Radea Juli A Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Di tengah hiruk pikuk dunia yang kian pucat oleh rakus dan serakahnya manusia, bumi telah menjadi tempat yang tidak hanya luka secara fisik, tapi juga menangis secara spiritual. Perguruan tinggi Islam, yang menjadi menara cahaya dan penjaga warisan profetik, dihadapkan pada pertanyaan penting: Masihkah ilmu yang diajarkan menjadi lentera yang bisa menuntun manusia pada kesadaran akan Tuhan dan ciptaan-Nya?
Krisis ekologis bukan sekadar masalah teknis, ia terjadi karena manusia telah menyimpang dari fitrahnya sebagai hamba dan khalifah. Ketika tanah retak, udara keruh, dan laut tercemar, yang sesungguhnya retak adalah hubungan kita dengan Sang Khaliq. Harus kita akui, kerusakan bumi adalah cerminan dari rusaknya batin manusia.
Harmoni Ciptaan
Di titik inilah eko-teologi hadir. Ia bukan disiplin ilmu tambahan, ia adalah ziarah intelektual dan spiritual untuk kembali pulang ke pusat makna. Ia bukan sekadar kajian, tapi jalan pulang ke kesadaran tauhid yang utuh dan otentik, yang memandang semesta bukan sebagai benda mati, tetapi sebagai ayat-ayat hidup yang bernafas dan berdzikir. Bukankah langit, laut, gunung, dan angin pun bertasbih? Bukankah semua yang ada di alam ini adalah bagian dari wirid kosmik yang tak pernah putus?
Sungguh, ada tuturan suci al-Qur’an yang mungkin luput untuk kita renungkan: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi… terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Ali Imran: 190). Ini bukan sekadar pesan untuk berpikir, tetapi ajakan untuk menyatu, menjadi saksi dan pelaku dalam harmoni ciptaan.
Ketika Sayyid Hossein Nasr menyebut hilangnya rasa sakral terhadap alam sebagai “krisis spiritualitas modern”, Nasr sesungguhnya sedang menunjuk tepat ke hati kita yang mengeras oleh logika konsumsi dan hilangnya mata batin untuk melihat keindahan sebagai tanda, bukan sebagai komoditas.
Perguruan tinggi Islam seharusnya tidak menjadi pabrik gelar atau pusat kompetensi semata, tetapi juga menjadi taman dzikir intelektual. Di dalamnya, eko-teologi menjadi jembatan antara ilmu kalam dan konservasi, antara tafsir dan tindakan, antara fiqh dan cinta. Mahasiswa tidak sekadar belajar tentang hukum atau teori, tapi juga diajak berdialog dengan daun yang gugur, dengan sungai yang mengering, dan dengan bumi yang ditanami beton sembarangan.
Hadis Nabi Muhammad Saw tentang pohon yang menjadi sedekah adalah simbol yang dalam, bahwa setiap tindakan ekologis adalah ekspresi ibadah. Memberi makan burung atau melestarikan sumber air bukan hanya tugas ekolog, tapi jalan sunyi seorang hamba. Sungguh, di balik bunga yang mekar ada jejak cinta Tuhan. Dalam akar yang menyerap air ada makrifat tentang keseimbangan ilahi.
Fazlun Khalid, pendiri Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES), mengingatkan, bahwa Islam tidak perlu dimodifikasi agar ramah lingkungan. Islam, sudah sejak awal bersumber dari ekologi tauhid. Maka tugas kita bukan menciptakan ajaran baru, tapi menyingkap kembali makna yang telah lama tertutup debu modernitas.
Jika kita gagal menanamkan kesadaran ini di ruang-ruang akademik Islam, kita sedang mempersiapkan generasi yang mungkin cerdas, tapi buta arah. Mahir berargumen, tapi kering empati. Fasih berbicara Tuhan, tapi tak peduli pada rumah-Nya, bumi. Padahal, dalam Islam, khalifah bukanlah pemilik, melainkan penjaga. Amanah itu bukan tentang kuasa, tapi tentang tanggung jawab.
Simfoni Semesta
Barangkali, saatnya kita beralih dari paradigma yang menempatkan manusia di pusat segalanya, menuju “paradigma tauhidik” yang menempatkan manusia sebagai bagian dari simfoni semesta.
Saya kira, eko-teologi adalah pelita dalam perjalanan panjang menuju kesadaran kosmik: bahwa mencintai bumi adalah bentuk tertinggi dari mencintai Tuhan. Sebagaimana Ibn ‘Arabi berkata, “Alam ini adalah bayangan Tuhan…” Kita pun diajak mencintai bayangan itu, karena dalam cinta itulah kita menyentuh Sang Pemilik Cinta.
Bukankah tujuan ilmu adalah untuk membawa manusia kepada makna terdalam dari keberadaannya? Dan bukankah makna itu tak akan pernah utuh tanpa cinta kepada bumi yang menopang sujud kita setiap hari? Allahu a’lam.
Radea Juli A Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung