Kebetulan saya tergabung dalam Pokja REDD+ Kalbar, paling senang bila ada gerakan menanam pohon. Salah satunya Kemenag, baru saja menanam sejuta pohon Matoa. Wow..luar biasa, wak. Lembaga ngurusin agama, malah peduli sama isu lingkungan. Sambil menikmati bubur ayam dan tentu kopi, mari cari tahu lebih dalam.
Pada 22 April 2025. Dunia masih bergelut dengan krisis iklim, es kutub mencair secepat saldo dompet akhir bulan, dan manusia sibuk membuang plastik sembari mengeluh kenapa hujan turun pas lagi cuci motor. Tapi di tengah semua kekacauan itu, hadir satu institusi yang tak hanya berdiri tegak di atas akidah, tapi juga berdiri di bawah pohon rindang dengan cangkul di tangan. Ya, inilah Kementerian Agama Republik Indonesia. Institusi yang biasanya kita kenal dengan urusan pernikahan, madrasah, haji, dan sidang isbat, tiba-tiba berubah wujud menjadi Pasukan Hijau Tuhan lewat Gerakan Penanaman Sejuta Pohon Matoa.
Jangan kaget. Ini bukan sekadar kampanye menanam ala-ala, lalu fotonya diunggah, bibitnya ditinggal. Bukan. Ini serangan darat berbalut iman yang dilancarkan secara serentak di seluruh Indonesia. Lebih dari 43.000 lembaga di bawah Kemenag, madrasah, Kantor Urusan Agama, tempat-tempat ibadah dari Sabang sampai Merauke, semua turun tangan. Bahkan guru ngaji yang biasanya sibuk ngajarin anak-anak iqra, kini mendadak jadi ahli botani spiritual.
Pilihan pohonnya? Bukan sembarang pohon. Bukan juga hasil polling medsos. Tapi Pohon Matoa, tumbuhan endemik Papua, tinggi menjulang sampai 50 meter, dan buahnya? Legit, manis, seger, seperti pahala yang turun perlahan di musim kemarau.
Kenapa Matoa? Pertama, karena nilai ekologisnya tinggi. Matoa mampu bertahan di berbagai jenis tanah dan iklim. Dia bukan tipe manja yang harus dipupuk tiap hari, dia kuat, tangguh, dan menyejukkan. Kedua, karena buahnya bernilai ekonomis. Kandungan vitamin dan antioksidannya membuat Matoa bisa bersaing dengan superfood impor. Ketiga, karena filosofinya dalam, Matoa tumbuh lambat tapi pasti, diam-diam tapi membawa keteduhan. Seperti doa-doa para pemeluk agama yang tulus tanpa pamrih, tapi menggetarkan langit.
Keempat, ini yang paling menggetarkan relung batin, karena penanaman ini adalah bagian dari program ekoteologi, penggabungan antara kesadaran ekologis dengan nilai-nilai religius. Bayangkan, wak! Menanam pohon tak lagi sekadar aksi sosial atau proyek lingkungan, tapi bagian dari ibadah. Ente nyangkul tanah, lalu berzikir. Ente sirami bibit, sambil bershalawat. Ini bukan lagi tentang bumi yang butuh manusia, tapi tentang manusia yang akhirnya sadar, kalau mau masuk surga, jangan cuma hafal doa masuk mau makan dan malam Jumat, tapi juga tanam pohon.
Beberapa kantor wilayah Kemenag bahkan melaporkan jumlah epik, Kemenag Sumsel menanam 5.645 pohon, Kemenag Batang tanam 1.000 pohon. Untuk Kalbar, daerah gue ni, wak, telah menanam 9.776 pohon Matoa, plus pohon lainnya sehingga total pohon 32.456 batang yang ditanam. Salut buat Pak Muhajirin Yanis dan pasukan hijaunya.
Ada madrasah yang menjadikan Matoa sebagai simbol baru dalam pelajaran akidah akhlak. Ada santri yang kini punya tugas harian, mengaji, menyiram Matoa, lalu mengecek apakah daunnya menguning karena hama atau karena kesalahan siraman spiritual.
Tak lupa, seluruh program ini dilakukan tanpa mengganti kitab suci dengan cangkul, alias tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Bahkan tokoh-tokoh agama, dari berbagai denominasi, diajak serta dalam gerakan ini. Karena kalau bumi rusak, bukan cuma umat satu agama yang kena, semuanya bakal kehujanan di musim kemarau dan kepanasan di malam takbiran.
Maka, ketika orang-orang masih sibuk debat apakah kiamat akan datang lewat asteroid atau inflasi, Kemenag sudah mengambil langkah nyata, menanam pohon yang buahnya bisa dinikmati cucu-cucu kita, dan akarnya menancap sampai ke langit harapan.
Gerakan ini bukan hanya soal penghijauan. Ini adalah bentuk dari iman yang bertanggung jawab. Bahwa menyayangi bumi bukan tugas LSM, bukan proyek anak geografi, mahasiswa kehutanan, tapi bagian dari ajaran agama yang sesungguhnya. Maka hari ini, kita tak hanya melihat cangkul, tanah, dan bibit. Kita melihat keyakinan yang tumbuh.
Salut, Kemenag. Di saat banyak yang sibuk memperdebatkan siapa paling benar, kalian memilih menanam yang benar. Dari tanah yang digali dengan cinta, akan tumbuh Matoa yang bukan hanya rindang, tapi berbuah pahala.
Rosadi Jamani (Ketua Satupena Kalbar)