Makassar (Kemenag) — Menteri Agama Nasaruddin Umar mengingatkan pergeseran orientasi pendiidikan tinggi. Menurutnya pasar tidak lagi membutuhkan lulusan dengan gelar “cum laude” jika tidak memiliki kejutan dalam penemuan.
Selain menerbitkan ijazah, kampus harus dapat membekali para mahasiswa untuk memiliki talenta spesifik yang tidak diajarkan dalam kurikulum.
Pesan ini disampaikan Menag saat bicara pada Tabligh Akbar Universitas Hasanuddin (UNHAS), Makassar, Sabtu (13/9/2025). Acara ini menjadi bagian dari Dies Natalis ke-69 UNHAS.
Hadir, Stafsus Menteri Agama bunyamin M Yafid, Rektor UNHAS Jamaluddin Jompa, Rektor UIN Alauddin Makassar Hamdan Juhanis, Kepala Kanwil Sulsel Ali Yafid, Kepala Kankemenag Maros Muhammad, serta tokoh agama setempat Das’ad Latif.
“Di masa depan, kesuksesan tidak lagi hanya ditentukan oleh ijazah atau nilai tinggi, tetapi oleh kemampuan berpikir out of the box dan temuan-temuan orisinal yang mampu memberikan dampak nyata,” pesan Menag.
Digitalisasi Kampus
Menteri Agama juga menyoroti arus digitalisasi yang telah mengubah wajah pendidikan tinggi secara fundamental. Menag memaparkan pengamatannya terhadap tren global di mana mahasiswa kini lebih memilih kuliah melalui perangkat digital daripada hadir secara fisik di kampus.
“Saat ini, orang-orang lebih memperhatikan efisiensi dari suatu kegiatan, mana yang bisa dilakukan online, maka lebih baik dilakukan online, mana yang lebih praktis pasti akan dilakukan,” ujarnya.
Fenomena ini, menurutnya, telah menyebabkan banyak kampus besar, bahkan di Amerika, menjadi lebih sepi. Ia juga menyebut bahwa durasi fokus mahasiswa kini cenderung lebih singkat, yang menuntut pendekatan pengajaran yang lebih ringkas dan efisien. Ia menyampaikan pandangannya bahwa institusi akademik harus berani melakukan terobosan agar tidak tertinggal oleh perubahan zaman.
“Saat ini semua sudah digital, tren di Barat memasukkan media pembelajaran ke gawai masing-masing, e-library, semua bisa diakses hanya dengan beberapa sentuhan,” paparnya.
Politisasi Kampus
Menag dalam kesempatan ini juga mengingatkan bahwa kampus adalah tempat intelektual, bukan tempat untuk bermain politik. Perdebatan antara para intelek itu ada sebagai rahmat, para terpelajar menyampaikan pandangannya untuk kebenaran. Tetapi kalau perdebatan itu ada berdasarkan kepentingan suatu pihak, itu sudah menjadi politik.
“Perbedaan pendapat antara intelek itu konflik intelektual, sangat wajar terjadi, tapi kalau sudah ada konflik kepentingan masuk kampus, akan rusak dunia pendidikannya,” pungkasnya.