Tahun ini, kita memperingati HUT Kemerdekaan yang ke-80. Delapan dekade sejak Proklamasi 1945, telah dilewati. Namun untuk kehidupan beragama, laporan Komnas Perempuan dan SETARA Institut menunjukkan masih terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Kita mulai dengan pernyataan hitam atas putih biar jelas persoalannya. Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia, juga hak konstitusional masyarakat Indonesia karena dijamin oleh konstitusi negara.
Maka sikap dan perilaku intoleran bukan hanya pelanggaran HAM, tetapi juga pengkhianatan terhadap kemerdekaan. Kita sungguh menyadari itu, maka dalam sejarahnya, kita selalu berupaya menanamkan kesadaran, mengembangkan kecakapan dan menciptakan struktur untuk menyelenggarakan kehidupan yang rukun dalam suasana kebebasan.
Secara negatif kerukunan adalah kondisi di mana tidak ada pertentangan yang berkepanjangan. Secara positif kerukunan adalah suasana di mana orang saling memahami, saling menerima perbedaan dan mampu menyelesaikan konflik di antara mereka dalam kasih persaudaraan.
Kerukunan positif ini hanya dapat terwujud dalam kebebasan. Tanpa kebebasan beragama, kerukunan yang tercipta tidak lebih dari sekadar hidup berdampingan yang dipaksakan. Kehidupan beragama yang langgeng dan bermutu menuntut pengakuan dan jaminan kebebasan beragama.
Dengan demikian kemerdekaan beragama sebagai hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28E dan pasal 29 UUD 1945 bukan sekadar kebebasan memeluk agama dan beribadat. Tetapi hak untuk hidup berasama tanpa rasa takut, diskriminasi atau intimidasi karena keyakinan yang dianuti.
Delapan dekade sejak Proklamasi 1945, telah dilewati. Beberapa persoalan terkait kehidupan beragama masih sering terjadi. Komnas Perempuan mencatat delapan kasus intoleransi sepanjang 2025 termasuk persekusi terhadap anak. Ada kegiatan retret keagamaan remaja di Sukabumi dibubarkan paksa oleh warga. Ada rumah doa di Padang diserang saat kegiatan berlangsung. Terakhir penolakan pembangunan rumah ibadat di Bantul dan Garut.
Data yang dirilis SETARA Institue pada Mei 2025 menunjukkan sepanjang 2024 terjadi 260 pelanggaran beragama dan berkeyakinan. Angka ini meningkat dari 217 kasus pada tahun sebelumnya. Menyedihkan bahwa sebagian pelaku berasal dari aktor negara. Ini menunjukkan bahwa intoleransi bukan hanya persoalan sosial, tetapi juga kelemahan struktural.
Laporan ini menjadi peringatan serius bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan masih menghadapi tantangan struktural dan kultural. SETARA Institute menilai bahwa pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto memiliki peluang strategis untuk membalikkan tren kemunduran ini
Jika negara gagal sebagai pelindung hak konstitusional, maka kemerdekaan beragama akan terus menjadi janji yang tak terpenuhi. Perayaan kemerdekaan menjadi ironi karena sebagian warga masih berjuang untuk beragama dalam kebebasan.
Kemerdekaan bukanlah titik akhir, melainkan proses berkelanjutan untuk menjamin hak-hak dasar seluruh warga negara. Kita sudah melewati kurun waktu 80 tahun kemerdekaan. Kita sudah tidak lagi berada pada era gerakan kebangsaan untuk kemerdekaan dari (freedom from) tapi pada era kemerdekaan untuk (freedom for).
Kalau kemerdekaan dari mengharuskan persatuan, maka kemerdekaan untuk menuntut lebih banyak ruang untuk kamejemukan, karena kemerdekaan diuji pertama-tama oleh adanya kemerdekaan untuk berbeda. Kalau dalam retorika lama terdengar semboyan berbeda-beda tetapi satu, maka dalam retorika baru semboyannya satu tetapi berbeda-beda.
Kesadaran mengenai kemajemukan beragama sudah ada dalam kesadaran kolektif bangsa sejak masa awal kebangkitan nasional dan dipertegas dalam keputusan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara di tahun 1945. Maka kita harus sudah tidak lagi berpura-pura bahwa intoleransi hanyalah insiden kecil akibat kesalahpahaman.
Setiap kali terjadi aksi kekerasan atas nama agama, sangat cepat negara membuat statemen yang menegaskan bahwa aksi itu dilakukan oleh sekelompok kecil oknum yang tidak bertanggungjawab. Kita sangat setuju dengan pernyataan seperti itu karena kita yakini kebenarannya.
Namun menghadapi aksi serupa yang terus menerus berulang, sejatinya tidaklah memadai kita terus membatasi diri dengan pernyataan seperti itu. Negara harus hadir mengatasi persoalan intoleransi secara tegas. Sikap indifferen umumnya menguntungkan kelompok intoleran karena merasa diteguhkan dalam aksinya.
Untuk mewujudkan Indonesia maju bersatu berdaulat dan rakyat sejahtera, kita perlu mendefinisikan ulang nasionalisme sebagai cinta tanah air yang inklusif. Kita harus bersama-sama merekonstruki dan membangun budaya egaliter, menerima dan menghargai orang berkeyakinan lain, sebagai yang sungguh lain. Itu pris de position para pendiri bangsa.
Di tengah tantangan keberagamaan yang semakin kompleks, kita membutuhkan pendekatan spiritual yang lebih lembut, inklusif, dan membumi. Gagasan Agama Cinta dan Kurikulum Cinta dari Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar menjadi jalan baru yang menyejukkan dalam merawat kerukunan dan membangun karakter bangsa yang inklusif.
Agama Cinta menempatkan cinta sebagai inti dari seluruh ajaran agama. Dalam pandangan Prof. Nasaruddin, Tuhan adalah sumber kasih sayang, dan umat beragama seharusnya menjadi cerminan dari cinta itu sendiri.
Keberagamaan yang marah, eksklusif, dan penuh kebencian adalah bentuk penyimpangan spiritual yang harus diluruskan. Rumah ibadah, dalam semangat Agama Cinta, bukan hanya tempat ritual, tetapi rumah kemanusiaan yang memanusiakan semua orang.
Gagasan ini kemudian diwujudkan dalam bentuk Kurikulum Cinta, sebuah pendekatan pendidikan yang mengajarkan lima cinta utama: cinta kepada Tuhan, sesama manusia, hewan, tumbuhan, dan alam semesta. Kurikulum ini tidak hanya mengisi ruang kelas, tetapi juga membentuk ruang batin anak-anak Indonesia agar tumbuh menjadi pribadi yang berempati, peduli, dan berkeadaban.
Kurikulum Cinta menjadi strategi preventif yang elegan. Ia tidak melawan kebencian dengan kebencian, tetapi dengan kelembutan dan keteladanan. Pendidikan agama tidak lagi sekadar dogma, melainkan proses pembentukan karakter yang utuh dan penuh kasih.
Visi besar di balik gagasan ini adalah menangkal fanatisme dan radikalisme dengan pendekatan kasih, bukan kekerasan. Menjadikan kerukunan sebagai etos kolektif bangsa, bukan sekadar formalitas dan Menyelaraskan hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam melalui pendekatan ekoteologis
Gagasan ini sejalan dengan misi Kementerian Agama untuk memperkuat moderasi beragama dan membangun harmoni sosial menuju Indonesia Emas 2045. Dalam konteks ini, Agama Cinta dan Kurikulum Cinta bukan hanya gagasan spiritual, tetapi juga strategi kebangsaan yang menjawab kebutuhan zaman.
Moderasi beragama merupakan prinsip fundamental dalam membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis. Ketika nilai-nilai cinta menjadi inti dari keberagamaan, maka toleransi, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan menjadi keniscayaan.
Kita dapat mengatakan, moderasi beragama adalah jalan tengah yang menjaga keseimbangan, dan agama cinta adalah cahaya yang menuntunnya. Bersama-sama, keduanya membentuk keberagamaan yang tidak hanya toleran, tetapi juga penuh kasih, yang memeluk perbedaan sebagai anugerah, bukan ancaman.
Agar gagasan ini tidak berhenti sebagai wacana, diperlukan komitmen nyata dari seluruh jajaran Kementerian Agama, baik di pusat maupun daerah. Beberapa langkah strategis yang telah dirancang seperti integrasi kurikulum cinta ke dalam pendidikan formal dan non formal, revitalisasi rumah ibadah sebagai ruang kemanusiaan dan menyediakan ruang dialog antarumat beragama yang ramah dan terbuka, perlu segera diimplementasikan.
Dengan langkah-langkah tersebut, Kementerian Agama dapat menjadi pelopor transformasi spiritual yang tidak hanya menyentuh akal, tetapi juga menyentuh hati. Karena cinta, pada akhirnya, adalah bahasa universal yang mampu menyatukan perbedaan dan menyembuhkan luka-luka sosial yang tak terlihat.
Indonesia bersatu berdaulat, rakyat Sejahtera dan maju bukan hanya ditentukan oleh kekuatan ekonomi dan politiknya, tetapi oleh kedalaman cinta yang hidup dalam jiwa rakyatnya. Jika agama cinta bergema dalam kurikulum cinta, membumi di ruang-ruang pendidikan, rumah ibadah, kebijakan publik, dan hati setiap insan, janji kemerdekaan bukan hanya menjadi sesuatu yang layak untuk terus diperjuangan, tetapi juga sesuatu yang indah untuk dinikmati dan dirayakan. (*)
JB Kleden (Dosen Fakultas Ilmu Sosial Keagamaan, IAKN Kupang)