Dalam Gereja Katolik, Kamis Putih merupakan salah satu hari penting dalam rangkaian Pekan Suci. Pada hari Kamis Putih, Umat Katolik memperingati peristiwa Perjamuan Terakhir “The Last Supper” antara Tuhan Yesus dan para murid-Nya. Sebuah peristiwa yang menampilkan perayaan iman yang penuh makna tentang kasih, pengorbanan, dan pelayanan. Dalam momen ini, Tuhan Yesus melakukan tindakan yang mengguncang tradisi masyarakat Yahudi pada masa itu. Apa itu? Ia, seorang Guru, membasuh kaki para murid-Nya. Tindakan ini adalah simbol kerendahan hati dan kasih yang melayani. Perayaan Kamis Putih menjadi pintu masuk menuju misteri Paskah: sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan Yesus.
Selain Perjamuan Kudus dan pembasuhan kaki, dalam perayaan Kamis Putih terdapat sebuah tradisi yang dilakukan, bernama agape. Tradisi agape merujuk pada perjamuan kasih bersama, biasanya berupa makan bersama secara sederhana namun penuh dengan makna. Biasanya sebagian keluarga atau komunitas Kristiani tertentu merayakan “agape” sesudah perayaan Misa Kudus. Tradisi ini menegaskan semangat persaudaraan, kebersamaan, dan solidaritas yang berakar dari kasih Kristiani (Frank K. Flinn:2007,10).
Kata agape merupakan istilah Yunani yang berarti “kasih yang tanpa syarat”. Dalam HarperColins Bible Dictionary (1996) dijelaskan bahwa kata agape yang digunakan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru adalah untuk mengambarkan Kasih Allah yang begitu besar untuk dunia. Allah membawa keselamatan bagi umat manusia. Ia rela menderita demi umat manusia. Lebih lanjut dijelaskan, jika kata ini digunakan bagi manusia, maka kata agape dimaknai sebagai “selfless and self-giving love” (kasih yang tidak egois dan rela berkorban).
Agape bukan hanya sekadar sebuah tradisi atau aktivitas lahiriah tetapi memiliki nilai teologis dan moral yang sangat dalam ajaran Katolik. Kasih agape adalah kasih yang tidak menuntut balasan, kasih yang siap berkorban, dan kasih yang tidak bersyarat. Paus Benediktus XIV dalam Ensiklik Deus Caritas Est, menyebut agape sebagai kasih yang menurun dan memberi (art.7). Ia melampaui (tidak meniadakan) kasih eros/kasih romantis dan philia/kasih persahabatan. Dalam moral Katolik, agape menjadi dasar dari seluruh tindakan etis, menuntun umat untuk mencintai sesama bahkan mereka yang dianggap musuh. Sebagaimana Tuhan Yesus bersabda dalam Injil Lukas 6:27-28:
6:27 “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;
6:28 mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.
Inilah kasih yang menghidupkan dan menggelorakan semangat pengampunan, rekonsiliasi, dan kerelaan berbagi.
Agape mengajarkan kasih yang aktif, bukan pasif. Kasih yang konkret/nyata, bukan abstrak/di awang-awang. Ia mendorong manusia untuk keluar dari dirinya sendiri/egoisme dan membangun kepedulian terhadap sesama. Dalam dunia yang semakin dipenuhi dengan perselisihan/konflik, polarisasi, dan kebencian, agape mampu menjembatani perbedaan. Ia dapat menumbuhkan rasa hormat antarmanusia. Agape adalah jalan menuju masyarakat yang damai dan inklusif. Hal ini terlihat jelas dan terrealisasi dalam Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta 2022-2026 yaitu “Mengasihi, Peduli, dan Bersaksi” yang terus menerus digaungkan dan dianimasi oleh Uskup Agung Jakarta Kardinal Mgr. Ignatius Suharyo.
Dalam konteks Indonesia, semangat agape menemukan resonansi yang kuat dalam gagasan Kurikulum Cinta yang diinisiasi oleh Menteri Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. Dalam beberapa kesempatan, beliau menyampaikan bahwa kurikulum ini bertujuan membentuk karakter peserta didik yang memiliki kasih terhadap sesama manusia, lingkungan, bangsa, dan Tuhan. Kurikulum ini tentu saja tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga mengasah empati, toleransi, tanggung jawab sosial, dan kepekaan terhadap kemanusiaan. Kurikulum ini menempatkan kasih sebagai fondasi,isi, dan tujuan dari sebuah proses pendidikan.
Kurikulum Cinta secara eksplisit mengandung prinsip-prinsip yang senafas dengan agape. Cinta yang diajarkan bukan sekadar perasaan sentimental, melainkan cinta yang memampukan seseorang untuk mengambil keputusan moral yang benar. Cinta yang mendorong seseorang untuk melayani dan membela martabat manusia lain. Sama seperti Tuhan Yesus yang membasuh kaki para murid sebagai tanda kasih, pendidikan harus juga membentuk insan yang rela “membasuh kaki” sesamanya (dalam arti bersedia membantu, menghormati, dan memperjuangkan kebaikan bersama/bonum commune).
Perayaan Kamis Putih dengan seluruh simbolismenya merupakan momen yang tepat untuk merenungkan dan menyegarkan kembali semangat kasih dalam kehidupan sehari-hari. Gereja Katolik mengajak umat Katolik untuk tidak hanya mengenang, tetapi meneladani kasih Tuhan Yesus dalam konteks nyata: keluarga, sekolah, masyarakat, dan bangsa. Keteladanan kasih yang melayani bisa menjadi model untuk membentuk generasi baru yang “brilliant and compassionate” (tidak hanya pintar, tetapi juga penuh kasih dan peduli terhadap orang lain)
Agape, sebagaimana diajarkan dalam tradisi Kamis Putih, mendorong kita untuk hidup dalam cinta. Di tengah keragaman agama, suku, dan budaya di Indonesia, agape mengajarkan bahwa kasih tidak boleh eksklusif. Cinta yang membangun bangsa Indonesia adalah cinta yang melihat orang lain sebagai saudara, bukan pesaing atau musuh. Di sinilah pentingnya pendidikan yang menghidupi nilai-nilai cinta seperti yang ditekankan dalam Kurikulum Cinta.
Kita semua menyadari bahwa cinta tidak bisa hanya diajarkan lewat kata-kata atau teori belaka. Ia harus diteladankan, dibiasakan, dan dialami dalam hidup sehari-hari. Maka, sinergi antara semua pihak: lembaga keagamaan, sekolah, keluarga, dan pemerintah dalam membentuk budaya cinta menjadi sangat penting. Kurikulum Cinta bukanlah sekadar kebijakan, tetapi gerakan moral yang harus menyentuh hati dan praksis hidup kita bersama. Agape menjadi energi spiritual yang mendasari gerakan ini.
Dalam konteks dunia yang penuh tantangan (krisis iklim, kemiskinan, hingga konflik sosial), Kamis Putih dan Kurikulum Cinta menawarkan harapan. Harapan bahwa dunia masih bisa dan selalu bisa dibangun di atas dasar kasih dan bukan kebencian; di dalam solidaritas dan bukan permusuhan. Pendidikan yang berlandaskan kasih mampu menciptakan agen-agen perdamaian dan keadilan sosial, yang mampu mengubah dunia secara perlahan tetapi pasti. Inilah yang dinamakan “educating the whole person, mind and heart”.
Mari kita sekarsa sejiwa dalam mendukung program Kurikulum Cinta ini. Boleh dikata, Bapak Menteri Agama sedang berinvestasi. Investasinya bukan pada materi/harta tetapi pada manusia, orang-orang muda Indonesia. Orang muda yang nantinya hidup dalam cinta, menjadi tanda kehadiran cinta dan menyebarkan cinta. Orang muda yang menjunjung martabat setiap manusia dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Maka sekali lagi, inilah investasi yang paling berharga bagi bangsa. Sudah pantas dan selayaknya didukung dengan sepenuh-penuhnya.
Sebagai penutup, Perayaan Kamis Putih dan Kurikulum Cinta seolah bersua dalam satu pesan besar: hidup dalam kasih dan ajarkan kasih itu kepada dunia di sekitar kita. Mari kita jadikan momen iman ini sebagai panggilan untuk menghidupi agape dalam konteks Indonesia masa kini, sebagai bangsa yang majemuk, yang sedang terus membangun dan mengokohkan peradaban kasih yang inklusif, adil, dan damai.
Hendrikus Ingrid Meze Doa (ASN Ditjen Bimas Katolik)