Anindita Adzani (Masyarakat Umum)
Pola hidup seseorang saat ini mampu mencerminkan kualitas hidupnya di masa depan. Apa yang seseorang makan sehari-hari mencerminkan pola hidupnya. Terbiasa tidak menjaga kesehatan dengan makan bergizi dan mengelola aktivitas tubuh di masa muda berarti akan lemah dan sakit-sakitan di masa tua. Menyepelekan pola hidup sehat karena serakah dalam memilih makanan berarti bahwa lingkungan sosialnya tidak memiliki pandangan yang benar tentang pola makan yang sehat.
Data dari BPJS tahun 2024 menunjukkan bahwa ada lima penyakit kronis dengan biaya perawatan terbesar, yaitu penyakit jantung, kanker, stroke, gagal ginjal, dan hemofilia. Hemofilia disebabkan oleh kode genetik yang diturunkan dari orang tua, sedangkan empat penyakit lainnya disebabkan oleh gabungan pola hidup dan genetik. Orang tua yang terkena kanker atau gangguan sistem jantung dan pembuluh berpotensi menurunkan penyakitnya kepada keturunannya, tetapi pola hidup modern pun sedikit banyak berperan pada terjadinya penyakit tersebut.
Terjadinya penyakit kronis berkaitan dengan pola hidup sedentary lifestyle pada penderitanya. Sedentary lifestyle adalah pola hidup yang minimal aktivitas fisik, umumnya memakan fast food dan junk food, dan kekurangan asupan gizi dan mineral dari sayur dan buah. Meskipun serupa, fast food dan junk food berbeda. Fast food adalah makanan yang disajikan secara cepat dan hanya menjadi tidak sehat jika tinggi lemak jenuh, garam, dan kalori seperti hamburger dan gorengan. Junk food adalah makanan yang rendah nutrisi, tetapi menggiurkan seperti soda dan olahan camilan manis.
Budaya konsumsi fast food tidak hanya berbahaya bagi kesehatan, tetapi juga bagi keberlangsungan lingkungan. Fast food yang terkenal dibuat dari campuran produk hewani, minyak, garam, dan produk nabati. Pemrosesan pangan hewani memicu pelepasan emisi dari pembuangan kotoran dan gas hewan ternak serta penebangan hutan untuk perluasan area peternakan. Budi daya beras, telur, dan tomat membutuhkan volume air yang sangat besar. Untuk sekadar memenuhi permintaan fast food yang besar, manusia memanfaatkan sumber daya alam dalam jumlah besar, tetapi banyak membuang polutan yang berbahaya alih-alih membalas budi dengan merawat lingkungan.
Populernya konsumsi fast food memicu pelepasan emisi gas rumah kaca serta penurunan volume air bersih secara besar-besaran yang berdampak pada perubahan iklim.
Banyaknya jumlah penderita penyakit kronis di era modern pun berdampak pada jumlah limbah medis yang mencemari lingkungan. Fast food yang dibuat untuk mempermudah kehidupan manusia malah mempersulit keberlangsungan hidup manusia dan alam dalam jangka panjang. Meskipun manusia modern memiliki harapan hidup yang panjang, pola makan fast food justru tidak mendorong perbaikan kualitas hidup yang lebih baik.
Memiliki kesempatan untuk makan dari zaman dulu dipandang sebagai berkah Ilahi yang perlu dihargai semaksimal mungkin dan tidak disia-siakan. Namun, dewasa ini, manusia banyak membuat atau menikmati konten yang menampilkan sikap makan yang berlebihan, contohnya konten mukbang atau bermewah-mewahan dalam makan. Teknologi yang seharusnya digunakan untuk memaksimalkan kesehatan justru digunakan untuk menghasilkan makanan yang hanya fokus pada kelezatan dan kemudahan menyantap, tetapi mengganggu kesehatan manusia dan merusak alam semesta. Padahal kenikmatan makan tidak hanya dirasakan dari rasanya yang lezat atau sesuai selera pemakannya, tetapi juga karena suasana makannya yang bebas dari ancaman fisik maupun psikologis.
Pandemi Covid-19 mengajarkan tentang makna hubungan antara manusia dan lingkungan yang saling memengaruhi. Lingkungan yang tidak aman serta kesulitan ekonomi membuat masyarakat tidak leluasa bepergian untuk makan atau mendapatkan bahan pangan. Selama pandemi, durasi aktivitas luar ruangan berkurang drastis akibat pembatasan kegiatan masyarakat untuk mencegah penularan infeksi Sars-Cov-2. Terbatasnya pilihan makanan dan bahan pangan yang dapat dibeli serta berkurangnya pemasukan membuat masyarakat rumah tangga lebih menghargai kesehatan termasuk melalui makan makanan yang sehat.
Orang tua lahir ketika teknologi pangan dan ilmu gizi belum diketahui secara luas. Pilihan menu makan harian terbatas dan bahan pangan yang bergizi dan berkualitas sulit didapat. Akibatnya, orang tua berprinsip bahwa makan tidak boleh pilih-pilih alias apapun makanan yang dihidangkan di meja makan, harus dihabiskan. Namun, apakah prinsip orang tua untuk tidak pilih-pilih makanan masih berlaku di zaman sekarang?
Prinsip tidak boleh pilih-pilih makanan lahir dari kesulitan mendapatkan makanan. Namun, prinsip itu tidak sepenuhnya benar di era modern di mana makanan lebih mudah didapat dan penyakit kronis seperti diabetes dan penyakit jantung mudah ditemui. Menjaga pola makan sehat berarti pemakan memilih dan memperhatikan asupan makanannya berdasarkan kebutuhan gizi yang diperlukan oleh tubuh. Sering konsumsi fast food perlu dihindari, asupan kadar gula, garam, dan lemak perlu diperhatikan kadarnya, jam makan pun jangan sampai terlewat sehingga tidak menyebabkan gangguan pencernaan.
Dampak negatif konsumsi pangan hewani yang berlebihan telah lama dicatat di dalam ajaran Buddha. Umat Buddha, terutama yang beraliran Mahayana, mengurangi konsumsi daging dengan mempraktikkan vegetarianisme – bahkan menjadi vegetarian penuh selama bertahun-tahun. Konsumsi daging dikaitkan dengan sikap melekati rasa makanan yang enak termasuk makanan yang berbahan daging. Sikap melekati rasa makanan enak yang tidak terukur melahirkan sikap serakah dalam memilih makanan. Sebaliknya, praktik mengurangi keinginan makan daging membuat umat Buddha mendapatkan kesehatan tubuh maupun manfaat spiritual dari ajaran Buddha.
Makan sehat, selain memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh, juga bermanfaat bagi kesehatan spiritual. Guru tata susila dari Tiongkok bernama Konfusius menambahkan bahwa anggota tubuh, sekalipun sekecil rambut dan kuku, adalah pemberian orang tua yang perlu dijaga. Tidak menjaga tubuh yang merupakan pemberian orang tua adalah tindakan yang tidak berbakti. Kemudahan mengakses ilmu gizi seharusnya menjadi senjata utama masyarakat modern untuk secara sadar memilih makanan yang sehat untuk menjaga kesehatan tubuh yang seyogyanya diwariskan dari orang tua kepada anak.
Keserakahan merugikan diri sendiri dan lingkungan sekitar. Serakah makan enak menyebabkan penyakit dan kerusakan alam, apalagi makan fast food yang bahan- bahannya diperoleh dengan mencemari lingkungan dan menggunakan sumber daya alam secara berlebihan. Sikap menghargai makanan, baik yang dipelajari melalui agama maupun pengalaman hidup, sebagai sikap menghormati dan mensyukuri berkah Tuhan perlu diiringi dengan pengetahuan dan kesadaran tentang pola makan yang sehat. Tanpa tubuh yang sehat maupun pandangan hidup yang benar dan sebaliknya, kehidupan manusia tidak bermanfaat maksimal bagi lingkungan maupun masyarakat di sekitarnya.
Anindita Adzani (Masyarakat Umum)