Fadhly Azhar (ASN Kementerian Agama)
Dalam dunia yang makin modern dan saintifik, jarak antara laboratorium dan ruang kehidupan spiritual tampak makin lebar. Namun, fisika kuantum, yang sering dianggap sebagai puncak pencapaian ilmu Barat, diam-diam memiliki resonansi yang mengejutkan dengan khazanah intelektual Islam klasik—apa yang kita kenal sebagai turâts, atau kitab kuning. Di persimpangan ini, ada pelajaran mendalam mengenai kemanusiaan kita.
Fisika kuantum mengguncang cara kita memahami realitas. Ia menghapus kepastian mutlak ala Newtonian, dan menggantinya dengan probabilitas, ketidakpastian, dan keterikatan antara pengamat dan objek. Ia menolak kejelasan tunggal, dan mengajak kita menerima kenyataan sebagai jaringan kemungkinan. Sekilas, ini tampak asing. Namun bagi mereka yang akrab dengan turâts, ini justru mengingatkan pada cara para ulama klasik membaca realitas: tidak hitam-putih, tapi penuh lapisan, konteks, dan ijtihad.
Ambil contoh konsep ta‘addud al-ma‘ânî—pluralitas makna—dalam tafsir dan usul fiqh. Dalam tafsir al-Baydawi, misalnya, satu kata dalam Al-Qur’an bisa memiliki beragam makna sahih. Bukan karena tafsir itu tidak pasti, tapi karena makna itu melekat pada konteks dan niat pembacanya. Bukankah ini serupa dengan prinsip dalam mekanika kuantum bahwa partikel tak memiliki posisi pasti hingga diamati? Bahwa tindakan mengamati bukanlah aktivitas pasif, melainkan ikut menciptakan realitas?
Lebih jauh, prinsip ketidakpastian Heisenberg—yang menyatakan kita tak bisa secara bersamaan mengetahui posisi dan momentum partikel dengan presisi mutlak—seolah menggema dalam ungkapan kullu mujtahid musîb (setiap mujtahid mendapat pahala, meski berbeda hasil ijtihadnya). Dalam dua-duanya, kebenaran bukanlah satu titik tunggal, tapi rentang kemungkinan yang bergantung pada sudut pandang dan kedalaman usaha.
Kitab al-Muwâfaqât karya al-Syatibi, misalnya, menggambarkan syariat sebagai struktur yang fleksibel, penuh maqâsid (tujuan), bukan sekadar teks beku. Ini sejalan dengan prinsip entanglement dalam fisika kuantum—bahwa elemen yang tampak terpisah sebenarnya saling terhubung dalam satu sistem. Al-Syatibi menekankan bahwa tidak ada satu hukum yang bisa dipahami secara terisolasi dari maqasid dan konteks sosialnya. Begitu pula, partikel kuantum tidak bisa dipahami sebagai benda tunggal, tapi sebagai bagian dari sistem yang saling terkait, bertalian pilin berpilin.
Kita pun, sebagai manusia, tak bisa dipahami hanya dari tampilan atau satu momen tindakan. Dalam banyak pengajaran sufistik—dari al-Ghazali hingga Ibn ‘Arabi—ada pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang dzauqî, yang memahami melalui rasa, bukan hanya logika. Bahwa kebenaran bukan sekadar informasi, tapi juga tajalli—manifestasi yang berubah-ubah tergantung kesiapan batin.
Dalam konteks ini, kehidupan modern yang menuntut kepastian, efisiensi, dan pengukuran kuantitatif nyaris lupa bahwa manusia bukan mesin logis. Kita lebih menyerupai sistem kuantum: rumit, tidak selalu konsisten, tapi penuh potensi. Kita bisa ragu dan yakin dalam waktu bersamaan. Kita bisa mencintai dan benci dalam satu tarikan napas. Dan seperti partikel yang ‘meledak’ menjadi kepastian saat diamati, kita pun sering kehilangan potensi karena terlalu cepat dihakimi.
Sayangnya, dalam budaya publik kita hari ini, kecenderungan untuk “mengukur” orang terlalu dini begitu dominan. Kita menilai tanpa memahami, menuduh tanpa konteks. Padahal kitab-kitab kuning mengajarkan tatsabbut—verifikasi, kehati-hatian dalam menilai. Dalam Muqaddimah Ibn Khaldun, bahkan sejarah pun harus dibaca secara kritis, sebab fakta tanpa pemahaman struktur bisa menyesatkan. Ibn Khaldun mengajak kita melihat ‘illat di balik hukm, sebab di sanalah letak kebenaran yang lebih dalam.
Demikian pula, fisika kuantum mengajarkan bahwa realitas tidak bisa dipisahkan dari cara kita mengamatinya. Bahwa kepastian bukanlah hakikat, tapi ilusi yang kita bentuk dari kebiasaan dan keterbatasan indera. Dalam turâts, para ulama sadar akan keterbatasan manusia, dan karena itu ilmu dibingkai dalam adab, dalam kerendahan hati epistemologis.
Maka, di tengah dunia yang kian gaduh dengan klaim kebenaran tunggal, barangkali inilah saatnya kita belajar dari dua arah: dari partikel kuantum yang gelisah, dan dari kitab-kitab kuning yang sabar. Kita bisa menerima bahwa manusia tidak selalu logis, tidak selalu konsisten. Tapi justru di situlah kemanusiaan kita: dalam keterbatasan yang menumbuhkan kasih, dalam keraguan yang melahirkan tafakur.
Dalam tatanan ini, manusia bukan sekadar objek pengetahuan. Kita adalah bagian dari alam yang hidup, berpikir, dan merespons. Dan seperti partikel kuantum, kita hanya akan menemukan diri kita yang paling hakiki saat kita diamati dengan cinta, bukan dengan prasangka. Tersimpan percikan kemanusiaan yang paling dalam.
Alasan logis adanya Integrasi sains kuantum dan sosial-kemanusiaan kita dalam kurikulum cinta mungkin dapat dipertimbangkan dari sini. Yaitu meneropong kebenaran diri kita dan realitas kita paling dalam. Selamat Hari Kuantum Sedunia.
Fadhly Azhar (ASN Kementerian Agama)