Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah mengguncang berbagai sektor industri, namun di balik inovasi tersebut terdapat dampak lingkungan yang kian mengkhawatirkan. Berbagai penelitian terbaru telah mengungkap sejauh mana penggunaan AI memicu peningkatan emisi global dan mengganggu upaya dekarbonisasi yang tengah digalakkan di seluruh dunia.
Studi mendalam yang dilakukan oleh lembaga seperti Greenpeace mengungkapkan bahwa produksi semikonduktor untuk chip AI menghasilkan emisi yang jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Berdasarkan data publik, emisi yang dihasilkan meningkat hingga empat kali lipat pada tahun 2024. Temuan ini menandakan bahwa industri chip berpotensi menjadi salah satu penyumbang signifikan dalam permasalahan perubahan iklim.
Greenpeace, sebagai salah satu organisasi lingkungan terkemuka, melakukan analisis dengan memanfaatkan data yang tersedia untuk umum guna mengukur dampak produksi chip AI terhadap emisi karbon.
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa banyak produsen chip besar, seperti NVIDIA, sangat bergantung pada komponen dari perusahaan raksasa semikonduktor seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Co. dan SK Hynix Inc.
Seluruh rantai pasokan ini terutama berpusat di Asia Timur, yakni di Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Di negara-negara tersebut, jaringan listrik masih sangat bergantung pada penggunaan bahan bakar fosil, sehingga produksi semikonduktor membawa konsekuensi lingkungan yang serius dan berkontribusi pada peningkatan emisi global.
Selain isu emisi yang dihasilkan dari proses manufaktur chip, organisasi lingkungan juga mengangkat kekhawatiran mengenai peningkatan kebutuhan listrik global akibat AI.
Dikutip dari Engadget, Jumat (11/4/2025), Greenpeace memperkirakan bahwa permintaan listrik yang diperlukan untuk menggerakkan sistem-sistem AI dapat meningkat hingga 170 kali lipat pada tahun 2030.
Kenaikan kebutuhan listrik yang sangat eksponensial ini menimbulkan kekhawatiran bahwa persaingan di bidang teknologi AI dapat menggagalkan upaya global untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai target dekarbonisasi.
Jika tren ini terus berlanjut, dampaknya tidak hanya dirasakan pada sektor teknologi, tetapi juga pada ekosistem global, yang semakin terancam oleh polusi dan perubahan iklim. Situasi ini semakin kompleks ketika kebijakan energi di kawasan Asia Timur menunjukkan kecenderungan yang kontradiktif terhadap rekomendasi untuk beralih ke energi terbarukan.
Meskipun berbagai lembaga dan pakar lingkungan mendorong agar pemerintah di wilayah tersebut mengutamakan sumber energi yang ramah lingkungan, implementasi kebijakan justru menunjukkan peningkatan investasi pada bahan bakar fosil.
Sebagai contohnya, pemerintah Korea Selatan baru-baru ini mengumumkan rencana ambisius untuk membangun pembangkit listrik berbahan bakar gas dengan kapasitas mencapai empat gigawatt.
Di sisi lain, Taiwan memanfaatkan lonjakan permintaan listrik akibat teknologi AI untuk memperluas proyek gas alam cair dan infrastruktur jaringan listriknya. Kebijakan semacam ini mengindikasikan bahwa, di tengah babak persaingan global dalam pengembangan AI, transisi ke energi bersih tetap menjadi tantangan yang belum mendapatkan prioritas yang seharusnya.
Tidak hanya masalah di Asia Timur, studi lain oleh Badan Energi Internasional (IEA) mengarahkan perhatian pada konsumsi listrik yang terjadi di pusat data (data center) yang mendukung teknologi AI, terutama di Amerika Serikat.
Analisis IEA mengungkapkan bahwa pertumbuhan konsumsi energi oleh pusat data yang berkaitan dengan AI dapat menyumbang hingga setengah dari total kenaikan permintaan listrik global pada tahun 2030.
Peningkatan ini tidak dapat dianggap remeh, mengingat ekonomi Amerika Serikat juga semakin bergantung pada pengolahan data yang intensif. Faktanya, konsumsi listrik untuk memproses data saja diprediksi akan melampaui jumlah energi yang digunakan dalam produksi barang-barang industri berat seperti aluminium, baja, semen, dan bahan kimia.
Diperkirakan bahwa permintaan listrik dari pusat data global dapat meningkat dua kali lipat, mencapai sekitar 945 terawatt-jam (TWh) pada dekade mendatang. Angka ini tidak hanya melebihi perkiraan konsumsi listrik seluruh Jepang, tetapi juga setara dengan 30 kali lipat konsumsi listrik di negara dengan skala energi yang jauh lebih kecil seperti Irlandia.
Melihat ke depan, dunia perlu menyadari bahwa pergantian paradigma dalam penggunaan energi merupakan bagian integral dari evolusi industri dan teknologi. Setiap inovasi harus disertai dengan langkah-langkah mitigasi dampak lingkungan, agar pencapaian target dekarbonisasi tidak terhambat oleh pertumbuhan konsumsi energi yang berlebihan.