Kasus penembakan yang menimpa aktivis sayap kanan Amerika Serikat, Charlie Kirk, tengah menjadi sorotan publik.
Baru-baru ini, FBI merilis dua foto buram dari kamera pengawas yang memperlihatkan sosok person of interest atau orang yang diduga terkait dengan insiden tersebut.
Namun, alih-alih membantu, publik justru membanjiri media sosial dengan hasil upscaling berbasis kecerdasan buatan (AI) yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman serius.
Fenomena ini menyoroti bagaimana internet dan AI, ketika digunakan tanpa pemahaman yang tepat, dapat lebih banyak menimbulkan risiko dibandingkan manfaat.
Baca juga: Mudahkan Orang Tua, Ini Fitur Utama PlayStation Family App
We are asking for the public’s help identifying this person of interest in connection with the fatal shooting of Charlie Kirk at Utah Valley University.
1-800-CALL-FBI
Digital media tips: https://t.co/K7maX81TjJ pic.twitter.com/ALuVkTXuDc
— FBI Salt Lake City (@FBISaltLakeCity) September 11, 2025
AI Enhancement: Antara Ilusi dan Fakta
Dilansir dari The Verge (12/09/25), begitu FBI membagikan foto buram ke platform X (sebelumnya Twitter), banyak pengguna yang mencoba memperjelas gambar itu menggunakan berbagai alat AI, mulai dari bot bawaan X, Grok, hingga layanan pihak ketiga seperti ChatGPT.
Hasilnya memang terlihat lebih tajam dan realistis, namun perlu dipahami bahwa teknologi AI image upscaling tidak benar-benar menampilkan detail asli yang tersembunyi.


AI hanya melakukan proses inference, yakni menebak bagaimana seharusnya detail wajah, pakaian, atau elemen lain terlihat berdasarkan pola data yang pernah dipelajarinya.
Artinya, hasil akhir bisa saja sangat berbeda dari kenyataan. Misalnya, beberapa versi gambar menunjukkan pakaian berbeda, rahang wajah yang lebih tegas, atau bahkan fitur yang sama sekali tidak ada di foto asli.
Risiko Salah Identifikasi
Penggunaan hasil AI untuk membantu “detektif internet” justru dapat berbahaya. Bayangkan jika publik mulai menyebarkan gambar hasil AI enhancement dan menganggapnya sebagai bukti nyata.
Baca juga: Tidak Ada Samsung, Ini 10 Besar Smartphone dengan Kamera Terbaik Versi DXOMARK
Hal ini bisa mengarah pada salah identifikasi, perburuan warga sipil yang tidak bersalah, hingga menambah beban penyelidikan resmi FBI.
Kasus serupa pernah terjadi sebelumnya. Pada insiden lain, AI yang digunakan untuk memperbaiki gambar buram Presiden Barack Obama malah menghasilkan wajah seorang pria kulit putih.
Begitu juga dengan foto Presiden Donald Trump yang ditambahkan benjolan palsu di kepalanya. Kedua contoh tersebut membuktikan bahwa AI photo enhancement bukanlah alat forensik, melainkan sekadar representasi visual yang penuh spekulasi.
Peran Media Sosial dalam Viralitas
Mengapa hal ini cepat menyebar? Jawabannya sederhana: konten visual hasil peningkatan AI terlihat lebih menarik dan eye-catching.
Banyak pengguna media sosial mengunggah gambar-gambar tersebut bukan hanya untuk membantu, tetapi juga demi mendapatkan perhatian, likes, atau reposts. Akibatnya, informasi menyesatkan berpotensi menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi.
Platform seperti X juga menjadi lahan subur bagi konten semacam ini karena algoritmanya cenderung mempromosikan postingan yang memicu interaksi tinggi. Sayangnya, hal ini justru memperbesar kemungkinan publik menerima informasi keliru seputar kasus penting.
Dalam konteks investigasi kriminal, kredibilitas informasi menjadi hal yang sangat krusial. Foto buram dari FBI, meski kurang detail, tetap dianggap lebih valid daripada gambar buatan AI. Sebab, foto tersebut adalah data asli dari TKP, bukan hasil interpretasi algoritma.
FBI pun mengingatkan bahwa masyarakat sebaiknya berhati-hati dalam menyebarkan konten yang belum terverifikasi. Penyelidikan resmi membutuhkan bukti nyata, bukan rekayasa visual yang dapat menyesatkan jalannya proses hukum.
Fenomena ini membuka fenomena soal etika penggunaan AI. Di satu sisi, AI bisa sangat bermanfaat dalam banyak bidang, mulai dari kedokteran, hiburan, hingga pendidikan.
Namun di sisi lain, jika dipakai sembarangan, AI berpotensi menciptakan bias, hoaks, bahkan fitnah yang membahayakan individu.