Pada 10 April 2025, Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang menyelenggarakan gelar wicara dengan tema: “Paskah Memulihkan Mental dan Spiritualitas IAKN Kupang”. Saya diminta meninjau tema ini dari sudut pandang interaksi sosial.
Dalam pengertiannya yang simple, interaksi sosial adalah proses komunikasi dan hubungan di antara manusia yang saling mempengaruhi dalam sebuah kebersamaan hidup. Interaksi sosial, yang tidak harmonis selalu melahirkan luka dan peradangan yang berkepanjangan. Jika tidak diselesaikan dengan baik biasanya menyimpan bara yang berpotensi melahirkan konflik. Maka sebuah pemulihan merupakan kemendesakan.
Panitia seperti menyodorkan sebuah “la condition humaine” dan ingin membangun melankolia Paskah bagai suatu titik henti untuk memulai sesuatu yang baru. Karena bagi orang Kristen Paskah adalah inti dari iman Kristiani. “Jika Yesus tidak bangkit, maka sia-sialah iman kita”, tulis rasul Paulus dalam 1 Korintus 15:17-19. Dan karena Tuhan yang bangkit memulihkan, adalah Tuhan yang menderita, saya terdorong untuk membicarakan tema ini: “Keterlukaan Realitas Kita, Paskah Solidaritas Tuhan.”
Keterlukaan Realitas Manusia
Keterlukaan adalah realitas kita sebagai ciptaan. Kita terluka di dalam hidup pribadi, di dalam keluarga, di dalam masyarakat. Ada keterlukaan yang dialami komunitas agama, juga keterlukaan yang menimpa negara atau institusi negara.
Keterlukaan sebagai pengalaman eksistensial selalu menyentuh kesadaran manusia, dan biasanya para penyairlah yang mengungkapkan luka kemanusiaan ini dengan intens berkat kepekaannya yang tajam. “El poeta habla de la boca de la herida”, kata orang Spanyol. Penyair berbicara dari mulut luka. Keterlukaan yang diungkapkan penyair menginspirasi dan mendorong pembaca untuk menjadi peka terjadap keterlukaan yang ada dalam dirinya dan orang lain, dan melibatkan diri dalam proses penyembuhan atau pemulihan.
Saya mengambil contoh dalam kesusatraan Indonesia modern. Sajak Chairil Anwar, “Aku” sering dipahami sebagai pemakluman sebuah kebangkitan kesadaran akan individu yang hendak merdeka dari kekangan apapun. Namun dalam sajak itu Chairil Anwar melukiskan bahwa “Aku” yang otonom tersebut bukanlah pribadi yang bebas dari keterlukaan. “Luka dan Bisa Kubawa Berlari”.
Chairil Anwar tidak menulis: aku berlari dari luka-lukaku, tetapi “luka dan bisa kubawa berlari”. Chairil memaklumkan kesadarannya bahwa tidak ada orang yang bisa bebas dari keterlukaan. Keterlukaan adalah sebuah keniscayaan. Setiap kita punya luka, entah kelihatan atau tidak, diakui atau ditutupi. Dan keterlukaan itu membelenggu. “Luka//ha ha” (Puisi “Luka” karya Sutardji Calzoum Bachri)
Karena sudah terlampau lama “Aku” dibelenggu, atau membiarkan diri dibelenggu oleh kawanannya. Sekarang, ketika kesadaran akan kemendesakan pembebasan itu muncul, sang “Aku” berlari membawa luka dan bisanya. Motif lari bukanlah ketakutan, tetapi keinginan kuat untuk mengejar ketertinggalan. Hanya, apakah dengan berlari, mengambil langkah esktra, bekerja lebih keras, menjadi lebih sibuk, baik secara pribadi maupun sebagai lembaga, kita terbebaskan dari luka dan bersih dari bisa?
Di sini Ch. Anwar membiarkan kita mengambang. Dia hanya menulis: “Luka dan bisa kubawa berlari//berlari//hingga hilang pedih perih.” Pedih dan perih bisa saja hilang. Boleh jadi karena obsesi pada lari, pada kerja keras, orang tidak lagi merasakan pedih dan perih dari lukanya. Namun, itu belum tentu berarti bahwa lukanya telah sembuh, bahwa tubuhnya sudah bersih dari bisa dan racun.
Tidak Peduli, Sengaja Amnesia
Terhadap luka kita cenderung mengambil sikap tidak peduli. Dua baris terakhir puisi “Aku” menyingkapkan falsafah ini: untuk dapat hidup seribu tahun lagi, jangan ambil pusing pada luka dan keterlukaan. “Dan aku akan lebih tidak peduli// Aku mau hidup seribu tahun lagi.”
Hidup seribu tahun lagi, adalah ungkapan ambisius seorang yang hendak menjadi Merdeka, dianggap hanya bisa dicapai jika orang tidak peduli pada luka dan bisa yag dibawanya. Tidak peduli, amnesia (pada masa lalu, luka,) adalah obat yang dikira mampu membuat orang merasa berjaya di masa mendatang.
Sikap tidak peduli, amnesia ini seringkali dijual (pemimpin) atas nama kemajuan. Ideologi ini dirasukkan pada ranah pribadi, keluarga atau pun bangsa. Bukan mustahil, ideologi ini secara gencar dianjurkan oleh pihak-pihak yang merasa keamanan dirinya terancam baik karena luka masa lalu, atau karena merasa dirinya tidak lebih baik dari para pendahulunya.
Kita dibuat percaya bahwa kita tidak perlu hidup dengan memperhatikan masa lalu, dengan merasa terikat pada yang lampau, kalau mau maju. Karena semuanya itu hanyalah sisa-sisa kekuasaan masa lampau.
Ini dengan sangaja dikondisikan untuk memberikan perhatian utama pada diri sendiri. Dirinya adalah pusat segalanya. Segalanya ditentukan oleh diri sendiri. Orang menentukan sendiri bukan hanya apa yang hendak dilakukannya, tetapi juga siapa dirinya.
Penampilan optimal hari ini, itulah yang penting – dan semua wajib dihadirkan ke depan publik secara maraton dan instan. Maka jangan heran kalau istagram hanya sekadar menjadi small talks on big things tempat menuangkan isi hati. Dan bangga kalau mendapat banyak followers.
Apa yang berharga dari ideologi amnesia selain separuh ilusi? Kita sedang mengalami penyakit skizofrenia eksistensial dan alzheimer spiritual. Kita memberi harga pada sesuatu yang sia-sia. Sebab luka itu tidak bisa dihilangkan dengan melupakan. Ia hanya disembuhkan atau dipulihkan. Sebab Luka itu ibarat “kersik pada karang, lumut pada lokan, yang akan tetap juga di sana – apa pun maknanya. (Goenawan Mohamad, sajak “Pada Sebuah Pantai: Interlude”)
Paskah Solidaritas Tuhan
Karena luka itu realitas kita, maka kita membutuhkan sebuah missio ad vulnera, berjalan bersama dengan mereka yang terluka. Atau, karena semua kita terluka, kita musti berbicara tentang missio inter vulnera.
Untuk misi ini, seorang Kristiani musti berpaling kepada Sang Missionaris utama, Yesus Kristus, Dia, yang kepala-Nya berluka. Dari bilur-bilurnya, luka kita disembuhkan. Atau meminjam tema talkshow kita – “Paskah Memulihkan.” Paskah adalah jalan Tuhan untuk melaksanakan missio ad vulnera — misi bagi mereka yang terluka.
Allah menampilkan diri dalam rupa seorang manusia yang kehilangan seluruh keindahannya untuk memulihkan keindahan manusia yang terluka. Itulah keyakinan iman Krstiani, bahwa di dalam Yesus yang menderita Tuhan mengambil bagian dalam keterlukaan kita. Jalan salib kita menjadi jalan salib Tuhan. “Yesus berjalan ke Golgota// disandangnya salib kayu// bagai domba kapas putih//….. Ia melangkah ke Golgota// jantung berwarna paling agung// dikunyahnya dan betapa getirnya” (W.S. Rendra, sajak “Balada Penyaliban,” )
Tuhan wajah yang tersalib, wajah yang berluka, adalah wajah Tuhan yang rahim. “Il nome di Dio è Misericordia, Nama Tuhan adalah Kerahiman,” judul buku hasil wawancara wartawan Italia, Andrea Tornielli, dengan Paus Fransiskus.yang terbit pada pertengahan Januari 2016. Setiap orang Kristiani percaya dari kerahiman Tuhan, luka manusia dipulihkan.
Tuhan yang rahim tidak meniadakan kesalahan dan kedosaan manusia. Namun hanya, dengan Tuhan yang rahimlah salah dan dosa dapat diakui dengan jujur, dan pengakuan yang jujur adalah awal untuk pemulihan dan jalan menuju perubahan. Pengakuan kesalahan, meminta maaf dan memberi maaf adalah syarat pemulihan mental-spiritual untuk menjadi pribadi yang utuh. Pribadi seperti ini akan mampu melahirkan transformasi diri. “… kulihat Tubuh mengucur darah// aku berkaca dalam darah// terbayang terang di mata masa// bertukar rupa ini segara// mengatup luka// aku bersuka” (Chairil Anwar sajak “Isa”)
Kampus Tenda Rumah Sakit
Dari perspektif interaksi sosial, Paskah memulihkan artinya Paskah mendorong kita untuk kembali menghidupi budaya bela rasa (compassion) dan belas kasih (mercy).
Maka mesti ada perhatian khusus untuk pemulihan. Kita tidak membutuhkan para imam yang lewat begitu saja – di seberang jalan dan berkotbah tentang keterlukaan kita. Kita membutuhkan seorang Samaria yang berhenti memproduksi wacana dan memolesi luka dengan minyak luka. Bukan dengan menyiramkan cuka.
Interaksi sosial yang humanis menekankan nilai-nilai kemanusiaan, empati, kehadiran fisik, dan hubungan emosional yang mendalam. Interaksi ini melibatkan keterlibatan seluruh diri dan suasana hati yang tidak dapat sepenuhnya direplikasi oleh teknologi. Kita membutuhkan kehangatan dan keakraban.
Karena itu kita perlu terlibat sebagai saudara: saling berbagi, saling peduli dan saling menumbuhkan harapan. Kita perlu membangun mental spiritual baru, beralih dari mentalitas komando kepada kreativitas dan inisiatif karena ada tanggungjawab. Kita musti membangun komunitas kita menjadi “tenda rumah sakit” di medan perang yang menerima siapa saja yang berluka, apapun kondisinya. Kita harus saling menyembuhkan dulu baru setelah itu kita boleh bicara tentang hal-hal lain.
Kita Tabib yang Berluka
Dan karena semua kita adalah juga orang-orang yang terluka atau pernah melukai, kita menjadi tabib yang berluka, untuk memulihkan keterlukaan kita.
Untuk memulihkan seseorang kita tak perlu menjadi dokter. Tetapi ketika kita menjadi dokter kita harus menyembuhkan semua orang yang menjadi tanggungjawab kita. Untuk mengasihi seseorang kita tak perlu harus menjadi pemimpin, namun ketika kita dipercayakan menjadi pemimpin kita wajib mengasihi semua orang yang menjadi tanggungjawab kita.
Hal yang perlu dielakkan adalah ungkapan perasaan yang hanya sebatas sebuah sentimentalism tanpa daya untuk aksi yang bersifat liberatif. Sebab Tuhan yang rahim, sebagaimana disaksikan Kitab Suci dan diperkenalkan oleh Yesus dari Nazareth, adalah Allah yang membebaskan. Menjadi murid yang setia dan kreatif dari Tuhan yang rahim, adalah jalan bagi kita menanggapi dunia yang terluka.
Kesediaan seperti ini sanggup menjadikan pengalaman terluka sebagai sumber tranformasi diri. Diri yang bertransformasi dapat berkontribusi bagi penyembuhan orang lain. Kita menjadi tabib yang berluka.
Apakah kita punya daya cipta dan dedikasi untuk ini? Tidak semua memang bisa ditanya untuk apa. Tapi prospeknya ada, tergantung niat baik kita semua.
***
Kalau filsafat ditulis untuk menajamkan akal, ilmu untuk mengatur pengetahuan, teologi untuk mempertahankan iman, maka tema ini dengan sengaja disajikan dalam bentuk esei untuk mempertahankan harapan. “We must love one another or die”, tulis W.H.Auden dalam sajaknya “September 1,1933” yang berkumandang di awal PD II namun intinya arif untuk membangun interaksi sosial yang humanis.
Dengan kutipan ini saya mengucapkan “Selamat Paskah”. Time is a kind friend. Waktu akan menyembuhkan segala luka. Wajah Tuhan Yang Rahim adalah wajah penuh keindahan. And a thing of beauty is joy for ever. (*)
JB Kleden (Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial Keagamaan Kristen, Institut Agama Kristen Negeri Kupang)