebagai ASN, abdi negara di Kementerian Agama. Semoga pengabdianmu ini menjadi cahaya dalam perjalananmu menuju rumah Bapa di surga yang baka. (JB Kleden)