Microsoft kembali menjadi sorotan publik setelah mengambil langkah tegas dengan memecat dua karyawannya yang terlibat dalam aksi protes di kantor pusat perusahaan.
Insiden ini terjadi pada Selasa (19/8/2025) yang lalu, ketika sekelompok pegawai masuk ke dalam ruang kerja Brad Smith, Vice Chair sekaligus Presiden Microsoft.
Aksi tersebut merupakan bagian dari rangkaian protes terhadap kontrak perusahaan dengan pemerintah Israel.
Dua Pegawai Diberhentikan Usai Duduki Kantor Eksekutif
Dilansir dari The Verge (28/08/25), kedua pegawai yang dipecat adalah Riki Fameli dan Anna Hattle, dua software engineer yang dikenal aktif menyuarakan penolakan terhadap kerja sama Microsoft dengan Israel.
Baca juga: Karyawan Microsoft Protes Terkait Kerjasama dengan Militer Israel
Mereka bersama lima orang lainnya berhasil masuk ke dalam ruang kerja Brad Smith di Gedung 34 kampus Microsoft.
Aksi tersebut tidak hanya berlangsung singkat, tetapi juga disiarkan langsung melalui Twitch, sehingga cepat menyebar di kalangan publik dan komunitas teknologi.
Pihak keamanan kemudian menutup sementara gedung eksekutif untuk mencegah gangguan lebih lanjut.
Menurut laporan, Hattle dan Fameli tidak hanya dipecat, tetapi juga ditangkap oleh pihak kepolisian bersama beberapa mantan pegawai Microsoft, seorang mantan pegawai Google, dan seorang pekerja teknologi lainnya yang ikut dalam aksi tersebut.
Pernyataan Microsoft dan Tindakan Tegas
Dalam pernyataan resminya, juru bicara Microsoft menyebut bahwa pemecatan kedua karyawan tersebut dilakukan karena adanya pelanggaran serius terhadap kebijakan perusahaan dan kode etik.
Namun, perusahaan enggan memberikan komentar lebih lanjut ketika dimintai keterangan oleh media internasional seperti The Verge.
Langkah ini memperlihatkan bahwa Microsoft ingin menegakkan disiplin internal dan melindungi reputasi perusahaan di tengah meningkatnya tekanan politik dan sosial terkait konflik di Timur Tengah.
Respons Brad Smith dan Komitmen Microsoft
Tak lama setelah insiden dan penangkapan para demonstran, Brad Smith mengadakan konferensi pers darurat di kantornya.
Dalam siaran langsung melalui YouTube, Smith menegaskan bahwa Microsoft berkomitmen untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia serta menjaga kesesuaian kontrak layanan mereka di kawasan Timur Tengah.
Baca juga: Ngeri! Microsoft Azure Jadi Alat Mata-Mata Utama Israel Pantau Palestina
Ia juga mengungkapkan bahwa perusahaan telah melakukan investigasi internal sejak awal bulan ini, menyusul laporan dari The Guardian yang menyebut platform cloud Microsoft, Azure, digunakan untuk aktivitas pengawasan terhadap warga Palestina.
Sekadar informasi, Anna Hattle ternyata bukan pertama kali terlibat dalam aksi protes. Pekan sebelumnya, ia juga ditangkap polisi saat memimpin demonstrasi di markas Microsoft di Redmond.
Kala itu, sebanyak 20 orang ditahan setelah mendirikan tenda protes yang mereka sebut sebagai Liberated Zone dan menumpahkan cat merah ke papan nama Microsoft sebagai simbol protes.
Gerakan ini bukanlah aksi tunggal, melainkan bagian dari kampanye yang lebih besar bernama No Azure for Apartheid, sebuah kelompok yang terdiri dari karyawan aktif maupun mantan pegawai Microsoft.
Mereka menuntut agar perusahaan segera menghentikan kerja sama dengan pemerintah Israel, yang menurut mereka berkontribusi pada pelanggaran hak asasi manusia.
Protes yang Kian Meningkat
Dalam beberapa bulan terakhir, protes yang dilakukan kelompok ini semakin berani. Tidak hanya berlangsung di kantor pusat, tetapi juga menyasar kediaman dan kantor pribadi eksekutif Microsoft.
Aksi duduk di ruang kerja Brad Smith menjadi eskalasi terbaru yang memperlihatkan betapa seriusnya kelompok ini dalam menuntut perubahan.
Namun, langkah pemecatan dua pegawai aktif justru menimbulkan perdebatan baru. Sebagian pihak menilai bahwa Microsoft terlalu keras dalam menyikapi suara karyawannya, sementara pihak lain menilai tindakan itu wajar untuk menjaga ketertiban dan profesionalisme di lingkungan kerja.
Kontroversi ini tentu berdampak pada reputasi Microsoft sebagai salah satu raksasa teknologi dunia. Di satu sisi, perusahaan ingin menegakkan aturan internal dan menjaga hubungan bisnisnya.
Namun, di sisi lain, tekanan dari publik dan komunitas teknologi bisa terus meningkat jika isu hak asasi manusia terkait kerja sama dengan Israel tidak ditangani secara transparan.
Yang jelas, langkah Microsoft dalam menangani protes ini akan terus diperhatikan dunia, terutama oleh para aktivis, komunitas teknologi, hingga investor.